The Golden Generation of Free Meals (1)

President Prabowo Subianto's administration continues to push for equal distribution of free nutritious meals. Strengthen the foundation of Indonesia's human resources and boost the economy. 

The Golden Generation of Free Meals (1)
Siswa bersiap menyantap makanan saat pelaksanaan Makan Bergizi Gratis (MBG) perdana di SMP Negeri 2 Tabanan, Desa Delod Peken, Tabanan, Bali, Kamis (21/8/2025). (ANTARA FOTO/Nyoman Hendra Wibowo)
Table of Contents

Mobil boks warna putih itu memasuki gang kecil di  jalan Pendidikan Pulo Gebang, Kecamatan Cakung, Jakarta Timur, Kamis, 4 September 2025 lalu. Setelah melalui berapa tikungan, mobil itu lalu berhenti di halaman SMP Negeri 138 Jakarta Timur. Sekejap kemudian, pintu belakang dibuka, lalu ribuan paket Makan Bergizi Gratis (MBG) diturunkan, siap dibagikan kepada seluruh siswa di sekolahan itu. 

Dan, para guru pun sigap memindahkan paket ke boks transparan, menatanya dengan rapi, dan bersiap membagikannya pada pukul 13.00 WIB. “Hari ini menunya makanan kering karena baru jalan lagi setelah libur akibat demo,” ujar Yosi, sopir mobil yang membawa paket.

Program MBG di SMP Negeri 138 kembali beroperasi setelah libur tiga hari akibat kondisi Jakarta yang dilanda demonstrasi dan membuat Pemerintah Provinsi merekomendasikan kegiatan belajar mengajar online atau dalam jaringan (daring). Selama distribusi terhenti, aktivitas memasak di dapur juga ikut berhenti.

Makanan itu dikirim dari dapur Badan Gizi Nasional (BGN) yang berlokasi di Kompleks Era Mas 2000 Pulo Gebang, Jakarta Timur. Dapur milik Yayasan Salman Peduli Berkarya ini memasak sekaligus mendistribusikan MBG ke berbagai sekolah di Kecamatan Cakung, termasuk SMPN 138.

Saat SUAR berkunjung ke dapur tersebut pada Kamis, September 2025, tidak terlihat adanya aktivitas memasak. Pegawai dapur terlihat hanya berbincang satu sama lain menghabiskan waktu. “Baru akan mulai memasak lagi Senin depan,” kata seorang pegawai dapur. 

Program MBG di SMP Negeri 138 Jakarta Timur sudah berjalan sejak Januari 2025. Koordinator program di sekolah ini, Jayadi menegaskan program ini memberi manfaat besar bagi siswa, meski tidak lepas dari catatan perbaikan.

Jayadi mengingat, pada awal distribusi sempat ada kendala makanan datang terlambat. Beberapa kali paket baru tiba ketika siswa sudah pulang. “Itu hanya sekali di awal, mungkin dapur masih adaptasi,” kata guru olahraga ini. Setelah itu, distribusi berjalan lancar.

Sejumlah anak menyantap makanan dari program Makan Bergizi Gratis (MBG) di TK Negeri Pembina 8 kompleks Pemakaman Umum Kota Sorong, Papua Barat Daya, Rabu (20/8/2025). (ANTARA FOTO/Olha Mulalinda)

Kendala berikutnya terkait selera siswa. Menu yang disusun berdasarkan gizi kadang tidak sesuai dengan kebiasaan siswa yang lebih akrab dengan jajanan. “Yang disukai anak belum tentu gizinya bagus, sementara menu MBG gizinya bagus tapi anak kadang kurang suka,” ujarnya.

Meski begitu, makanan yang sesuai selera langsung habis. Mie goreng, kentang sebagai pengganti nasi, hingga ayam berbalut tepung menjadi menu favorit. “Kalau cocok, habis semua,” kata Jayadi. Ia menekankan laporan tentang menu selalu diteruskan ke dapur agar diperbaiki.

Menurut Jayadi, dari 1.080 siswa penerima MBG yang tersebar di 30 kelas, hanya dua hingga tiga anak per kelas yang kadang tidak menghabiskan makanan. Jumlah itu dianggap kecil dibanding total penerima. Bagi Jayadi, masukan soal menu penting agar makanan lebih sesuai dengan selera tanpa mengorbankan nilai gizi.

Pernah juga ditemukan sayur yang tidak bersih sepenuhnya. Jayadi melaporkan ke pihak dapur, dan sejak itu masalah tidak muncul lagi.

Pernah juga ditemukan sayur yang tidak bersih sepenuhnya. Jayadi melaporkan ke pihak dapur, dan sejak itu masalah tidak muncul lagi. “Begitu dilaporkan, langsung diperbaiki,” ujarnya.

Untuk menjaga keberlangsungan kantin-kantin di sekolah, MBG tidak langsung dibagikan pada jam istirahat pertama. Jayadi menjelaskan hal itu untuk memberi ruang bagi kantin tetap beroperasi. “Anak jajan dulu, baru setelah istirahat kedua MBG kami bagikan,” katanya. Dengan begitu, kantin tetap hidup dan siswa tetap mendapat makan siang.

Siswa membawa makanan bergizi gratis (MBG) di SDN Kunciran 2, Pinang, Kota Tangerang, Banten, Rabu (13/8/2025). ANTARA FOTO/Putra M. Akba.

Agar makanan segar ketika dibagikan, ia meminta pengiriman tiba pukul 11.00 WIB. Dengan jeda yang tidak terlalu lama, siswa bisa menikmati makanan dalam kondisi baik. “Ini juga agar kantin tetap laku, anak tetap makan, dan makanan terjaga kualitasnya,” ujar Jayadi.

Beban penanganan program cukup besar karena jumlah siswa yang mencapai lebih dari seribu. Sekolah harus menurunkan 30 boks makanan setiap hari, membagikannya, lalu mengembalikan wadah setelah selesai. “Jumlah guru 40-an, piket datang 12 orang, piket pulang 12 orang, beda orang supaya tidak terlalu capek,” katanya.

Jayadi sendiri mengaku sering harus mengorbankan waktu mengajar untuk menyiapkan administrasi MBG. “Kadang jam dua siang belum selesai, padahal saya juga punya tugas lain,” katanya.

Ia menyadari kondisi ini berbeda dengan sekolah lain. Di beberapa sekolah, jumlah murid hanya sekitar lima ratus, bahkan ada yang kurang dari seratus. “Kita seribuan, jadi sekolah terbesar di Cakung. Wajar kalau bebannya lebih berat,” ucapnya.

Hingga kini, Jayadi mengaku belum menemukan solusi efektif untuk meringankan proses distribusi. Menurunkan boks, membagikan, hingga mengembalikan wadah tetap menyita tenaga. “Saya belum menemukan cara yang tepat, yang jelas cukup menguras tenaga,” katanya.

Meski melelahkan, guru-guru tetap menjalankan tugas dengan penuh tanggung jawab. Jayadi menilai komitmen mereka tinggi. “Walaupun capek, guru-guru tetap menjalani dengan baik. Itu bukti komitmen,” ujarnya.

Dari sisi gizi, ia menilai komposisi harian relatif lengkap. Menu selalu menghadirkan sayur, karbohidrat berupa nasi, kentang, atau mi non-instan, serta buah dan susu. “Kalau dilihat dari empat sehat lima sempurna, sudah terpenuhi,” kata Jayadi.

Variasi menu tetap ada, meski ayam dan telur lebih sering muncul. Ikan jarang dihidangkan, padahal Indonesia negara maritim. “Menu ikan perlu ditambah. Negara kita banyak laut, mestinya ikan gampang,” katanya.

komunikasi dengan dapur selalu terbuka. Setiap masukan dari sekolah ditanggapi dengan cepat dan dijadikan bahan evaluasi

Ia menambahkan, komunikasi dengan dapur selalu terbuka. Setiap masukan dari sekolah ditanggapi dengan cepat dan dijadikan bahan evaluasi. “Kalau ada makanan kurang layak atau anak kurang suka, langsung kami laporkan. Selalu direspon dengan baik,” ujarnya.

Sejauh ini, belum pernah ada kasus keracunan atau alergi di SMP 138. Bagi Jayadi, ini membuktikan bahwa program MBG aman untuk siswa. Ia percaya tim gizi yang terlibat dalam program ini mampu menjaga standar kesehatan makanan.

Jayadi menilai keberadaan MBG sangat penting bagi siswa, terutama yang berasal dari kalangan kelas menengah ke bawah. Mayoritas murid SMP 138 adalah penerima Kartu Jakarta Pintar (KJP) atau berasal dari sekitaran sekolah. “Program ini ibarat bantuan makan langsung bagi anak-anak yang membutuhkan,” katanya.

“Program ini ibarat bantuan makan langsung bagi anak-anak yang membutuhkan,” kata Jayadi.

Ia berharap program ini tetap berlanjut dengan catatan kecil pada variasi menu. “Yang penting makanan jangan mubazir, habis disantap anak, dan tetap bergizi,” kata Jayadi.

Investasi sumber daya manusia unggul 

Program Makan Bergizi Gratis yang digagas oleh Presiden Prabowo Subianto resmi diluncurkan pada 6 Januari 2025, setelah melalui berbagai uji coba. Program di bawah pengelolaan Badan Gizi Nasional (BGN) tersebut merupakan salah satu andalan – sekaligus termasuk dalam 8 program pemerintahan Prabowo Subianto untuk membangun sumber daya manusia (SDM) unggul sebagai fondasi Indonesia Emas 2045.

Presiden Prabowo Subianto pada Senin, 10 Februari 2025, mengunjungi SDN Kedung Jaya 1 Bogor, Kota Bogor, Provinsi Jawa Barat, untuk meninjau langsung pelaksanaan program makan bergizi gratis (MBG). Foto: BPMI Setpres/Cahyo.

Di antara negara-negara Asia Tenggara, Indonesia menjadi negara ke-8 yang memberikan makan bergizi gratis kepada anak-anak, setelah Thailand, Malaysia, Filipina, Kamboja, Laos, Timor Leste, dan Brunei Darussalam.

Dalam APBN 2025, pemerintah telah mengalokasikan anggaran sebesar Rp71 triliun untuk mendanai program MBG dengan target 19,47 juta penerima manfaat. Program MBG menyasar peserta didik mulai dari jenjang pendidikan anak usia dini (PAUD) hingga SMA/sederajat, balita, ibu hamil, dan ibu menyusui.

Sedangkan dalam Nota Keuangan RAPBN 2026 yang dibacakan Presiden Prabowo pertengahan Agustus lalu, anggaran MBG melonjak menjadi Rp335 triliun. Program ini memang menjadi program impian sejak Prabowo berkampanye. 

Ia meyakini MBG menjawab tantangan malnutrisi di Indonesia, yaitu kekurangan gizi dan kekurangan zat gizi mikro. Data tahun 2022 mencatat bahwa 32% anak Indonesia mengalami anemia, 41% tidak sarapan, dan 58% memiliki pola makan tidak sehat, terutama pada kelompok rentan di fase emas pertumbuhan.

Dengan dapur yang bernama Sentra Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) yang mampu melayani rata-rata 3.000 orang per hari, menu MBG disusun berdasarkan prinsip “Isi Piringku” dan memenuhi 25%–35% kebutuhan gizi harian. Program ini diawasi langsung oleh Badan Gizi Nasional, pemerintah daerah, dan sistem digital nasional untuk menjamin transparansi dan akuntabilitas.

Di samping manfaat gizi dan kesehatan, MBG turut memperkuat ketahanan ekonomi melalui pengurangan beban pengeluaran rumah tangga, penciptaan jutaan lapangan kerja, dan stabilisasi harga pangan lewat pembelian langsung dari produsen rakyat.

Kepala Badan Gizi Nasional (BGN) Dadan Hindayana menyatakan, program MBG terus bergulir dan berekspansi dengan pendirian SPPG baru per hari di setiap provinsi di Indonesia. Dalam catatan BGN, hingga Senin, 8 September 2025 lalu, sudah ada sekitar 7.477 SPPG yang resmi beroperasi di 38 provinsi, 509 kabupaten, 7.022 kecamatan. 

Kepala Badan Gizi Nasional (BGN) Dadan Hindayana Foto: BPMI Setpres/Rusman.

“Jadi ada 5 kabupaten belum satu pun SPPG yang operasional,” kata Dadan. Kabupaten yang belum ada SPPG nya adalah Kabupaten Pegunungan Arfak, Provinsi  Papua Barat; Sumba Tengah, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT); Kabupaten Maybrat dan Kabupaten Tambrauw di Provinsi Papua Barat Daya;  dan Kabupaten Mahakam Hulu, di Provinsi Kalimantan Timur. 

Program ini melibatkan dukungan luas dari TNI, Polri, Badan Intelijen Negara (BIN), Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, Kamar Dagang dan Industri (Kadin), Asosiasi Pengusaha Jasaboga Indonesia (APJI), hingga pelaku usaha di berbagai daerah. Selain ribuan SPPG aktif, terdapat ribuan lainnya yang sedang dalam tahap persiapan untuk beroperasi.

Pihak BGN, kata Dadan, saat ini juga sedang melakukan percepatan target aktivasi SPPG di berbagai daerah. Sehingga jumlah penerima layanan juga lebih luas. Seperti pada Juli 2025 lalu target awal yang ditetapkan pengaktifan SPPG hingga 1.994 unit dengan 6 juta penerima manfaat, realisasinya bisa mencapai 2.391 SPPG dengan 7 juta penerima manfaat. 

Percepatan ini juga selaras dengan langkah BGN untuk merekrut SPPI atau Sarjana Penggerak Pembangunan Indonesia, yang merupakan program pelatihan dan pendidikan untuk menghasilkan lulusan sarjana yang akan menjadi pemimpin dan penggerak teknis, terutama dalam mendukung program nasional MBG ini. 

Sarjana Penggerak Pembangunan Indonesia, yang merupakan program pelatihan dan pendidikan untuk menghasilkan lulusan sarjana yang akan menjadi pemimpin dan penggerak teknis

In November, this acceleration is also expected to boost the number of SPPGs to 25,000 units in agglomeration areas and 6,000 SPPGs in remote areas. 

Dadan menegaskan, pihaknya memang terus menggenjot pendirian SPPG karena ini identik dengan penyerapan anggaran yang selama ini nilai kurang optimal. Dalam hitungan BGN, operasional satu SPPG dalam sebulan diperkirakan penyerapannya bisa mencapai Rp 1 miliar. “Artinya kalau ada 7.000 SPPB ada Rp7 triliun yang terserap dalam sebulan,” katanya.  

Perlu mendengar aspirasi dan selera siswa

Meski tidak terlalu besar kendala yang dihadapi, menu MBG yang kurang sesuai kadang membuat program ini jadi kurang sempurna. Beberapa pengakuan dari wali dan siswa perlu menjadi catatan buat BGN untuk berbenah.

Seperti yang diutarakan Lia, bukan nama sebenarnya, yang merupakan kakak dari seorang siswa SMP Negeri 138 Jakarta Timur. Adiknya duduk di kelas 7 dan sudah menerima MBG sejak hari pertama masuk sekolah. Menurut Lia, sang adik kerap mengeluhkan soal soal rasa dan kualitas makanan MBG.

Siswa PAUD dan TK berdoa sebelum makan bersama di TK Negeri Pembina 8 kompleks Pemakaman Umum Kota Sorong, Papua Barat Daya, Rabu (20/8/2025). (ANTARA FOTO/Olha Mulalinda)

Lia menuturkan, adiknya sering membawa pulang MBG karena tidak habis dimakan. “Awal-awal dia bilang telurnya sudah bau, rasanya tidak enak,” katanya.

Di rumah, Lia coba membuktikan keluhan sang adik. Ia mencicipi sayur dalam paket MBG. “Rasanya asam. Seperti belum matang sempurna,” katanya.

Sedangkan Wati, orang tua Rohim, keduanya juga bukan nama sebenarnya, yang bersekolah di SDN 07 Pulo Gebang, bersebelahan dengan SMP 138, menambahkan keluhan serupa. Ia menyebut sayur kerap pahit atau asam.

Untuk menu ayam teriyaki, Wati pernah melihat langsung adanya lendir di ayam. “Kalau ada yang begitu-begitu, saya bilang ke anak saya supaya jangan dimakan,” ujar Wati.

Rohim mengaku paling tidak suka pada sayur dan telur yang disajikan MBG. Serupa dengan pengakuan sang ibu, ia menilai rasanya pahit. Rohim mengaku pernah melepeh tahu dan telur yang disajikan dalam MBG. “Enggak bisa ditelan. Begitu masuk mulut langsung terasa enggak enak,” ujarnya.

Ketika makanan MBG tidak dihabiskan, Rohim membawa pulang makanan itu dengan wadah yang sudah dibawakan Wati dari rumah. Wati pun mengatakan pada Rohim untuk hati-hati sebelum mengudap makanan MBG. “Dia paling ambil buah atau susu saja,” ujar Wati.

Siswa melihat isi makan bergizi gratis (MBG) di SD Negeri Bulagor 1, Pandeglang, Banten, Selasa (9/9/2025). (ANTARA FOTO/Muhammad Bagus Khoirunas)

Soal penyaluran aspirasi, Wati dan Lia mengaku belum berani menyampaikan keluhan ini langsung ke sekolah. Mereka khawatir dianggap rewel karena program ini sifatnya gratis. “Guru-guru sebenarnya terbuka, tapi soal dapur kami tidak tahu,” ujar Wati. Mereka hanya bisa menyampaikan keluhan kepada pihak sekolah dengan harapan keluhan itu diteruskan kepada pihak dapur.

Karena MBG tidak selalu dimakan, Wati mengatakan uang jajan anaknya tidak berkurang. Jika menu cocok, anak bisa menunda makan di rumah. Jika tidak, anak tetap jajan atau makan bekal. Dengan pola ini, keluarga menilai dampak penghematan dari program MBG belum terasa sama sekali.

Wati mengatakan kalau Rohim tidak pernah mengalami sakit perut setelah mengonsumsi MBG. “Alhamdulillah tidak,” katanya. Mereka memilih berhati-hati, hanya memakan yang dinilai layak dan membuang sisanya bila ragu.

Melihat makanan MBG yang kualitasnya meragukan, Lia menilai usulan perbaikan bisa diarahkan pada model penyaluran bantuan. Ia mencontohkan skema di daerah lain yang memberikan bantuan tunai harian langsung kepada orang tua. “Kalau setiap hari diberi Rp15.000 dan dimasak di rumah, pasti dimasak,” ujar Lia.

Melihat makanan MBG yang kualitasnya meragukan, Lia menilai usulan perbaikan bisa diarahkan pada model penyaluran bantuan. Ia mencontohkan skema di daerah lain yang memberikan bantuan tunai harian langsung kepada orang tua.

Selain itu, Wati juga menganggap memberikan uang tunai langsung kepada siswa akan lebih tepat sasaran. Dengan begitu, siswa bisa langsung menggunakan uang tersebut untuk jajan di kantin sekolah. “Kalau seperti sekarang kan sayang. Makanannya banyak nggak dihabiskan,” katanya. 

Wati dan Lia menilai menu MBG lebih aman ketika bentuknya makanan kering dalam kemasan atau berupa susu dan buah. Pada hari-hari seperti itu, anak cenderung mengambil dan menghabiskannya. Mereka berharap menu harian mempertimbangkan keamanan dan rasa agar tidak mubazir.

Keluarga juga mengakui sekolah menjaga ketertiban distribusi dan meminta siswa tidak meninggalkan sisa makanan di lingkungan sekolah. Karena itu, makanan yang tidak habis dibawa pulang. Di rumah, keputusan dimakan atau dibuang ditentukan setelah dicoba.

Lia dan Wati menegaskan kembali, mereka tidak menolak kepedulian pemerintah melalui program MBG. Namun mereka meminta kualitas, rasa, dan variasi menu diperbaiki agar benar-benar dimakan dan bermanfaat kepada siswa. “Yang penting layak, supaya habis dimakan,” kata Lia. 

Dadan Hindayana menegaskan, pihaknya akan selalu mengevaluasi agar menu makan siang dari program ini terjaga mutunya. BGN juga memastikan seleksi dilakukan ketat untuk pengelola makanan, untuk menjaga kualitas layanan, termasuk pemenuhan syarat teknis dan manajemen distribusi pangan.

Dadan Hindayana menegaskan pihaknya akan selalu mengevaluasi agar menu makan siang dari program ini terjaga mutunya.

Dadan menambahkan, peningkatan kualitas layanan dilakukan melalui pengetatan standar operasional prosedur (SOP). Langkah ini mencakup pemilihan bahan baku yang lebih baik, pemangkasan waktu memasak dan pengiriman, serta memastikan makanan tidak disimpan di sekolah lebih dari empat jam untuk menjaga kesegaran dan keamanan pangan. “Kami juga ada evaluasi oleh pakar gizi," ujarnya.  

Kepala daerah siap mensukseskan

Bupati Tapanuli Tengah, Sumatera Utara, Masinton Pasaribu, menyatakan dukungannya terhadap program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang digagas pemerintah pusat. Ia menyebut program itu wajib didukung karena sejalan dengan kebijakan besar presiden.

Di wilayahnya, pelaksanaan MBG masih dalam tahap awal. Masinton menjelaskan, daerahnya menargetkan pembangunan 42 dapur, namun hingga kini baru 18 yang mengajukan izin dan tiga di antaranya sudah beroperasi. “Selebihnya masih dalam proses pembangunan,” katanya kepada SUAR.

Bupati Tapanuli Tengah, Sumatera Utara, Masinton Pasaribu (Kiri), mendukung program Makan Bergizi Gratis (MBG) (Dok. Pemda Tapteng)

Meski baru berjalan di tiga titik, tantangan sudah muncul. Menurut Masinton, persoalan utama terletak pada proses memasak dan distribusi makanan karena jarak antar wilayah cukup jauh. Ia memastikan pemerintah daerah terus memantau agar tahap pembangunan dapur lain bisa segera rampung.

Sedangkan Johannes Rettob, Bupati Mimika, Provinsi Papua Tengah, menyatakan bahwa daerahnya sudah menyiapkan program MBG, meski dengan pendekatan berbeda dibanding dengan wilayah Jawa. Dari 24 dapur yang direncanakan, 13 sudah disiapkan. Namun ia menekankan, kondisi Papua memiliki tantangan tersendiri.

Menurut Johannes, faktor budaya membuat pola pelaksanaan MBG di Papua tidak bisa disamakan dengan daerah lain. Ia mencontohkan, program makanan tambahan bergizi dari dana otonomi khusus sebenarnya sudah berjalan sejak 2018 di hampir seluruh sekolah di Papua. “Hampir semua sekolah kita kasih makan,” ujarnya.

Meski begitu, penerimaan masyarakat terhadap MBG tidak merata di seluruh wilayah di Papua. Di Mimika, misalnya, ada yang menerima, ada pula yang menolak. Johannes melihat jika model pelaksanaannya hanya diserahkan ke yayasan, program punya risiko berhenti di tengah jalan. “Baru satu minggu saja sudah mulai banyak penolakan kalau modelnya seperti itu,” katanya.

Ia mengusulkan model berbeda, yakni pemerintah menyiapkan dapur saja, sementara orang tua dilibatkan langsung untuk memasak. Menurutnya, cara ini lebih menjamin kualitas makanan dan menjaga biaya tetap terkendali. “Orang tua akan masak yang terbaik untuk anak-anak, tanpa motivasi mencari uang,” ujar Johannes.

Ia mengusulkan model berbeda, yakni pemerintah menyiapkan dapur saja, sementara orang tua dilibatkan langsung untuk memasak. Menurutnya, cara ini lebih menjamin kualitas makanan dan menjaga biaya tetap terkendali.

Johannes mengapresiasi niat pemerintah pusat memberikan asupan gizi kepada lewat program MBG. Namun ia menekankan pelaksanaan di lapangan harus disesuaikan agar tepat sasaran.

Kontrol anggaran penyelenggaraan

Seiring pemerintah mendorong alokasi anggaran yang terus membesar untuk menggelar MBG, kekhawatiran pun bermunculan. Karena MBG dinilai bisa membebani postur anggaran pemerintah. Realokasi berasal dari pos-pos eksisting, termasuk pendidikan, ke MBG bisa berdampak ke sektor lain.

Seperti investasi jangka panjang untuk riset, guru, infrastruktur sekolah, hingga transfer ke daerah berpotensi tertekan. Karena itu Center of Economic and Law Studies (Celios) mengimbau agar pemerintah melakukan evaluasi menyeluruh terkait relokasi ini. “Cerita anggaran harus dilihat utuh, dari riset sampai akses jalan ke sekolah,” kata Direktur Keadilan Fiskal Celios, Media Wahyudi Askar. 

Dalam RAPBN 2026, pembangunan generasi unggul melalui program Makan Bergizi Gratis (MBG) dianggarkan senilai Rp335 triliun, ditargetkan menjangkau 82,9 juta penerima manfaat. (Dok. Kantor Staf Presiden)

Ia membandingkan nilai yang diterima penerima manfaat buat makan gratis dengan penerimaan langsung, bedanya besar. Dengan anggaran Rp335 triliun pada 2026, setiap penerima mendapat rata-rata Rp20.000 per hari. Kalau dipersempit hanya untuk keluarga miskin, per hari bisa dapat sekitar Rp50.000. Nilai ini tentu lebih besar dengan jatah MBG yang diplot Rp10.000 sehari. 

Skema bantuan tunai terarah, menurut Media, justru berpotensi lebih efektif dibanding dengan paket makanan kecil dengan kualitas yang kerap dipertanyakan.

Skema bantuan tunai terarah, menurut Media, justru berpotensi lebih efektif dibanding dengan paket makanan kecil dengan kualitas yang kerap dipertanyakan.

Ia juga menyinggung sumber gejolak politik beberapa waktu lalu: kebijakan pemangkasan anggaran atau yang lebih akrab di telinga sebagai ‘efisiensi’. Pemerintah memangkas dana daerah, riset, hingga ATK, lalu menggesernya ke belanja pusat, termasuk MBG. “Argumen ‘daerah boros’ itu lebih gimmick daripada kenyataan,” kritiknya.

Bagi Media, masalah fiskal bukan sekadar soal belanja, tapi juga penerimaan negara. Pajak, ujarnya, masih dikejar dengan logika berburu ketimbang kontrak sosial yang adil. “Akibatnya masyarakat resisten, sementara kebijakan strategis seperti MBG tetap jalan,” katanya.

Mukhlison, Harits Arrazie, dan Dian Amalia