Tak bisa menunggu lebih lama lagi, sektor riil harus berlari kencang. Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa bilang, pelaku usaha sektor riil punya peran penting sebagai penyumbang pendapatan negara dan motor pertumbuhan ekonomi negara pada tahun ini dan tahun depan.
"Sektor swasta sebagai motor utama untuk pertumbuhan yang tinggi, karena memberi nilai tambah dan multiplier effect yang tinggi. Di sini APBN berperan sebagai katalis untuk membangkitkan peran swasta," ujar Purbaya dalam Sidang Paripurna DPR, Selasa (23/9/2025).
The role of real sector expansion is also expected to have an immediate impact in the rest of this year to boost state revenue. This is because, similar to the state spending realization that has not been optimal at the beginning of the fourth quarter of 2025, the realization of state revenue has only reached half of the outlook set.
Meski penerimaan pajak naik, negara tetap tidak dapat mengharapkan pajak sebagai sumber pemasukan utama. Kontribusi ekspor komoditas dengan nilai pengganda tinggi seperti sawit pun menjadi tumpuan.
Keadaan realisasi pendapatan negara yang belum optimal tersebut dipaparkan Wakil Menteri Keuangan III Anggito Abimanyu dalam Konferensi Pers APBN KiTA di Gedung Djuanda I Kementerian Keuangan, Jakarta, Senin (22/9/2025).
Dengan realisasi pendapatan negara sebesar Rp 1.638,7 triliun atau baru mencapai 57,2% outlook APBN 2025, menurut Anggito yang saat ini terpilih sebagai Ketua Dewan Komisioner LPS, masih ada sejumlah tantangan dan peluang untuk memaksimalkan pendapatan negara hingga akhir 2025.
Secara rinci, Anggito menjabarkan dua sumber utama penerimaan negara. Yakni, penerimaan negara pajak (PNP) dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP). Di sumber PNP, penerimaan pajak bruto kumulatif tumbuh 2,1% sebesar Rp 1.442,74 triliun. Angka ini konsisten tumbuh secara kumulatif sejak bulan Maret, tetapi baru mencapai 54,7% dari outlook PNP yang ditetapkan.
Dengan rata-rata PNP tumbuh Rp 180,3 triliun setiap bulan pada tahun 2025, PNP netto sesudah dipotong restitusi menjadi sebesar Rp 1.135,44 triliun. Sumber-sumber penerimaan yang mengalami pertumbuhan antara lain PPN impor tumbuh 15,1% YtD menjadi Rp 203 triliun, pajak penghasilan (PPh) Pasal 21 yang tumbuh 2,4% YtD menjadi Rp 180,3 triliun, dan PPh Badan tumbuh 7,5% menjadi Rp 279,9 triliun.
"Pertumbuhan PPh Pasal 21 sebesar 2,4% dan PPh Badan sebesar 7,5% YtD masing-masing menunjukkan bahwa kinerja profitabilitas perusahaan di dalam negeri sepanjang tahun ini berada dalam kondisi baik," ujar Anggito.
Penerimaan pajak dari kepabeanan dan cukai mengalami pertumbuhan lebih rendah ketimbang tahun lalu akibat faktor Lebaran 2024. Namun, Anggito mencatat, bea keluar tumbuh hingga 71,7% menjadi Rp18,7 triliun, dengan rata-rata penerimaan Rp 24,4 triliun per bulan. Ditinjau secara year on year, pendapatan bea cukai tumbuh 6,4% menjadi Rp 194,9 triliun.
"Cukai memang tumbuh lebih rendah, tetapi bea keluar tumbuh lebih tinggi dipengaruhi harga CPO yang naik. Harga CPO saat ini sedang mengalami pertumbuhan hingga 16,6%," jelasnya.
Sementara itu, dari sumber PNBP, negara menerima total Rp 306,8 triliun. Perinciannya, kontribusi PNBP SDA nonmigas mencapai Rp 75,6 triliun, PNBP SDA migas mencapai Rp 65 triliun, PNBP lainnya Rp 91,9 triliun, dan PNBP Badan Layanan Umum Rp 62,5 triliun.
Read also:

Anggito menjelaskan, PNBP migas dan PNBP BLU masing-masing terkontraksi -6,8% dan -4,1% akibat turunnya pendapatan lantaran volume lifting minyak yang baru mencapai 575.400 barel per hari. Jadi, masih di bawah target APBN sebesar 605.000 barel per hari. Di samping itu, pendapatan jasa penyediaan barang dan jasa layanan perbankan BLU juga mengalami penurunan.
"Namun, PNBP nonmigas yang tumbuh 1,5%, dan pendapatan Dana Perkebunan Kelapa Sawit tumbuh sebesar 29,3%. Keduanya cukup signifikan dari sektor PNBP," pungkas Anggito.
Harapan berkelumit tantangan
Salah satu potensi pendulang pendapatan negara berasal dari sektor industri kelapa sawit. Sebagai komoditas yang menjanjikan, kontribusi ekspor sawit dalam bentuk CPO berpeluang jadi tumpuan menambah pendapatan negara hingga akhir tahun mendatang.
Namun, harapan tersebut harus tetap berdasarkan realita dan mencermati tantangan konkret yang saat ini tengah dihadapi industri sawit.
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia Eddy Martono menyatakan, tren harga sawit yang tumbuh secara signifikan tidak lepas dari tren produksi sawit Indonesia yang stagnan selama lima tahun terakhir. Dengan harga CPO berkisar antara US$ 1.100–US$ 1.200 per metrik ton, stagnasi produksi pun dialami negeri jiran Malaysia.
"Harga mungkin bisa menembus US$ 1.300 per metrik ton karena permintaan dunia terus meningkat. Tidak hanya sawit, tetapi juga minyak nabati lainnya," ujar Eddy dalam seminar Palm Oil as a Strategic Corridor: Strengthening Indonesia-India Economic and Trade Cooperation yang diselenggarakan daring, Senin (22/9/2025).
Dalam keadaan tersebut, akses pembiayaan bank-bank negara (Himbara) yang terbuka memang tidak lagi menjadi kendala bagi produsen sawit di sektor hulu maupun hilir. Walakin, Eddy menyorot ketidakpastian regulasi yang mengatur status lahan perkebunan.
Selama ini, status lahan perkebunan sawit yang dikategorikan kawasan hutan membuat pengelola kebun sawit rakyat tidak dapat mengakses hibah dari Badan Pengelola Dana Perkebunan. Padahal, dana tersebut sangat dibutuhkan untuk meremajakan 3 juta hektare perkebunan sawit rakyat yang sudah masuk kategori layak.
"Petani jadi enggan menebang karena khawatir penghasilan sehari-hari. Padahal, produktivitas kebun mereka sudah sangat rendah, hanya 10 ton tandan buah segar per hektare per tahun. Ada juga yang di bawah itu," ungkap Eddy.
Untuk orientasi ekspor, terdapat dua tantangan yang harus segera diselesaikan pemerintah. Pertama, aturan European Union Deforestation Regulation (EUDR) yang menyatakan bahwa penanaman sawit baru sesudah 31 Desember 2020 dianggap tidak mematuhi ketentuan deforestasi. Kedua, dilema kebutuhan ekspor CPO dengan kebutuhan pemerintah untuk meningkatkan bauran biodiesel menjadi B50 pada 2026.
Eddy menggarisbawahi prioritas pemerintah akan membuat pengusaha terpaksa mengurangi kuota ekspor jika produksi stagnan. Pasalnya, kebutuhan domestik untuk alokasi bauran biodiesel dinaikkan pemerintah.
"Indonesia adalah pemasok besar minyak nabati dunia, sehingga penurunan ekspor bisa mendorong harga minyak nabati global melonjak. Kalau tidak diselesaikan, ekspor kita bisa terganggu. Maka, masalah di dalam negeri dan regulasi global harus ditangani bersamaan," jelasnya.
Lihat secara menyeluruh
Menjadikan satu sumber penerimaan sebagai harapan untuk dapat menambal rendahnya penerimaan lain dapat menjadi solusi jangka pendek. Namun, preseden yang tercipta dari kebijakan ini dapat berimplikasi serius ke depan.
Pengajar Ekonomi Pembangunan, Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (FEB UI), Jahen Fachrul Rezki menjelaskan, capaian pendapatan negara sebesar hampir 60% memang masih rendah. Maka, pemerintah membutuhkan usaha keras untuk meningkatkan penerimaan pajak hingga akhir tahun.
"Usaha ini tidak bisa berdiri sendiri, karena tanpa ekonomi yang tumbuh, pendapatan pajak juga ikut turun. Rendahnya penerimaan juga menandakan ekonomi mengalami perlambatan. Jadi, upaya untuk mendorong dan stimulus kegiatan ekonomi menjadi penting," ujar Jahen saat dihubungi SUAR, Selasa (23/9/2025).
Berbagi pandangan dengan Jahen, Direktur Konsultan Pajak DDTC Indonesia Bawono Kristiaji memprediksi pendapatan negara tidak akan mencapai target sepenuhnya tahun ini. Dia menjelaskan, penerimaan dari setoran pajak masih dapat bertumbuh walau belum tentu mampu mencapai target sebesar Rp 2.189 triliun.
“Peluang pertumbuhan ini bisa didorong dari pemulihan PPN akibat konsumsi yang meningkat menjelang akhir tahun, baik faktor siklikal seperti Natal dan Tahun Baru, ataupun komitmen untuk realisasi belanja pemerintah yang dapat menggairahkan konsumsi secara umum,” jelas Bawono di Jakarta, Selasa (23/9).
Sektor penerimaan kepabeanan dan cukai, menurut Bawono, memang dapat diandalkan karena mengalami tren pertumbuhan yang baik, seiring dengan agenda pemberantasan rokok ilegal yang sudah dicanangkan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa. Namun, dari sumber PNBP, harapan untuk menambal pendapatan harus dilihat secara menyeluruh.
“Pasalnya, PNBP sangat dipengaruhi tren kinerja semua sektor, apalagi harga komoditas dunia saat ini, notabene mengalami tren penurunan. Akibatnya, target pendapatan 2025 berisiko tidak tercapai,” ujarnya.