Harga CPO Naik, Tantangan bagi Indonesia Genjot Produktivitas

Didorong oleh menguatnya permintaan global, kenaikan harga miyak sawit mentah menjadi angin segar bagi para pengusaha di tengah tantangan meningkatkan produktivitas. 

Harga CPO Naik, Tantangan bagi Indonesia Genjot Produktivitas
Photo by Aishah Rahman / Unsplash

Angin segar menerpa para pengusaha perkebunan yang masih berkutat dengan tantangan meningkatkan produktivitas. Didorong oleh menguatnya permintaan global, harga minyak sawit mentah menguat belakangan ini.

Tercatat harga minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) di bursa Malaysia menunjukkan tren naik sejak Mei lalu. Per 15 Agustus 2025, harga CPO ditutup pada posisi MYR 4.472 per ton pada 15 Agustus 2025. Tren peningkatan harga ini didorong oleh menguatnya permintaan, baik dari pasar domestik maupun global.

Sejalan dengan itu, harga referensi CPO di Indonesia juga naik sebesar 3,76% menjadi 910,91 dollar AS per metrik ton pada Agustus 2025. 

Pendorong utama di balik permintaan ini adalah lonjakan impor oleh konsumen terbesar dunia, yaitu India dan Tiongkok. Mereka memangkas setengah pajak impor untuk minyak nabatinya.

Selain itu, keberhasilan implementasi program mandatori biodiesel B40 di Indonesia juga turut berdampak pada suplai domestik. Tren kenaikan harga CPO akibat menguatnya permintaan pasar ini menjadi kabar gembira bagi para pengusaha sawit. 

Meski ada pergeseran pangsa pasar minyak nabati dunia akibat kebijakan perdagangan luar negeri AS, minyak sawit masih mengambil pangsa pasar terbesar. Minyak kedelai menyusul di posisi kedua. Dalam laporan Mordor Intelligence, pangsa pasar sawit masih bertahan di tahun 2024 dengan produsen utama Indonesia dan Malaysia. 

Namun, di balik kenaikan harga yang menjanjikan, industri sawit di Tanah Air masih menghadapi tantangan terkait produktivitas. Olah data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, produktivitas kelapa sawit per hektare cenderung menurun dalam beberapa tahun terakhir. Tahun 2024, produktivitas kelapa sawit kurang dari 3.000 ton per hektare.

Penurunan ini terutama disebabkan oleh rendahnya produktivitas perkebunan sawit rakyat yang mencakup sekitar 42% dari total luas lahan. Banyak pekebun rakyat menggunakan bibit yang tidak unggul, tidak menerapkan teknik kultur yang benar, telat meremajakan tanaman sawit, dan menghadapi masalah pada manajemen pemupukan serta pengendalian hama.  

Sebagai langkah mendorong produktivitas dan menjaga keberlanjutan pasokan, diperlukan solusi yang komprehensif. Salah satu upaya strategis adalah program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) yang dijalankan oleh pemerintah melalui Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS).

Meskipun realisasi program ini masih jauh dari target yang ditetapkan, PSR menjadi kunci untuk mengganti tanaman tua dengan bibit unggul yang lebih produktif. Selain itu, peningkatan investasi dalam kapasitas hilirisasi, terutama untuk mendukung program biodiesel B40 dan B50, akan mengamankan permintaan domestik dan menciptakan nilai tambah bagi produk sawit.