Badan Pusat Statistik (BPS) merilis data inflasi pada bulan September 2025 mencapai 2,65% year on year (YoY) meningkat dibanding Agustus 2025 yang pada level 2,31%. Dilihat dari komponen pembentuknya, inflasi kali ini utamanya berasal dari inflasi inti yang berkontribusi sebesar 1,41% YoY dari total inflasi September 2025. Adapun inflasi inti seringkali dilihat sebagai salah satu indikator daya beli masyarakat.
Dalam jumpa pers paparan inflasi September 2025 di Kantor BPS, Jakarta, Rabu (1/10/2025), Deputi Bidang Statistik Produksi BPS, M. Habibullah mengatakan inflasi secara tahunan terjadi karena adanya kenaikan harga yang ditunjukkan oleh naiknya sebagian besar indeks kelompok pengeluaran.
Kelompok barang itu adalah kelompok makanan, minuman, dan tembakau sebesar 5,01%; kelompok pakaian dan alas kaki sebesar 0,79%; kelompok perumahan, air, listrik, dan bahan bakar rumah tangga sebesar 1,64%; kelompok perlengkapan, peralatan, dan pemeliharaan rutin rumah tangga sebesar 0,30%;
Selain itu juga dari kelompok kesehatan sebesar 2,01%; kelompok rekreasi, olahraga, dan budaya sebesar 1,07%; kelompok pendidikan sebesar 1,15%; kelompok penyediaan makanan dan minuman/restoran sebesar 1,80%; serta kelompok perawatan pribadi dan jasa lainnya sebesar 9,59%.
Sementara itu kelompok pengeluaran yang mengalami penurunan indeks, yaitu: kelompok transportasi sebesar 0,15% dan kelompok informasi, komunikasi, dan jasa keuangan sebesar 0,3%.
Dilihat dari letak geografisnya, inflasi tertinggi terjadi di Sumatera Utara sebesar 5,32% YoY dan terendah terjadi di Papua sebesar 0,99% YoY. Sedangkan deflasi terjadi di Maluku Utara sebesar 0,17% YoY.
Sementara inflasi kabupaten/kota tertinggi terjadi di Kabupaten Deli Serdang sebesar 6,81% dan terendah terjadi di Kota Ternate sebesar 0,06%. Sedangkan deflasi kabupaten/kota terjadi di Kabupaten Halmahera Tengah sebesar 1,21%.
Pada kesempatan berbeda, Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi Bank Indonesia (BI) Ramdan Denny Prakoso mengatakan, posisi inflasi September 2025 masih dalam rentang target BI untuk 2025 yakni 1,5%-3,5%.
Posisi inflasi yang terjaga ini, lanjut Ramdan, merupakan hasil dari konsistensi kebijakan moneter serta eratnya sinergi pengendalian inflasi antara Bank Indonesia dan Pemerintah (Pusat dan Daerah) dalam Tim Pengendalian Inflasi Pusat dan Daerah (TPIP dan TPID) melalui Gerakan Nasional Pengendalian Inflasi Pangan (GNPIP) di berbagai daerah.
“Ke depan, Bank Indonesia meyakini inflasi akan tetap terkendali dalam kisaran sasaran 1,5%-3,5% pada 2025 dan 2026,” ujarnya.
Dilihat dari komponen pembentuknya secara tahunan, inflasi inti September 2025 tercatat sebesar 2,19% yoy, sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan realisasi bulan sebelumnya sebesar 2,17% yoy.
Realisasi inflasi inti pada September 2025 disumbang terutama oleh komoditas emas perhiasan dan biaya kuliah akademi/perguruan tinggi. Perkembangan tersebut dipengaruhi oleh peningkatan harga komoditas emas global serta faktor musiman dimulainya tahun ajaran baru pendidikan akademi/perguruan tinggi, di tengah ekspektasi inflasi yang tetap terjaga.
Dari aspek pangan bergejolak atau volatile food, secara tahunan, kelompok ini mencatat inflasi sebesar 6,44% YoY, lebih tinggi dari inflasi bulan sebelumnya sebesar 4,47% YoY.
Inflasi kelompok volatile food disumbang antara lain oleh komoditas aneka cabai dan daging ayam ras seiring dengan pasokan yang terbatas akibat berakhirnya masa panen dan peningkatan biaya input produksi.
“Ke depan, inflasi volatile food diprakirakan tetap terkendali didukung oleh eratnya sinergi antara Bank Indonesia bersama TPIP dan TPID melalui GNPIP di berbagai daerah,” ujar Ramdan.
Secara tahunan, kelompok administered prices tercatat inflasi sebesar 1,10% (yoy), lebih tinggi dari bulan sebelumnya yang sebesar 1,00% (yoy). Inflasi kelompok administered prices terutama disumbang oleh komoditas sigaret kretek mesin dan tangan seiring dengan berlanjutnya kenaikan harga jual eceran rokok.
Daya beli membaik
Dihubungi terpisah, Analis Kebijakan Ekonomi Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) Ajib Hamdani menilai inflasi pada September tahun bersumber dari permintaan yang tinggi alias demand-pull inflation.
“Hal ini sebetulnya sinyal yang positif, sebab menandakan daya beli masyarakat yang baik serta ekonomi yang bertumbuh,” ujar Ajib dihubungi Rabu (1/10/2025).
Menurutnya, selama inflasi ditopang oleh daya beli masyarakat, maka laju pertumbuhan ekonomi akan bergerak eskalatif secara linier.
Meskipun demikian, Ajib mengingatkan inflasi yang disebabkan demand-pull inflation harus diikuti dengan ketersediaan pasokan yang memadai. Produksi dan distribusi tidak boleh terganggu karena akan langsung merugikan masyarakat luas. “Banyak faktor di berbagai sektor, dan masing-masing komoditas perlu dibedah secara khusus. Tapi poinnya jelas, ada lack of production, lack of supply, dan lack of supply chain,” ujarnya.
Menjelang tahun 2025 yang sudah mau usai, Ajib memperkirakan situasi ekonomi akan relatif stabil. Sudah menjadi siklus tahunan pada kuartal keempat nanti inflasi akan meningkat selaras dengan pertumbuhan ekonomi yang juga meningkat. Menurut Ajib, akhir tahun adalah momen meningkatnya belanja masyarakat seiring Natal dan tahun baru. Di sisi lain, pemerintah juga akan menggelontorkan banyak bujet untuk menghabiskan sisa anggaran di penghujung tahun.
“Mau hujan atau nggak hujan, otomatis inflasi dan pertumbuhan ekonomi akan tinggi. Itu saling mempengaruhi. Kenapa? Karena 57% pertumbuhan ekonomi kita ditopang oleh konsumsi rumah tangga,” ujarnya.
Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede menyebut kenaikan inflasi September dipengaruhi rebound komponen bergejolak dan pergeseran komponen inti. Ia menambahkan cabai merah, cabai hijau, dan daging ayam ras menjadi pendorong utama inflasi, sedangkan emas perhiasan dan biaya pendidikan tinggi memberi tambahan dorongan.
Data BPS juga menunjukkan terjadi perbedaan inflasi di berbagai wilayah. Menurut Josua, perbedaan itu mencerminkan adanya variasi pasokan pangan, kalender panen, dan logistik.
Ihwal komoditas beras yang mengalami deflasi, Josua menilai itu terjadi karena tekanan penawaran yang bertambah. Harga beras turun di tingkat penggilingan, grosir, dan eceran, seiring kenaikan luas panen dan produksi padi sepanjang tahun dengan potensi panen September sampai November yang lebih tinggi dibandingkan tahun lalu.
Menjelang akhir tahun, Josua menyampaikan lima faktor utama yang akan mempengaruhi inflasi, yakni curah hujan tinggi pada Oktober sampai November yang bisa mengganggu pasokan cabai, potensi kenaikan konsumsi pada libur Natal-Tahun Baru, risiko gangguan distribusi pangan segar akibat hujan intensif, deflasi tipis komponen energi, serta reli emas yang masih menjadi penyumbang besar inflasi inti.
Untuk prospek hingga akhir 2025, Josua memperkirakan inflasi tetap berada dalam koridor target Bank Indonesia sebesar 1,5%-3,5%.
“Saya mempertahankan perkiraan inflasi akhir 2025 nanti sekitar 2,3%, dengan risiko atas berasal dari kebijakan domestik yang longgar dan potensi pelemahan rupiah, sementara risiko bawah dari perbaikan pasokan pangan dan kemungkinan diskon tarif listrik,” ujarnya.