Harga Kurang Bersaing, Pengusaha Biomassa Pilih Ekspor Wood Pellet

Sejumlah pelaku usaha pada Rabu (05/11/2025) mengaku lebih memilih mengekspor wood pellet dan produk biomassa lainnya karena terkendala harga domestik yang kurang bersaing.

Harga Kurang Bersaing, Pengusaha Biomassa Pilih Ekspor Wood Pellet
Photo by Andrew Ridley / Unsplash

Sejumlah pelaku usaha pada Rabu (05/11/2025) mengaku lebih memilih mengekspor wood pellet dan produk biomassa lainnya karena terkendala harga domestik yang kurang bersaing.

Hal ini menyebabkan pengembangan energi biomassa di Indonesia terhambat di tengah besarnya peluang ekspor biomassa di berbagai negara seperti Jepang, Korea Selatan, Italia, Inggris.

Ketua Umum Masyarakat Energi Biomassa Indonesia (MEBI) Milton Pakpahan mengatakan harga biomassa dalam negeri belum bisa bersaing karena tingginya biaya produksi dan belum ada kebijakan yang membuat harganya lebih kompetitif dengan BBM bersubsidi.

Selain itu, harga biomassa sangat dipengaruhi oleh harga batu bara sebagai substitusi, Ketika harga batu bara naik, biomassa menjadi lebih kompetitif karena biaya energi alternatifnya jadi lebih tinggi, sementara saat harga batu bara turun, biomassa menjadi kurang menarik dan sulit bersaing secara harga. 

Harga biomassa untuk pasar dalam negeri lebih rendah,untuk pasar dalam negeri harga biomassa dipatok sebesar Rp 550.000 per ton–Rp 600.000 per ton, jika dibandingkan dengan harga ekspor yang bisa mencapai Rp 900.000 per ton–Rp 1.000.000 per ton.

“Banyak dari produsen atau pelaku usaha biomassa yang memilih untuk ekspor produk turunan seperti wood pellet karena lebih menjanjikan dan harganya pun lebih bersaing,” ujar dia dalam acara Forum Group Discussion “ Asosiasi Produsen Energi Biomassa Indonesia (APREBI) di kantor Kementerian Kehutanan, di Jakarta (5/11).

Ia mengatakan pasar utama tujuan ekspor biomassa adalah Jepang dan Uni Eropa karena menawarkan harga yang lebih menarik dan lebih jelas.

Wood pellet adalah bahan bakar alternatif yang ramah lingkungan, terbuat dari serbuk kayu atau sisa-sisa kayu yang dipadatkan menjadi bentuk silinder kecil. Proses pembuatannya melibatkan pengeringan, penggilingan, dan pemampatan serbuk kayu pada suhu tinggi.

Wood pellet digunakan sebagai bahan bakar untuk pemanas ruangan, kompor, dan berbagai keperluan energi lainnya.

Milton mengatakan dibutuhkan solusi untuk mengembangkan energi biomassa dalam negeri diantaranya dengan indeksasi harga biomassa agar lebih ekonomis, terukur, dan dapat menjadi acuan pasar.

Diperlukan kolaborasi antara PLN, pelaku usaha, dan pemerintah untuk menjaga rantai pasok, penting untuk memastikan standar teknis seperti Standar Nasional Indonesia (SNI) terpenuhi untuk menjaga kualitas dan daya saing.

“Perlu ada kebijakan energi terbarukan yang lebih kuat untuk mendukung transisi energi hijau,” ujar dia.

Wood pellet favorit

Pada kesempatan yang sama, Sekretaris Jenderal APREBI Dikki Akhmar mengatakan produk turunan biomassa Indonesia yaitu cangkang inti sawit (palm kernel shell/PKS) dan wood pellet atau pelet kayu meraup transaksi Rp1,04 triliun pada misi dagang yang diselenggarakan Kementerian Perdagangan (Kemendag) di Osaka, Jepang pada Juni 2025.

Perusahaan Jepang menandatangani komitmen untuk mengimpor 640 ribu ton PKS dan wood pellet yang akan dipergunakan untuk keperluan sumber energi di Jepang.

"Jepang telah menetapkan target penjualan kendaraan penumpang baru menjadi kendaraan listrik pada 2035 untuk mencapai tujuan net zero emission pada 2050. Dengan demikian, industri mobil di Jepang harus beralih ke energi terbarukan guna mendukung transisi menuju kendaraan listrik dan mengurangi emisi gas rumah kaca," ujar dia.

Produk energi terbarukan yang merupakan produk turunan sawit antara lain PKS, tandan buah kosong (empty fruit bunch/EFB), dan batang kelapa sawit (oil palm trunk).

Ada pula sumber energi terbarukan lainnya seperti wood pellet. Produk-produk tersebut memiliki emisi gas yang sangat rendah. Bahkan, setiap ton PKS yang digunakan sebagai bahan bakar di pabrik, bisa berkontribusi menurunkan CO2 sebanyak 0,94 ton.

Kebutuhan domestik saat ini masih kecil, sehingga ekspor masih menjadi pilihan yang lebih menguntungkan. Produksi PKS saat ini mencapai sekitar 14 juta ton, dan yang diekspor mencapai 35 persen dari ketersediaan PKS dalam negeri.

Ekspor PKS ke Jepang saat ini mencapai 4,5 juta ton per tahun. Kebutuhan pasar biomassa Jepang pada 2025-2026 diperkirakan akan meningkat menjadi 7 juta ton per tahun, dengan PKS dan wood pellet menjadi andalan kebutuhan Jepang.

PKS juga bisa digunakan sebagai bahan bakar penghasil listrik tenaga termal yang lebih rendah emisi karbon dioksida, sehingga cocok untuk industri.

Selain itu, PKS juga digunakan sebagai arang aktif berkinerja tinggi yang dapat digunakan untuk membersihkan udara, dan memurnikan air.

Berlisensi

Kementerian Kehutanan memastikan bahwa produk pelet kayu atau wood pellet asal Indonesia jika diekspor disertai dengan dokumen V-Legal/Lisensi FLEGT maka telah memenuhi Sistem Verifikasi Legalitas dan Kelestarian (SVLK). Itu artinya, produk wood pellet tersebut dijamin berasal dari sumber yang legal, berkelanjutan, dan sepenuhnya mematuhi hukum di Indonesia.

Direktur Bina Pengolahan dan Pemasaran Hasil Hutan (BPPHH) Kementerian Kehutanan Erwan Sudaryanto mengatakan Kementerian Kehutanan memiliki komitmen besar untuk terus menjalankan SVLK. Dengan memenuhi SVLK, Pemerintah menjamin bahwa produk kayu berasal dari tempat yang sah dan berkelanjutan.

“Pemerintah punya komitmen untuk menjaga bahwa produk hasil hutan berasal dari izin yang sah dan tidak deforestasi melalui SVLK,” ujar dia.

Pemerintah telah merilis regulasi mengenai SVLK sejak 2009 lalu. Ada enam kerangka kerja keberlanjutan SVLK. Pertama, legalitas, menjamin semua produk kayu dan turunannya berasal dari sumber yang sah sesuai regulasi Indonesia. 

Kedua, transparansi dan traceability dengan menerapkan sistem dokumentasi yang memastikan asal-usul kayu dapat ditelusuri hingga sumbernya.

Ketiga, kepatuhan standar internasional. SVLK diakui dunia internasional melalui standar ISO 17065:2012, ISO 19011:2018, dan FLEGT VPA dengan Uni Eropa

Keempat, keterlibatan multi pihak, yakni dengan membangun partisipasi pemerintah, pelaku usaha, lembaga sertifikasi, pemantau independen, dan masyarakat sipil.

Kelima, mendukung keberlanjutan lingkungan, SVLK mengurangi risiko deforestasi ilegal, mendukung konservasi, dan memastikan hutan tetap produktif serta lestari.

Keenam, daya saing global. SVLK menjadi instrumen utama untuk menjawab isu perdagangan hijau, EUDR, serta memperkuat akses pasar internasional.

Selain mengatur mengenai SVLK, Kementerian Kehutanan juga telah menyusun manajemen pemanfaatan hutan. Dari luas daratan Indonesia sebesar 191,4 juta hektare, luas kawasan hutan mencapai 125,7 juta hektare. Dari luas kawasan hutan tersebut, Kementerian Kehutanan membaginya ke dalam beberapa fungsi hutan, antara lain hutan konservasi, hutan lindung, dan hutan produksi.

Read more