Transformasi BRICS dari kemitraan negara-negara ekonomi berkembang menjadi forum negara-negara Selatan-Selatan tampaknya semakin relevan dengan kebutuhan dunia masa kini. Di tengah sengitnya konflik geopolitik dan geoekonomi global, keberadaan BRICS membuka jalan lebar untuk para pengusaha dari negara anggota dan mitra untuk bertemu, bertukar wawasan, dan bekerjasama guna mendorong perekonomian negara dan kawasan.
Sejak pertama kali dibentuk sebagai kemitraan pembangunan Brazil, Rusia, India, dan Republik Rakyat Tiongkok pada 2009, lalu bergabungnya Afrika Selatan pada 2010, BRICS mengalami transformasi signifikan menghadapi dunia yang berubah.
Sejak 2024, keanggotaan BRICS pun meluas. Indonesia bergabung sebagai anggota baru bersama Mesir, Ethiopia, Iran, dan Uni Emirat Arab, Argentina, dan Arab Saudi. Tak ayal, BRICS menjadi respons konkret menghadapi dunia yang guncang akibat perang, disrupsi digital, dan perubahan iklim.
Langkah aktif BRICS yang enggan berpangku tangan terbukti berdampak. Suara forum ini semakin diperhitungkan, terutama mewakili kepentingan negara-negara Selatan Bumi yang jengah dengan langkah politik AS dan Eropa yang semakin tidak mengindahkan tatanan dunia yang dahulu mereka bangun sendiri.
Lihatlah China tidak gentar ditekan AS, yang lewat keputusan Presiden Donald Trump mengenakaan tarif impor tinggi. China malah balas menyetop impor kedelai dari AS dan mengalihkannya ke kedelai Brazil, sehingga membuat para petani AS kelimpungan. India pun berani menghadapi ancaman tarif tinggi dari AS karena menjadi anggota BRICS, lantaran punya kekuatan ekonomi sendiri dan mendapat pasokan migas dari Rusia.
Duta Besar Rusia untuk Indonesia Sergey Tolchenov menyatakan, salah satu masalah utama dunia modern yang dibangun dari institusi Bretton-Woods pasca-Perang Dunia II adalah pemisahan politik dan ekonomi yang memungkinkan negara-negara adidaya berbuat sekehendaknya. Termasuk, menetapkan sanksi dan tarif secara unilateral yang berdampak terhadap rantai pasok global.
"Menghadapi situasi ini, kemitraan transregional, lintas platform, dan mengusung kerjasama yang setara dengan pendekatan komprehensif menjadi sangat dibutuhkan untuk mendorong reformasi tata kelola global," ujar Tolchenov dalam gelar wicara Navigating Global Challengers and Strengthening Cooperation with the Global South and BRICS di Jakarta, Jumat (19/9/2025).
Ukir sejarah baru dunia
Berbagi pandangan dengan Tolchenov, Duta Besar India untuk Indonesia Sandeep Chakravorty menegaskan bahwa sebagai salah satu negara pendiri BRICS, komitmen India terhadap tatanan dunia yang lebih adil dan berkelanjutan sudah tergambar jelas dalam motto KTT G20 yang diketuai India pada 2023 lalu. Yakni, mewujudkan keserupaan visi menuju one Earth, one world, one family.
"Salah satu tujuan awal India bergabung dalam BRICS adalah menekan proteksionisme, menghapus hambatan perdagangan, memperpendek rantai pasok, memajukan Kerjasama Selatan-Selatan, dan menegakkan aturan dagang yang konsisten dan tidak diskriminatif," tegas Chakravorty.
Tidak hanya di bidang perdagangan, India juga berkomitmen mengembangkan kerjasama pembangunan infrastruktur digital. Bagi India, BRICS telah menjadi platform yang membantu memajukan integrasi digital global, serta menjadikan digitalisasi sebagai ekosistem baru yang mampu menghubungkan Selatan Bumi.
"Dalam ekonomi dunia yang semakin menantang, negara-negara anggota dan mitra BRICS harus saling menyokong satu sama lain, saling berdagang, berinteraksi, dan bergotong-royong sehingga kita bisa mengatasi hambatan akibat kebijakan proteksionis yang semakin menjadi-jadi," ujarnya.
Inisiatif dan langkah-langkah kontribusi negara-negara Selatan Bumi menjadi salah satu penanda penting di perempat pertama abad ke-21. Duta Besar Wang Lutong mengingatkan, tahun 2025 adalah tahun bersejarah yang memperingati 80 tahun berdirinya Perserikatan Bangsa-Bangsa, sekaligus 70 tahun Konferensi Asia-Afrika – dua simbol yang melambangkan kebebasan dan persamaan martabat.
"Tetapi apa yang terjadi? Kita melihat kebangkitan prinsip might is right, yang kuat yang menang, sehingga menjerumuskan dunia dalam hukum rimba, serta mendestabilisasi tatanan ekonomi dan politik dunia," cetus Wang.
Reformasi terhadap tata kelola seperti itu kini menjadi kepentingan bersama. Dan, BRICS dapat menjadi motor percepatan reformasi dengan pilar kesetaraan, multilateralisme, rules-based order, dan sumbangsih nyata yang manusiawi.
Salah satu sumbangsih Tiongkok, menurut Wang, adalah mendorong globalisasi inklusif dan berdampak universal. Saat ini, Pemerintah Tiongkok telah membuka 200 program di perguruan tinggi untuk pendidikan akal imitasi (AI) dan ekonomi digital yang terbuka untuk mahasiswa dari negara-negara Selatan Bumi.
"Dengan koeksistensi dan kemajuan bersama, negara-negara Selatan Bumi akan membuktikan bahwa modernisasi tidak selamanya berarti westernisasi. Bersama-sama, kita akan mengukir babak baru dalam sejarah dunia ini," ujar Wang menutup pemaparannya yang disambut derai tepuk tangan hadirin.
Indonesia dorong upaya berkelanjutan
Menanggapi pemaparan duta-duta besar itu, Kepala Departemen Internasional Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Enrico Hariantoro menyatakan bahwa momentum Indonesia bergabung dengan BRICS terjadi di waktu yang tepat dan berdampak strategis sebagai babak baru diplomasi ekonomi Indonesia.
Sebab, tidak hanya memperkuat investasi dan perdagangan, keanggotaan BRICS menjadi kesempatan Indonesia berkontribusi membentuk lanskap ekonomi dunia yang lebih adil.
"Peran OJK selaras dengan cita-cita transformasi ekonomi Indonesia, dengan mendukung penuh kebijakan Kementerian Koordinator Perekonomian dan Kementerian Luar Negeri. BRICS menjadi kesempatan bagi Indonesia merambah pasar yang lebih luas dan potensial untuk diversifikasi dan menstabilkan ekonomi internasional," ujar Enrico.
"BRICS menjadi kesempatan bagi Indonesia merambah pasar yang lebih luas dan potensial untuk diversifikasi dan menstabilkan ekonomi internasional," ujar Enrico.
Sebagai regulator jasa keuangan, Enrico menyatakan, OJK telah mendukung posisi Indonesia di BRICS dengan dua kebijakan. Pertama, mendorong ekonomi berkelanjutan dengan promosi ESG, green bonds, manajemen risiko iklim, dan perdagangan karbon. Kedua, mengangkat daya saing UMKM Indonesia dengan menerbitkan Peraturan OJK Nomor 19 Tahun 2025 tentang Kemudahan Akses Pembiayaan bagi UMKM.
"Dengan terbitnya aturan ini, kami memastikan UMKM Indonesia tidak akan tertinggal di belakang, tetapi dapat berperan nyata. BRICS bukan sebuah aliansi politik, melainkan kesempatan untuk merintis pasar alternatif yang selama ini tidak kita perhitungkan," jelasnya.
Pengalaman empiris merintis pasar alternatif itu dialami sendiri oleh Deputi Bidang Hubungan Internasional Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Didit Ratam, saat mengikuti pertemuan BRICS Business Council di sela KTT BRICS 2025 lalu. Di dalam perkumpulan yang memiliki 9 kelompok kerja itu, para pengusaha lintas negara mencari cara mendorong pemerintah masing-masing meningkatkan kemudahan berbisnis.
"Di sanalah saya sadar bahwa potensi perdagangan luar negeri Indonesia masih sangat jauh di bawah potensinya. Melalui BRICS, para pengusaha memiliki platform untuk berkomunikasi dengan pengusaha dari negara lain, terutama pengusaha dari Afrika," kisah Didit.
Dia mengenang suasana pertemuan di BRICS Business Council yang benar-benar akrab dan menyenangkan, sehingga membuka ruang kerjasama dan penjajakan bisnis menjadi sangat lancar. Hanya di satu pertemuan, Didit bisa menjumpai pengusaha dari India, Afrika Selatan, Ethiopia, hingga Nigeria, berkenalan, dan menemukan sahabat sekaligus mitra bisnis yang andal.
"Saya selalu berpesan kepada teman-teman pengusaha, agar memanfaatkan BRICS untuk berjejaring, berbicara, dan menjelajah ke luar. Ini adalah kesempatan kita untuk sungguh-sungguh berbuat sesuatu sehingga gotong-royong Selatan-Selatan menjadi sesuatu yang bermakna," pungkasnya.