Following BI Rate Decline, LPS Rate also Decreases

LPS decided to lower the lending rate (TBP) by 25 basis points (bps) to 3.50% for rupiah deposits at commercial banks.

Following BI Rate Decline, LPS Rate also Decreases
Jajaran dewan komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) dalam konferensi pers yang digelar, Senin (22/9/2025). Foto: Humas LPS

Para penabung harap bersabar. Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) mengikuti langkah Bank Indonesia (BI), yang pada Kamis pekan lalu menurunkan tingkat suku bunga acuan (BI Rate) sebesar 25 basis poin (bps).

Pada Senin (22/9/2025), LPS memutuskan untuk menurunkan tingkat bunga penjaminan (TBP) sebesar 25 bps. Yakni, menjadi 3,50% untuk simpanan rupiah di bank umum.

Keputusan tersebut disampaikan oleh Plt. Ketua Dewan Komisioner LPS, Didik Madiyono, pada saat konferensi pers yang digelar, Senin (22/9/2025).

“Lembaga Penjamin Simpanan menetapkan untuk menurunkan tingkat bunga penjamin simpanan dalam rupiah di bank umum dan bank perekonomian rakyat, serta tingkat bunga pinjaman dalam valutas asing di bank umum, turun sebesar 25 basis poin,” jelas Didik.

Kini, tingkat bunga pinjaman simpanan rupiah di bank umum berada di level 3,50%, simpanan valuta asing (valas) di bank umum di level 2,00%, serta simpanan rupiah di bank perekonomian rakyat (BPR) di level 6,00%.

Langkah ini diambil oleh LPS mengikuti kebijakan dari Bank Indonesia (BI) yang secara agresif telah menurunkan suku bunga acuannya atau BI Rate sebanyak lima kali di tahun ini menjadi 4,75%.

Tingkat bunga penjaminan tersebut akan berlaku mulai dari periode 1 Oktober 2025 sampai dengan 31 Januari 2026 mendatang. Penetapan ini pun merupakan yang ketiga kalinya dilakukan oleh LPS pada tahun ini.

“Tingkat bunga penjaminan ini akan dievaluasi secara berkala dan terbuka untuk disesuaikan sewaktu-waktu dalam hal terdapat perubahan kondisi perekonomian, perbankan, dan pasar keuangan yang signifikan,” ucap Didik.

Penetapan TBP ini didasari oleh kinerja ekonomi domestik yang tergolong masih relatif terjaga, namun perlu diperkuat terutama dari sisi konsumsi dan produksinya secara lebih berimbang.

“Faktor lain, kinerja intermediasi perbankan tetap positif ditopang ketahanan dari sisi permodalan dan likuiditas yang memadai, fungsi intermediasi perbankan tetap terjaga, per Agustus 2025, kredit perbankan tumbuh sebesar 7,56% secara year on year (YoY),” ungkapnya.

Ketahanan permodalan juga disebut masih relatif terjaga. Begitu juga dengan kondisi likuiditas industri yang masih relatif memadai dan berpotensi membaik sejalan dengan akomodatif sisi moneter dan ekspansi belanja pemerintah.

Rasio permodalan atau kewajiban penyediaan modal minimum (KPMM) industri perbankan juga terjaga di level 25,88% pada periode Juli 2025. Kondisi likuiditas masih relatif memadai dengan rasio AL/NCD (alat likuiditas terhadap non-core deposit) berada di level 120,24%, di mana threshold-nya 50%. Rasio AL/DPK (alat likuiditas terhadap dana pihak ketiga) sebesar 27,25%, di mana ambang batasnya 10%.

BI Rate Turun 3 Bulan Beruntun, Tegaskan Otoritas Moneter Pro Pertumbuhan
Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia memutuskan untuk kembali menurunkan suku bunga acuan sebesar 25 basis poins. Ini tegaskan sikap BI yang pro pertumbuhan ekonomi.

Sebagai informasi, tingkat cakupan penjaminan simpanan nasabah sudah diatur dalam Undang-Undang LPS, yang menyebut batas minimalnya sebesar 90% dari total nasabah sebuah bank. Berdasarkan data yang diperoleh pada bulan Agustus 2025, jumlah rekening nasabah bank umum yang dijamin seluruh simpanannya mencapai 99,94% dari total rekening atau setara dengan 651.582.625 rekening.

“Sedangkan jumlah rekening nasabah yang dijamin seluruh simpanannya, di BPR maupun BPR syariah mencapai 99,97% dari total rekening atau setara dengan 15.786.434 rekening,” jelas Didik.

Pada kesempatan tersebut, Didik juga mengimbau kepada pihak bank untuk tetap bersikap transparan dan terbuka kepada para nasabah ataupun calon nasabahnya. Mereka harus menginformasikan besaran tingkat bunga pinjaman yang berlaku saat ini.

“Hal tersebut dilakukan antara lain melalui penempatan informasi tingkat bunga penjaminan di kantor bank, area yang mudah diketahui nasabah, media informasi, serta seluruh channel komunikasi termasuk pada aplikasi digital yang dimiliki oleh bank,” imbaunya.

Belum menjawab persoalan

Ekonom senior sekaligus Associate Faculty Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI) Ryan Kiryanto menyambut baik langkah yang diambil oleh LPS dalam menurunkan tingkat bunga penjaminan. Namun, penurunan TBP ini dinilai belum mampu menyelesaikan permasalahan yang dihadapi oleh para pengusaha dan dunia perbankan saat ini.

“Peningkatan sisi suplai itu bagus. BI juga sudah andil menurunkan sisi bunga acuan, itu sisi suplai. OJK mengeluarkan insentif UMKM, itu sisi suplai semua,” kata Ryan.

Mulai dari penurunan BI Rate, LPS Rate, ataupun penyaluran dana Rp 200 triliun dari pemerintah ke bank, dinilai merupakan langkah untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi dari sisi suplai.

Namun, Ryan juga turut menyoroti pentingnya memperhatikan perekonomian dari sisi demand. Ia mengingatkan, para pengusaha ataupun investor harus dibuat nyaman dan aman, selain dipermudah sisi peminjaman banknya.

“Kebijakan fiskal dan moneter yang pro-pertumbuhan tadi itu harus juga diimbangi dengan pencetakan iklim investasi ekonomi dan bisnis yang ramah investor dan ramah pengusaha. Jadi, sisi demand-nya juga harus digarap,” ujarnya.

Penurunan suku bunga acuan dari Bank Indonesia dan juga tingkat bunga penjaminan dari LPS dinilai belum menyelesaikan persoalan sesungguhnya di sektor riil.

“Mau diturunkan lagi (LPS Rate) lebih bagus lagi, tapi itu kan tidak menyelesaikan persoalan. Urusan pemerintah belum selesai, urusan sektor riil itu diselesaikan dulu, itu tadi perasaan nyaman dan aman pengusaha,” tutupnya.

Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede mengatakan, penurunan suku bunga acuan memperluas ruang bank menurunkan bunga dana dan kredit, tetapi transmisi masih tertahan oleh faktor internal bank. Suku bunga dasar kredit (SBDK) pada Juli 2025 masih 9,23% karena komponen biaya overhead naik dan margin laba bank ikut dinaikkan untuk menjaga profitabilitas, sementara biaya dana (HPDK) relatif datar.

“Ini menjelaskan kenapa bunga kredit ritel turun lambat meski kebijakan sudah longgar,” ujarnya Senin (22/9/2025).

BI juga mencatat penurunan suku bunga perbankan sepanjang 2025 sangat pelan. Yaitu, deposito 1 bulan baru turun sekitar 16 bps dan bunga kredit rata-rata hanya turun 7 bps, meskipun BI Rate sudah turun 125 bps. Karena itu BI menegaskan bank perlu mempercepat penurunan bunga deposito dan kredit agar fungsi intermediasi menguat.

Keputusan LPS menurunkan bunga penjaminan 25 bps akan membantu meredakan “perang bunga” dana mahal karena patokan tingkat bunga yang dijamin turun. Secara praktis, bank akan terdorong menormalisasi special rate deposan jumbo agar tetap berada dalam koridor yang dijamin. Sehingga, biaya dana turun secara bertahap dan membuka jalan untuk memangkas bunga kredit lebih jauh.

Dampak awalnya, pada bank yang lebih cepat menurunkan bunga kredit daripada bunga dana kemungkinan akan menekan margin untuk sementara waktu. Namun, seiring repricing simpanan, margin cenderung stabil kembali. Apalagi likuiditas sistem masih longgar dan beban pencadangan terkendali (NPL bruto sekitar 2,28% dan NPL net 0,86%).

Ke depan, pengaruh ke pertumbuhan akan bergantung pada tiga hal. Pertama, kecepatan bank menurunkan bunga simpanan dan kredit (BI sudah memberi sinyal kuat agar dipercepat).

Kedua, penyerapan kredit oleh sektor prioritas yang didorong kementerian/lembaga dan prospek belanja pemerintah semester II. Ketiga, terjaganya inflasi rendah agar bunga riil tetap positif meski bunga nominal turun.

Dengan sinergi ini, BI memperkirakan kredit 2025 bisa naik ke 8%–11% YoY, dan pertumbuhan ekonomi 2025 berada di atas titik tengah kisaran 4,6%–5,4%

EVP Corporate Communication & Social Responsibility BCA Hera F. Haryn mengatakan, dalam menentukan suku bunga simpanan, BCA senantiasa mencermati perkembangan suku bunga acuan ke depan, parameter makroekonomi lain, situasi pasar mencakup permintaan dan penawaran yang ada, serta kondisi likuiditas perbankan baik dari sisi kredit maupun deposito.

BCA berharap biaya dana secara keseluruhan atau cost of fund relatif terjaga pada tahun ini, seiring dengan pendanaan inti BCA yang berasal dari pendanaan giro dan tabungan (CASA) yang tetap tumbuh positif.

Per Juni 2025, CASA tumbuh 7,3% YoY mencapai Rp982 triliun, atau sekitar 82,5% dari total DPK. Dana CASA menjadi kontributor utama pendanaan BCA seiring dengan peningkatan transaksi secara berkelanjutan. Pada semester I-2025, total frekuensi transaksi yang diproses BCA tumbuh 17% YoY.

Ke depannya, BCA berkomitmen untuk terus mendorong penyaluran kredit ke berbagai segmen dan sektor dengan tetap memperhatikan prinsip kehati-hatian bank dan menerapkan manajemen risiko yang disiplin.

Laporan: Gema Dzikri Harisma