Gaya Jual Rumah ke Generasi Z (3)

Generasi Z paling banyak memanfaatkan fasilitas insentif kredit perumahan berubsidi dari Pemerintah. Perlu evakuasi terkait target program 3 juta rumah.

Table of Contents

Sejak SMA, Leonardo Juan, 27 tahun, sudah terbiasa hidup nomaden, berpindah kamar indekos di berbagai kota. Pengalaman itu mengikis kelekatan emosional pada konsep rumah pribadi.

Bagi Juan, tempat tinggal adalah fungsi, bukan simbol status. Selama atapnya aman dan biayanya masuk akal, bentuk kepemilikannya bisa dinegosiasi.

Ketika terjadi pandemi Covid-19, situasi itu makin menguatkan pandangan Juan. Penghasilan keluarga menurun drastis, memaksa orang tuanya menjual rumah agar dapur tetap ngebul. “Kami bertahan tanpa aset rumah dua tahun ini, ternyata aman-aman saja,” katanya.

Peristiwa itu semakin meyakinkannya kalau kepastian finansial jauh lebih penting saat ini ketimbang kepemilikan tempat tinggal permanen. Sebagai seorang pekerja kreatif, Juan memang bisa bekerja secara remote. Ia kini tinggal berbagi kamar kos bersama adiknya di Bandung. Sekalian meringankan biaya kos adiknya.

Soal masa depan untuk punya rumah sendiri, ia kerap membandingkan gajinya dengan harga properti di pinggiran Jakarta. Rumah subsidi di Kota Bekasi atau Kota Bogor kini menembus Rp160 juta, sementara cicilannya tetap harus dibayar dua dekade.

Rumah subsidi di Kota Bekasi atau Kota Bogor kini menembus Rp160 juta, sementara cicilannya tetap harus dibayar dua dekade.

Rasio pendapatan terhadap harga rumah baginya sudah jauh melampaui garis start. Ia menyimpulkan upaya mengejar kepemilikan rumah akan mengorbankan kebutuhan lain yang lebih mendesak, terlebih seperti seorang sandwich generation seperti dirinya.

Kendala berikutnya terkait kepemilikan rumah ada pada lokasi rumah itu sendiri. Proyek rumah subsidi yang terjangkau sering berjarak dua jam hingga tiga jam perjalanan dari pusat perkantoran. Juan berkantor di kawasan Sudirman, Jakarta. Jika dia tinggal di Bogor atau Bekasi, waktunya akan habis di jalan. “Tua di jalan sama juga rugi,” ujarnya.

Ia mengaku pernah mendengar sekilas tentang skema insentif Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP), Down Payment (DP) Nol Persen via BPJS Ketenagakerjaan, dan pajak PPN yang ditanggung pemerintah. Informasi itu muncul di media sosial dan grup chat kantor, lalu menghilang begitu saja. Hingga kini Juan belum mengetahui betul detail program yang dirancang membantu masyarakat memiliki rumah itu.

“Belum tertarik ngecek detailnya,” ia berterus terang. Skema subsidi terasa jauh dari realitas sehari-harinya, sebab kondisi finansial mengharuskannya meletakkan hal lain sebagai prioritas.

red flowers in front of blue wooden door
Photo by Parker Coffman / Unsplash

Belum lagi jika bicara durasi cicilan dari program-program itu. Pelunasan cicilan sampai 20 tahun rasa-rasanya terlalu lama bagi Juan, ditambah adanya risiko bunga yang floating dan kondisi ekonomi yang tidak stabil saat ini.

Dia juga memikirkan skenario terburuk, seperti kehilangan pekerjaan atau tanggungan keluarga bertambah. Tanpa jaring pengaman, mencicil rumah meski dengan adanya bantuan dari pemerintah, menurut Juan, ibarat berlari maraton tanpa garis finish yang jelas.

Sebagai tulang punggung keluarga, ia tidak punya kemewahan gagal bayar. “Kami adalah safety net kami sendiri,” katanya, menggambarkan posisi generasi yang menopang orang tua dan adik sekaligus.

Setiap keputusan finansial harus menjaga keseimbangan rapuh itu. Rumah, dalam perhitungan Juan, belum memberi nilai tambah setara risikonya.

Pada akhirnya, daripada memiliki rumah sendiri, menyewa rumah bagi Juan terasa lebih masuk akal. Dia tidak perlu memikirkan pajak bumi bangunan, perbaikan atap bocor, atau ongkos izin renovasi.

Katakanlah jika pemilik properti mendadak menaikkan harga sewa, Juan mengatakan masih bisa pindah ke tempat lain tanpa beban penalti bank. Fleksibilitas ini lebih cocok untuknya sebagai sandwich generation.

Generazi Z dan rumah subsidi

Generasi muda seperti Juan, kini, memang dihadapkan pada pilihan sulit dalam menuhi kebutuhan primer seperti rumah. Di satu sisi profesionalitas sekarang bisa ditopang melalui teknologi. Namun mereka juga dibayang-bayangi ketidakpastian. Konsep mapan, dalam hal ini terkait punya tempat tinggal yang layak memang masih jauh panggang dari api.

Maka tak aneh bila akhirnya generasi angkatan kerja paling muda saat ini, seperti Generasi Z adalah kelompok umur yang paling banyak menggunakan insentif pemerintah dalam program kepemilikan rumah.  Menurut data Badan Pengelola Tabungan Perumahan Rakyat (BP Tapera), Generasi Z atau Gen Z kini mendominasi pembelian rumah subsidi sepanjang tahun 2024. Total unit yang dibeli mencapai 124.889 unit.

Kepala Divisi Sekretariat Komunikasi BP Tapera, Alfian Arif, menjelaskan, dominasi Generasi Z dalam pembelian rumah subsidi berdasarkan data penyaluran rumah melalui skema FLPP. Bila diperinci, sepanjang tahun 2024 realisasi penyaluran FLPP untuk segmentasi Gen Z – yakni mereka yang lahir pada periode 1997–2012 atau berusia 19 tahun–30 tahun – mencapai 124.889 unit, setara dengan 62,35%.

Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP) Maruarar Sirait (kedua kanan) bersama Direktur Utama BNI Putrama Wahju Setyawan (kanan) menyaksikan penandatanganan akad KPR Sejahtera FLPP BNI di Jakarta, Rabu (23/7/2025). Melalui kerja sama tersebut BNI diberikan kepercayaan menyalurkan Kredit Pemilikan Rumah Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (KPR FLPP) untuk 25.000 unit pada tahun 2025 dalam rangka menyukseskan program tiga juta rumah. ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto

Angka tersebut menunjukkan bahwa Gen Z menjadi konsumen terbesar rumah subsidi selama tahun 2024. Adapun total penyaluran FLPP sepanjang tahun lalu mencapai 200.300 unit. “Ini artinya, FLPP menjadi solusi bagi Gen Z untuk memiliki rumah,” jelasnya.

Secara detail, penyaluran FLPP kepada konsumen berusia 19 tahun–25 tahun mencapai 66.746 unit (33,32%), sedangkan untuk usia 26 tahun–30 tahun tercatat 58.143 unit rumah (29,03%).

Data BP Tapera juga menunjukkan bahwa penyaluran rumah subsidi kepada kelompok usia lainnya, lebih rendah. Konsumen berusia 31 tahun–35 tahun tercatat sebanyak 33.916 unit (16,93%), usia 36 tahun–40 tahun sebanyak 20.687 unit (10,33%), dan konsumen di atas 40 tahun sebanyak 20.808 unit (10,39%).

Generasi berpenghasilan tanggung

Wakil Ketua Umum Real Estate Indonesia, Bambang Ekajaya, menilai kebijakan insentif perumahan 2025 belum sepenuhnya menjawab kebutuhan Gen Z di Jakarta dan sekitarnya. Menurutnya, Gen Z sebagian besar tergolong masyarakat berpenghasilan tanggung atau MBT, yang justru tidak mendapat dukungan memadai.

“Gen Z yang masuk MBT langsung kena bunga komersial—bisa 12 persen—jadi beban angsurannya berat,” ujar Wakil Ketua Umum Real Estate Indonesia (REI) ini. Sementara kelompok masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) sudah jelas mendapat bunga 5%, bebas PPN, dan bebas BPHTB.

Ia menjelaskan bahwa meskipun saat ini ada program PPN ditanggung pemerintah hingga akhir tahun, pelaksanaannya terkendala ketersediaan unit siap huni. Menurutnya, saat ini hanya sebagian pengembang yang memiliki rumah ready to use dalam waktu lima bulan ke depan. Di sisi lain, Gen Z yang tidak masuk kategori MBR harus menanggung beban balik nama dan bunga tinggi.

Pemerintah memang menaikkan batas penghasilan MBR menjadi sekitar Rp14 juta per bulan. Namun, bagi Gen Z yang penghasilannya sedikit di atas itu, semua fasilitas langsung hilang.

Kelompok ini akhirnya harus masuk ke skema kredit komersial penuh, meski kontribusinya terhadap ekonomi digital sangat besar. Bambang mengusulkan subsidi parsial untuk MBT, misalnya menanggung separuh dari besaran bunga.

Kelompok ini akhirnya harus masuk ke skema kredit komersial penuh, meski kontribusinya terhadap ekonomi digital sangat besar.

Bagi Gen Z yang penghasilannya masih masuk kategori MBR, masalah utamanya bukan soal bunga, melainkan lokasi rumah. Rumah subsidi umumnya berada jauh dari pusat kota dan tempat kerja. Bambang menilai solusi itu bisa ditemukan melalui konsep rusunami. Sayangnya, menurutnya rusunami sulit dijalankan dalam skema FLPP.

Menurutnya, proyek rusunami tidak menarik bagi pengembang karena biaya konstruksinya lebih tinggi daripada harga jual yang ditetapkan. REI sedang mengupayakan satu proyek rusunami sebagai simulasi harga dan konsep.

Bambang belum mau menyebutkan lokasi dan pengembangnya, tapi dia berharap pemerintah bersedia mempertimbangkannya. Rusunami dinilai sebagai solusi paling cocok bagi Gen Z.

Selain itu, pembangunan rumah bersubsidi akan semakin unggul jika menggunakan konsep transit oriented development (TOD), yang memadukan hunian dengan akses transportasi publik seperti KRL, MRT, dan LRT. Lokasinya berada di tengah kota dan dikelilingi fasilitas lengkap. “Orang bisa mobile dengan cepat dan murah,” kata Bambang.

Ia menegaskan konsep ini harus diprioritaskan agar target pembangunan tiga juta rumah bisa dicapai.

Pemerintah sebenarnya sudah mendorong penjualan rumah murah melalui berbagai skema. Salah satunya FLPP. Namun FLPP saat ini baru menyasar pembangunan 350.000 unit per tahun. Padahal, target hunian baru nasional mencapai satu juta unit per tahun.

Sisanya berupa renovasi dan pembangunan rumah desa yang digarap koperasi. Skema non-FLPP hanya menambah sekitar 150.000 unit, sehingga total pasokan baru masih jauh dari target.

Kekurangan pasokan hunian ini, menurut Bambang, akan berdampak pada peningkatan backlog perumahan. Saat ini backlog mencapai 15 juta unit, dan trennya meningkat tiap tahun. Solusi vertikal seperti rusunami dianggap penting untuk menutup kekurangan.

REI sempat menyambut baik rencana bantuan luar negeri yang menargetkan pembangunan satu juta hunian vertikal. Namun hingga kini, rencana itu masih berbentuk konsep. “Sampai sekarang belum terdengar lagi,” katanya.

Warga menjemur pakaian di Rumah Susun Bidara Cina, Jakarta, Senin (28/7/2025). Kementerian Perumahan dan Gubernur DKI Jakarta Pramono Anung mengatakan bahwa peningkatan akses hunian layak pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) tahun 2025-2029 masih mengandalkan penataan kawasan rukun warga (RW) kumuh dan pembangunan hunian vertikal baik berupa sewa maupun milik. ANTARA FOTO/Sulthony Hasanuddin

Ia mengkhawatirkan program semacam itu akan berakhir begitu saja tanpa tindak lanjut.

Bambang juga menyoroti peran Kementerian PKP yang masih lambat beradaptasi pasca dipisahkan fungsinya dari Kementerian PUPR. Fokus kebijakan dinilai tidak tepat sasaran. Ia mengkritik munculnya wacana “bulog perumahan” dari Fahri Hamzah, Wakil Menteri PKP, yang dianggap menyederhanakan persoalan. “Padahal rumah tidak sama dengan beras,” ujarnya.

Masalah lain yang mengganggu sektor ini adalah isu pertanahan, khususnya pengambilalihan tanah terlantar. Tidak adanya batasan yang jelas justru menimbulkan kepanikan di kalangan pengusaha.

Bambang menilai semua persoalan ini membuat energi sektor perumahan terpecah. Ia menyarankan agar kementerian fokus pada pencapaian target rumah baru, termasuk bagi Gen Z.

Terkait penambahan kuota FLPP, Bambang menilai pasar masih mampu menyerap hingga mendekati 400.000 unit. Namun, tantangannya ada pada pendanaan yang tidak selalu siap. “Kalau pendanaan siap, market dan developer tidak ada masalah,” ujarnya.

Ia kembali menekankan bahwa bagi Gen Z, solusi yang paling realistis adalah hunian vertikal dengan subsidi parsial. Kelompok MBT yang berpenghasilan sampai Rp25 juta sebaiknya mendapat bantuan bunga. Skema lain yang bisa didorong adalah penurunan BPHTB dari 5% ke 2,5%. Kombinasi dengan PPN DTP akan memberi insentif total sebesar 12,5%.

REI juga berencana mendorong Provinsi DKI Jakarta menurunkan tarif BPHTB agar menjadi contoh bagi daerah lain. Kewenangan pengaturan BPHTB berada di tingkat provinsi. Jika Jakarta memulai, provinsi lain diharapkan mengikuti. Langkah ini bisa membuat hunian di perkotaan lebih terjangkau.

Penurunan tingkat bunga komersial

Menurut Bambang, masih banyak Gen Z yang belum memprioritaskan kepemilikan rumah karena berbagai kekhawatiran. Mereka khawatir dengan bunga floating, tenor panjang, dan lokasi rumah yang jauh.

Ia menekankan pentingnya edukasi bahwa rumah adalah aset jangka panjang. “Rumah bisa jadi tabungan melawan inflasi,” katanya.

Ia menyebut rumah subsidi 20 tahun lalu hanya bernilai Rp10 juta, tapi kini mencapai Rp170 juta. Kenaikan nilai yang signifikan menunjukkan bahwa rumah bisa menjadi investasi. Bagi Gen Z, ini bisa menjadi pertimbangan dalam mengambil keputusan. Edukasi tentang manfaat jangka panjang rumah harus diperkuat.

Untuk mengatasi hambatan, REI mengusulkan agar pemerintah menurunkan bunga komersial bagi MBT. Jika bunga turun sedikit saja, rumah seharga Rp500 juta di lokasi strategis bisa terserap. Developer kelas menengah akan lebih aktif berkontribusi jika skema ini dijalankan. Subsidi parsial bisa jadi jembatan efektif antara MBR dan kelas menengah.

Solusi jangka panjang, Bambang mengusulkan, adalah memperkuat Komite Perumahan Rakyat yang diketuai oleh Hashim Djojohadikusumo. Komite ini melibatkan REI, perbankan, asosiasi pengembang, pemerintah daerah, dan Badan Pertanahan Nasional (BPN).

Ia percaya koordinasi lintas sektor di dalam komite akan memperlancar izin, pendanaan, pemasaran, hingga alokasi subsidi. “Komite dapat mengoordinasikan semua,” ujarnya.

Di sisi lain, dengan perkembangan penyaluran perumahan yang belum ada data resminya, maka pemerintah perlu lebih transparan terkait kebijakan ini. Bahkan Kepala Ekonom BCA David Sumual menuturkan, pemerintah perlu memikirkan secara komprehensif apakah target pembangunan 3 juta unit rumah tersebut masih realistis atau tidak.

Karena kebijakan ini haru terarah dan didasarkan pada sisi demand dan supply. Berdasarkan kondisi saat ini, demand untuk kredit perumahan khususnya rumah bersubsidi terus meningkat.

Kenaikan demand ini tidak terlepas dari insentif pemerintah melalui skema Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP). “Bahkan ada beberapa bank yang fasilitas penyaluran kredit perumahannya didominasi oleh FLPP,” ujar David Sumual kepada SUAR.

Ia memaparkan, sebagian besar profil pencari rumah masih didominasi generasi milenial, karena secara penghasilan, mereka mampu mencicil rumah. Sedangkan Generasi Z kebanyakan masih suka bersenang-senang dan belum ada target untuk membeli sebuah hunian.

Sebagian besar profil pencari rumah masih didominasi generasi milenial, karena secara penghasilan, mereka mampu mencicil rumah. Sedangkan Generasi Z kebanyakan masih suka bersenang-senang

Sedangkan pengamat properti yang juga menjabat sebagai Head of Research Coldwell Banker Richard Ellis (CBRE) Indonesia,Anton Sitorus, menilai, minat Gen Z untuk memiliki hunian sangat rendah. Fenomena ini tidak hanya terjadi di Indonesia saja, tapi di seluruh dunia.

Ia juga juga sependapat jika kebanyakan Gen Z lebih memprioritaskan gadget, liburan, dan fashion daripada membeli rumah. Faktor utama yang menyebabkan kurangnya minat Gen Z untuk membeli rumah adalah minimnya penghasilan. 

Ada beberapa Gen Z yang mempunyai ketertarikan membeli rumah karena dukungan finansial dari keluarga atau penghasilan yang sudah di atas UMR.

Terobosan pemerintah

Masih menimnya penetrasi distribusi perumahan, khususnya ke Gen Z ini mendorong pemerintah melakukan terobosan. Salah satunya, pada Sepetember nanti, Kementerian Perumahan dan Permukiman Wilayah akan kembali meluncurkan 25.000 rumah subsidi yang diperuntukkan bagi masyarakat dengan profesi khusus.

Berbagai segmen profesi khusus yang akan mendapat prioritas itu, seperti petani, nelayan, buruh, wartawan, tenaga kesehatan, hingga kalangan masyarakat lainnya. "Nanti anybody [siapa saja yang bisa memiliki]. Jadi kita akan membuat masif, karena program ini sangat bermanfaat bagi rakyat, DP-nya 1% kemudian 5% lainnya disubsidi," kata Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP) Maruarar Sirait.

Skema pembiayaan rumah subsidi menggunakan suku bunga sebesar 5%, jauh lebih rendah dibandingkan skema rumah komersial yang mencapai 12%. Hal ini diklaim menjadi satu terobosan yang menarik dan banyak peminat.

Peluncuran 25.000 rumah subsidi ini merupakan bagian dari program peningkatan kuota rumah subsidi nasional. Di mana, tahun 2025 ini melalui melalui Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) ditargetkan penawaran rumah subsidi mencapai 350.000 unit. Jumlah ini naik dari kisaran 200.000 unit pada tahun sebelumnya.

Terobosan lain yang juga dilakukan adalah pengguliran Kredit Usaha Rakyat (KUR) khusus sektor perumahan. Anggaran program ini di bantu langsung oleh Badan Pengelola Investasi (BPI) Danantara – yang berkomitmen menggelontorkan Rp130 triliun melalui pembiayaan KUR bidang perumahan.

Pekerja menyelesaikan pembangunan rumah di kompleks perumahan KPR subsidi kawasan Kaliwungu, Kabupaten Kendal, Jawa Tengah, Rabu (23/7/2025). Pemerintah menargetkan penerbitan regulasi mengenai Kredit Usaha Rakyat (KUR) di bidang perumahan pada akhir Juli yang akan didukung pembiayaan sebesar Rp130 triliun dari Danantara, guna mencapai target pembangunan program 3 juta rumah. ANTARA FOTO/Aprillio Akbar

Skema penyaluran KUR Perumahan nantinya berjalan dalam dua jalur. Dari sisi penawaran perumahan, yang akan terkait dengan para pengembang serta ekosistem perumahan guna menghasilkan rumah berkualitas serta layak huni, dengan plafon anggaran mencapai Rp177 triliun.

Sisi sebaliknya adalah sisi permintaan dengan anggaran Rp13 triliun yang akan terhubung dengan masyarakat yang ingin mengembangkan usaha di sektor perumahan, seperti membangun ruko maupun homestay, sehingga mampu mendorong peningkatan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat.

Mukhlison, Harits Arrazie, dan Ridho Syukra