Hilirisasi Kelapa Berpotensi Hasilkan Rp 400 Triliun dan Serap Jutaan Pekerja

Hilirisasi Kelapa berpotensi hasilkan Rp400 triliun dan serap 1,6 juta tenaga kerja dalam tiga tahun ke depan.

Hilirisasi Kelapa Berpotensi Hasilkan Rp 400 Triliun dan Serap Jutaan Pekerja
Dua pekerja mengupas kulit buah kelapa untuk dijadikan kopra di Industri Pembuatan Kopra Desa Gosoma Kecamatan Tobelo, Kabupaten Halmahera Utara, Maluku Utara, Jumat (1/8/2025). ANTARA FOTO/Andri Saputra/bar.

Ketimbang sekadar mengekspor kelapa mentah, pelaku usaha kini didorong untuk menghilirisasi "pohon kehidupan" ini menjadi beragam produk bernilai tinggi. Langkah strategis ini bukan hanya berpotensi meningkatkan nilai ekspor hingga triliunan rupiah, melainkan juga menciptakan lapangan kerja baru bagi jutaan orang dan menyejahterakan petani.

Menteri Pertanian (Mentan) Andi Amran Sulaiman pun menekankan pentingnya hilirisasi pertanian sebagai kunci utama untuk meningkatkan kesejahteraan petani, meningkatkan penyerapan tenaga kerja, dan memperkuat ekonomi nasional. 

Amran membeberkan, program hilirisasi berpotensi besar menyerap 1,6 juta tenaga kerja baru dalam tiga tahun ke depan. Selain itu, hilirisasi juga akan meningkatkan nilai tukar petani (NTP), yang secara langsung berdampak pada kesejahteraan petani.

“Jika dihilirisasi, ekspor kelapa bisa bernilai hingga Rp 400 triliun. Industri ini sudah ditunggu pasar global, khususnya Tiongkok dan India,” ujar Amran di Rakornas Kadin Indonesia Bidang Koperasi dan UMKM, Jakarta (20/8).

Salah satu pemicu lonjakan potensi ekspor hilirisasi kelapa, lantaran, saat ini harga komoditas kelapa sedang menjulang. Mengutip Statistik Terkini Ekonomi Pertanian yang dirilis Kementerian Pertanian, harga rata-rata kelapa Rp 5.645 per kilogram, naik 51,24% dari 2024 yang ada di kisaran Rp 3.728 per kilogram.

Kenaikan harga kelapa ini tak lain akibat gangguan cuaca di negara pemasok kelapa sehingga pasokannya menurun. Indonesia pun diuntungkan karena menjadi salah satu negara pemasok kelapa. Sebab, kelapa tidak bisa tumbuh di negara tujuan ekspor seperti Eropa.

Selaras dengan penjelasan Menteri Pertanian, Ketua Himpunan Industri Pengolahan Kelapa Indonesia (HIPKI) Rudy Handiwidjaja mengungkapkan bahwa industri pengolahan kelapa di Indonesia sudah berkembang pesat.

“Hilirisasi untuk industri pohon kelapa kita sudah maju. Semua dari olahan. Dari kelapa itu sudah semuanya kita bisa bikin produk, karena produk hilirnya sudah diproduksi di Indonesia,” ungkap Rudy kepada SUAR (22/8/2025).

Ia menguraikan bahwa seluruh bagian dari kelapa, mulai dari tempurung, daging kelapa, hingga air kelapa, telah diolah menjadi berbagai produk hilir. Sebutlah, minyak goreng kelapa, santan, kelapa parut (desiccated coconut), air kelapa dalam kemasan, hingga karbon aktif atau disebut juga arang aktif kelapa sebagai bahan baku industri untuk pemurnian air. 

Menurut Rudy, pangsa pasar untuk produk-produk olahan kelapa masih sangat diminati, baik di dalam maupun luar negeri. Sebab, ada tren peningkatan konsumsi makanan-makanan sehat, seperti mengkonsumsi kelapa dan air kelapa.

Rudy mencontohkan pergeseran pola konsumsi masyarakat di Negeri Tirai Bambu. "Bahkan di China, mereka meminum minuman susu yang terbuat dari santan kelapa. Di China itu sudah terjadi seperti itu karena mereka menghindari atau mengurangi konsumsi dari susu hewani,” ujarnya.

Sementara itu, ia menjelaskan, industri pengolahan kelapa di Indonesia masih menghadapi tantangan serius, terutama terkait ketersediaan bahan baku kelapa. Menurutnya, kondisi ini sudah berlangsung sejak September 2024 dan belum menunjukkan perubahan signifikan.

“Kondisi industri pengolahan kelapa di Indonesia dari mulai September tahun 2024 sampai dengan sekarang ini tidak jauh berbeda. Yaitu, kita kekurangan bahan baku [kelapa],” jelas Rudy.

Menurutnya, penyebab industri olahan kelapa kekurangan bahan baku karena kapasitas ekspor yang masih besar, sehingga ketersediaan kelapa untuk produksi di domestik berkurang. Faktor lain, imbuh Rudy, ialah kondisi kebun kelapa petani yang belum kembali normal pasca-kemarau panjang pada tahun 2023. Dan, efeknya masih terasa hingga saat ini, mengakibatkan produksi di tingkat petani menurun.

Untuk mengatasi tantangan pasokan bahan baku, HIPKI berharap pemerintah dapat mengambil langkah strategis seperti membuat tata niaga atau roadmap industri kelapa secara nasional. Usulan lainnya adalah menerapkan pungutan ekspor (PE) kelapa, sehingga dana dari pungutan ekspor diharapkan bisa dikembalikan kepada petani untuk penyediaan bibit dan pupuk, serta program replanting atau penanaman kembali.

Merujuk data dari Kementerian Pertanian (Kementan), sentra penghasil kelapa deres terbesar di Indonesia tersebar di Provinsi Jawa Tengah, Jawa Barat, Daerah Istimewa (DI) Yogyakarta, Bali, dan Kalimantan Barat.

Lebih lanjut, Rudy menekankan bahwa industri pengolahan kelapa merupakan industri padat karya, sehingga dapat menyerap tenaga kerja dan berkontribusi bagi pertumbuhan ekonomi nasional.

“Jadi ini satu peluang pemerintah kalau seandainya ingin membuka lapangan pekerjaan, ya, mari dukung industri pengolahan kelapa untuk bisa berproduksi dengan maksimal,” ungkapnya.

Usulan HIPKI sejalan dengan temuan Ketua Umum Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia (AB2TI) Dwi Andreas. Ia menjelaskan, tren ekspor kelapa Indonesia menunjukkan peningkatan signifikan sejak tahun 2021. Berdasarkan catatannya, volume ekspor kelapa naik dari 2 juta ton pada tahun 2021 menjadi 2,3 juta ton pada tahun 2024. 

Di sisi lain, ia juga mengamati luas lahan kelapa justru terus menyusut, berakibat langsung pada penurunan produksi kelapa nasional. “Dalam 10 tahun terakhir ini saja lahan kelapa kita itu menurun dari 3,65 juta hektare ke 3,33 juta hektare. Jadi mengalami penurunan rata-rata 1 persen per tahun. Kita mengalami persoalan yang cukup serius,” jelasnya kepada SUAR (22/8/2025).

Lebih lanjut, Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB) tersebut menjelaskan bahwa tantangan utama bukan hanya pada penyusutan lahan, melainkan juga pada produktivitas kebun kelapa yang ada. 

Tantangan lainnya, menurut Andreas, justru dari pohon kelapa yang sekarang existing. Sudah banyak yang tua-tua pohon kelapa di kebun petani. "Untuk itu produktivitas rata-rata 10 tahun terakhir ini sangat rendah, hanya 1,12 ton per hektar per tahun, dan tidak ada peningkatan,” ungkap Dwi Andreas.

Dwi Andreas, Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB), Foto: Dok.pribadi.

Menurut Andreas, sebagian besar pohon kelapa di Indonesia sudah tua, mudah terserang hama dan penyakit, sehingga perlu penanaman kembali menggunakan varietas unggul kelapa yang berpotensi meningkatkan produktivitas mencapai 1,5 ton per hektare per tahun. 

Andreas menekankan perlunya kolaborasi antara pemerintah dan petani untuk mengatasi tantangan yang ada, terutama melalui program peremajaan kebun kelapa dan penyediaan bibit unggul untuk meningkatkan produktivitas, serta memastikan keberlanjutan industri kelapa di masa depan.