Industry Still Confident of Expansion, Manufacturing Remains Resilient

The performance of Indonesia's Manufacturing Industry remains resilient amid unstable economic conditions with the Industrial Confidence Index (IKI) at 53.02.

Industry Still Confident of Expansion, Manufacturing Remains Resilient
Pekerja mengoperasikan robot mesin mengemas produk susu olahan di pabrik susu PT Frisian Flag Indonesia, Cikarang, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, Selasa (30/9/2025). (ANTARA FOTO/Bayu Pratama S/rwa.)
Table of Contents

Kinerja Industri Manufaktur Indonesia tetap bertahan di tengah kondisi perekonomian yang tidak stabil. Hal tersebut ditunjukkan dengan nilai Indeks Kepercayaan Industri (IKI) pada September 2025 yang berada di level 53,02, lebih tinggi ketimbang nilai IKI September 2024 yang sebesar 52,48.

Berdasar nilai IKI yang dirilis Kementerian Perindustrian (Kemenperin) pada Kamis (30/9/2025) ini, pelaku industri masih berada pada fase ekspansif dan positif.

Bila diperinci, sebanyak 69,6% pelaku usaha merasa optimistis. Jumlahnya naik 1,5% dibandingkan dengan persentasi bulan sebelumnya. Juru Bicara Kementerian Perindustrian Febri Hendri Antoni Arief menambahkan, sebanyak 24,3% pelaku usaha menyatakan kondisi usahanya stabil dan tetap pada posisi ekspansi.

“Optimisme ini akan berdampak pada pelaku usaha untuk terus meningkatkan kualitas bisnisnya dan terus berkreasi untuk menghasilkan produk ataupun jasa yang bermanfaat untuk konsumen,” ujar Febri ketika ditemui dalam acara Konferensi Pers Indeks Kepercayaan Industri (IKI), di Jakarta (30/9).

Faktor utama yang mempengaruhi optimisme dunia usaha adalah kondisi pasar, kebijakan pemerintah pusat dan daerah yang sinkron, proses perizinan yang tidak ribet, dan inflasi yang terjaga.

Pada bulan Juli, proyeksi pertumbuhan ekonomi global direvisi naik 3,0% pada 2025 dan 3,1% pada 2026. Selanjutnya, prediksi pertumbuhan ekonomi Indonesia juga direvisi naik menjadi 4,8% di tahun 2025 dan 2026. Pada kuartal II–2025, pertumbuhan Indonesia sebesar 5,12%.

Febri juga menyebut tingkat inflasi di Indonesia pada Agustus 2025 turun ke 2,31%, seiring senada dengan tingkat inflasi di Jepang yang turun ke 2,7% dan China yang deflasi ke minus 0,40%. Sebaliknya, Amerika Serikat dan Jerman meningkat inflasinya pada Agustus 2025.

Tak lupa Febri mencatat, rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia tanggal 16 September–17 September 2025 memutuskan suku bunga acuan atau BI Rate turun ke level 4,75%, suku bunga deposit facility menjadi 3,75%, dan suku bunga lending facility menjadi 5,5%.

Agar dunia usaha bisa tumbuh berkelanjutan, pertama, diperlukan upaya meningkatkan akses pasar melalui perjanjian dagang dengan negara-negara non-tradisional. Kedua, peningkatan promosi, salah satunya dengan memfasilitasi pameran dagang, baik yang bersifat lokal dan internasional.

Ketiga, peningkatan daya saing melalui pendampingan dan pembinaan kapasitas pelaku usaha hingga standarisasi produk.

Tercatat sebanyak 21 dari 23 subsektor industri pengolahan mengalami ekspansi. Sehingga, yang secara total berkontribusi sebesar 97,8% terhadap PDB Industri Pengolahan Nonmigas pada triwulan II–2025.

Dua subsektor dengan nilai IKI tertinggi adalah Industri Pencetakan dan Reproduksi Media Rekaman dan Industri Minuman.

Sedangkan dua subsektor yang mengalami kontraksi adalah Industri Komputer, Barang Elektronik Dan Optik, dan Reparasi dan Pemasangan Mesin dan Peralatan.

Kebijakan pemerintah

Dewan Pakar Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Danang Girindrawardana mengatakan, kunci utama dari optimisme dunia usaha terletak pada kebijakan pemerintah.

Kebijakan yang pro-dunia usaha dan pro-rakyat dapat meningkatkan optimisme. Contohnya adalah kebijakan untuk mendukung daya beli dan membuka lebih banyak lapangan kerja.

“Harga kebutuhan pokok yang stabil tanpa fluktuasi drastis akan meningkatkan kepercayaan konsumen, yang pada gilirannya mendorong optimisme,” ujar Danang kepada SUAR di Jakarta (30/9).

Peningkatan jumlah lapangan kerja akan meningkatkan daya beli dan optimisme publik secara keseluruhan. Kemudian, besarnya populasi dan pasar di suatu negara, seperti Indonesia, dapat menjadi pendorong utama optimisme dunia usaha.

Peserta belajar menjahit kain saat mengikuti pelatihan keterampilan di UPTD Balai Latihan Kerja (BLK), Kabupaten Batang, Jawa Tengah, Senin (22/9/2025). (ANTARA FOTO/Harviyan Perdana Putra/rwa.)

Faktor penghambat

Ekonom LPEM FEB UI Teuku Riefky menuturkan, optimisme dunia usaha harus tetap dijaga karena penting untuk meningkatkan daya saing perekonomian nasional.

Beberapa faktor yang menghambat optimisme dunia usaha antara lain:

  • Penurunan pesanan,
  • Keterbatasan modal dan pendanaan,
  • Masalah pemasaran,
  • Ketidakstabilan geopolitik dan harga komoditas,
  • Kendala infrastruktur, permasalahan manajemen dan SDM,
  • Ketidakmampuan adaptasi terhadap perkembangan teknologi.

Strategi yang bisa dilakukan untuk mengatasi hambatan optimisme dunia usaha adalah dengan melakukan riset pasar mendalam dan inovasi untuk menghadapi persaingan, mengadopsi teknologi, membangun jaringan dengan mitra bisnis, serta menjaga kehati-hatian dalam pengelolaan keuangan dan SDM.

“Semua faktor yang menghambat optimisme dunia usaha ini bisa dikurangi dengan kerjasama antara pelaku usaha dan pemerintah,” ujar Riefky kepada SUAR di Jakarta (30/9).