Industri hulu tekstil menyambut baik langkah pemerintah yang menerapkan pengenaan Bea Masuk Tindakan Pengamanan (BMTP) terhadap impor produk benang kapas di tengah maraknya gelombang impor berharga dumping dan masuknya barang ilegal yang membuat banyak pabrik tutup.
Mulai diterapkan 30 Oktober 2025, kebijakan yang berlaku tiga tahun ini mencakup 27 jenis produk dengan Nomor Harmonized System (HS) delapan digit sesuai Buku Tarif Kepabeanan Indonesia (BTKI) tahun 2022.
Ketua Komite Regulasi Pusat Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), Andrew Purnama menilai kebijakan BMTP dapat melindungi industri pemintalan yang beberapa tahun terakhir melesu.
"Kebijakan itu penting untuk menahan laju penurunan kinerja di sektor hulu tekstil," kata dia kepada SUAR di Jakarta, Senin (27/10/2025).
Berdasarkan hasil penyelidikan Komite Pengamanan Perdagangan Indonesia (KPPI), industri dalam negeri yang memproduksi benang kapas mengalami kerugian yang dikategorikan serius.
Temuan menunjukkan penurunan pada volume produksi, penjualan domestik, tingkat produktivitas, jumlah tenaga kerja, serta kapasitas terpakai. Kondisi ini menjadi dasar bagi KPPI untuk merekomendasikan penerapan tindakan pengamanan perdagangan.
Data USDA Foreign Agricultural Service (FAS) Jakarta yang bersumber dari Trade Data Monitor (TDM) menunjukkan lonjakan impor benang kapas Indonesia dalam dua tahun terakhir. Pada 2024, total impor mencapai sekitar 24 ribu ton, naik dari 17 ribu ton pada 2023 atau tumbuh sekitar 41% secara tahunan. Sepanjang Januari hingga Oktober 2024, volume impor meningkat 33% dibanding periode yang sama tahun sebelumnya, dengan Vietnam menjadi pemasok terbesar mencakup 36,9% dari total impor, disusul Tiongkok 26,5% dan India 19,8%.
Produk yang termasuk dalam pengenaan BMTP mencakup berbagai jenis benang kapas dengan kode HS dari 5204.11.10 hingga 5206.45.00. Seluruh jenis itu merupakan bahan baku utama yang digunakan oleh industri pemintalan dan penenunan di sektor tekstil.
Berdasarkan data API, lonjakan impor berdampak langsung terhadap kinerja keuangan dan operasional perusahaan anggota asosiasi. Rekomendasi kemudian disampaikan KPPI kepada pemerintah setelah melalui proses evaluasi dan verifikasi data industri.
Aturan ini nantinya akan diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 67 Tahun 2025. Besaran bea masuk ditetapkan secara bertahap, yaitu Rp7.500 per kilogram pada tahun pertama, Rp7.388 per kilogram pada tahun kedua, dan Rp7.277 per kilogram pada tahun ketiga.
Melalui mekanisme ini, pemerintah berupaya memberi ruang bagi industri terdampak agar dapat melakukan penyesuaian struktural.
Terus Menurun
Andrew memaparkan, berdasarkan pemantauan API, kinerja industri benang kapas menurun sejak 2020 hingga 2024 pada hampir seluruh indikator utama, dengan tren penurunan sekitar 30 sampai 40% dibanding kondisi sebelum pandemi.
Dia mengatakan sejumlah pabrik besar seperti Sritex Group telah berhenti beroperasi, sementara sebagian anggota API lainnya hanya beroperasi dengan tingkat utilisasi 17 sampai 19%.
Kondisi ini diperparah oleh pelemahan permintaan global dan kenaikan biaya energi serta logistik, sementara di pasar domestik terjadi praktik dumping dan impor ilegal yang menekan harga.
"Penerapan BMTP jadi langkah korektif untuk mengembalikan keseimbangan pasar. Kebijakan ini harus dilakukan secara terukur agar tidak menimbulkan distorsi pada subsektor yang relatif stabil," kata dia.
Meski kebijakan ini hanya mencakup pada produk benang kapas, Andrew menilai tetap akan berdampak pada stabilisasi rantai pasok karena memberi ruang pemulihan produksi dan penyerapan tenaga kerja. Dia menilai efektivitas kebijakan sangat ditentukan oleh pengawasan di lapangan dan konsistensi pelaksanaan.
Lebih lanjut, Andrew menyatakan BMTP bersifat sementara sehingga pelaku industri harus memanfaatkannya untuk penyesuaian struktural. Andrew mendorong agar perbaikan efisiensi, peningkatan kapasitas, dan penguatan daya saing agar industri kembali kompetitif setelah periode perlindungan berakhir.
“Keberlanjutan industri tekstil hanya bisa terjaga bila kebijakan proteksi diikuti langkah reformasi internal dan penegakan aturan terhadap praktik perdagangan tidak fair,” katanya.
Hal senada disampaikan Ketua Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI), Redma Gita Wirawasta yang menilai kebijakan ini memberi ruang bagi industri pemintalan untuk memulihkan kinerja setelah tekanan impor yang berkepanjangan.
“Ini kan menolong industri pemintalan untuk bisa tetap bertahan,” ujar Redma.
Redma menjelaskan benang kapas memiliki porsi sekitar 30% dari total konsumsi serat industri pemintalan, atau sekitar 300 ribu ton dari total kebutuhan 900 ribu ton per tahun.
Menurut Redma, meskipun kebijakan ini tidak berdampak langsung terhadap industri serat sintetis, keberlanjutan sektor pemintalan tetap penting karena akan mempengaruhi permintaan produk yang dihasilkan anggota APSyFI.
Redma menilai masalah utama industri tekstil nasional bukan semata rendahnya daya saing, melainkan praktik perdagangan yang tidak adil akibat barang dumping dan impor ilegal. Dia menekankan penegakan aturan sebagai kunci untuk menciptakan persaingan yang adil di pasar domestik.
“Posisi APSyFI selalu jelas, kami mendukung setiap kebijakan yang menciptakan fairness competition di seluruh rantai industri,” katanya.

Perlu persaingan adil
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Mohammad Faisal, menilai persoalan utama yang menekan industri benang kapas saat ini berasal dari persaingan di pasar domestik dengan produk impor yang membanjiri.
Tekanan paling besar datang dari barang asal Tiongkok yang dijual jauh di bawah harga produksi dalam negeri sehingga permintaan di rantai antara maupun hulu ikut melemah.
Faisal menjelaskan perbedaan harga antara produk impor dan lokal sangat mencolok. Dalam catatannya pada beberapa kategori barang, harga produk dari Tiongkok hanya sekitar 40 sampai 60% dari harga yang dijual produsen dalam negeri.
“Akan sangat sulit bagi industri nasional untuk bersaing dengan gap harga yang sejauh itu,” ujarnya.
Tekanan harga ini, menurut Faisal, berkontribusi pada penurunan produksi dan gelombang pengurangan tenaga kerja di sektor-sektor yang berorientasi pasar domestik.
Selain persoalan harga, Faisal menilai maraknya impor ilegal memperparah ketidakseimbangan pasar karena barang tanpa pungutan resmi masuk melalui pelabuhan besar maupun jalur tidak resmi.
Maka, menurutnya, keberhasilan kebijakan pengamanan seperti BMTP sangat bergantung pada pengawasan yang efektif terhadap arus barang di lapangan.
Faisal juga menyoroti perlunya sinkronisasi lintas kebijakan agar perlindungan industri tidak berjalan terpisah dari program pemerintah lain. Banyak insentif bagi sektor padat karya yang belum dimanfaatkan karena prosedur dan informasi yang kurang memadai.
“Kalau ingin serius membenahi industri tekstil, kebijakannya harus sinkron dari hulu sampai hilir,” katanya.