Filosofi Pekerjaan Sampingan

Pekerjaan sampingan juga berpotensi melanggar kebijakan perusahaan. Karyawan yang mengalami burnout akibat side hustle juga dapat membawa dampak negatif

Filosofi Pekerjaan Sampingan
Photo by Ionela Mat / Unsplash

Ketika seseorang mulai menemukan jalan buntu di depannya, akibat kejenuhan, atau kebutuhan lain yang tidak bisa dipenuhi dari aktivitas rutinnya, maka ia akan cenderung mencari jalan keluar.

Demikian juga seorang profesional yang tiba-tiba punya kebutuhan finansial mendesak, maka dia juga akan perlu mencari tambahan penghasilan. Salah satu jalan penyelesaiannya adalah mencari pekerjaan sampingan. Ini sebuah fenomena biasa yang sudah terjadi sejak lama, namun mulai jadi perhatian, seiring adanya fleksibilitas dalam bekerja.

Apalagi banyak generasi sekarang yang menginginkan perkejaan yang tidak mengikat, bekerja secara fleksibel lewat platform digital atau pekerjaan tambahan di luar pekerjaan utama mereka. Fenomena ini dikenal sebagai gig economy dan side hustle.

Istilah gig economy merujuk pada sistem kerja berbasis proyek atau tugas jangka pendek, di mana pekerja tidak terikat pada satu perusahaan secara permanen. Sementara itu, side hustle merujuk pada pekerjaan sampingan yang dilakukan seseorang untuk mendapatkan penghasilan tambahan di luar pekerjaan utama. Kedua fenomena ini sangat populer di kalangan anak muda, khususnya generasi milenial dan Gen Z.

Namun bagi generasi yang lebih tua, yang sudah terlanjur terikat dengan komitmen lain seperti membangun rumah tangga, maka side hustle menjadi solusi tanpa harus meninggalkan pekerjaan utama yang mengharuskan dirinya aktif dari pagi sampai sore.

Di satu sisi, pekerjaan sampingan ini berdampak positif seperti peningkatan kemandirian finansial dan pengembangan keterampilan baru. Namun individu yang terlanjur larut dalam aktivitas di luar pekerjaan utamanya, juga bisa menerima risiko lain seperti overwork dan burnout serta potensi konflik dengan kebijakan perusahaan.

Pekerjaan sampingan juga berpotensi melanggar kebijakan perusahaan, seperti bekerja untuk kompetitor sehingga  dapat menciptakan masalah. Karyawan yang mengalami burnout akibat side hustle juga dapat membawa dampak negatif pada reputasi perusahaan, misalnya melalui keluhan atau performa yang buruk.

Sehingga perusahaan pun perlu meninjau kembali kebijakan terkait pekerjaan sampingan, agar sesuai dengan tren ini dan dapat menarik serta mempertahankan talenta terbaik. 

Fenomena side hustle bisa dijelaskan secara filosofis sebagai respons eksistensial terhadap tuntutan hidup modern, pencarian makna, dan ketegangan antara sistem ekonomi dan aktualisasi diri.

Masa dimana manusia mengalamami fase seperti ini bisa dijelaskan dari pandangan  filsuf dan teolog abad ke-19 asal Denmark, Søren Kierkegaard. Menurutnya, manusia bebas menentukan makna hidupnya, tapi kebebasan itu datang dengan tanggung jawab dan kecemasan.

Kierkegaard menekankan bahwa tugas utama manusia adalah menjadi dirinya sendiri, bukan sekadar mengikuti norma sosial atau sistem.

Dalam hal ini side hustle bisa menjadi ruang bagi seseorang untuk menegaskan jati dirinya, melampaui peran formal di kantor, dan mengejar panggilan hidup yang lebih dalam. Jalan kecemasan yang dialami sesorang sehingga ia mencari jalanpenyeelsaian dengan bekerja sampingan bisa jadi sebuah kesadaran untuk mencari yang labih tanpa mengoerbakna apa yang sudah ia pegang.

Karena itu  Kierkegaard melihat kecemasan bukan sebagai kelemahan, tapi sebagai tanda bahwa seseorang sedang menghadapi kemungkinan eksistensial. Ketika seseorang merasa tidak puas di pekerjaan utama dan mulai side hustle, itu bisa muncul dari kecemasan eksistensial—tapi justru membuka jalan menuju kebebasan dan otentisitas.

Maka, menghadapai fenomena seperti ini perlu kiranya dilakukan komunikasi terbuka mengenai ketentuan pekerjaan sampingan agar dapat membangun kepercayaan. Mempertimbangkan kebijakan kerja yang lebih fleksibel bisa membantu karyawan menyeimbangkan pekerjaan dan kehidupan pribadi.

Pihak manajemen juga bisa memberikan dukungan kesehatan mental atau sumber daya untuk membantu karyawan mengelola pekerjaan tambahan sehingga dapat mengurangi risiko burnout. Yang paling utama, perlu ada kebijakan yang jelas dan adil mengenai pekerjaan sampingan dapat mencegah konflik kepentingan dan menciptakan lingkungan kerja yang sehat.