Ethics in Algorithms

"Artificial intelligence is a mirror of human intelligence-it reflects our ability to create, while testing the limits of our ethics in controlling that creation." 

Ethics in Algorithms
Photo by Growtika / Unsplash
Table of Contents
"Artificial intelligence is a mirror of human intelligence-it reflects our ability to create, while testing the limits of our ethics in controlling that creation." 

Sepenggal kalimat di atas dibuat menggunakan Copilot, aplikasi kecerdasan milik Microsoft yang disematkan dalam sistem operasi Windows 11. Jawaban itu keluar dari pernyataan yang ditulis di tab input perintah atau prompt: ‘buatkan kalimat filosofis tentang kecerdasan buatan!’. 

Nowadays, people are competing to learn artificial intelligence or AI, how to make effective commands so that AI can provide optimal output. How to utilize AI to ease their work. 

Bahkan AI juga sudah berkembang luas tak hanya menjadi sopir pribadi, tapi juga menjadi dokter pribadi, dengan kemampuan untuk melakukan pembedahan berpresisi tinggi. 

Di satu sisi, kehadiran AI dipuja-puji, namun di sisi lain, pesatnya perkembangan kecerdasan buatan telah menimbulkan kekhawatiran terhadap potensi penyalahgunaan data dan kehilangan kendali manusia atas keputusan yang krusial.

Ya, penggunaan AI kini memang tak sebatas membantu pekerjaan supaya manusia lebih produktif. Namun, AI juga mulai digunakan ke wilayah lebih ekstrim, membuat keputusan penting dan strategis dalam sebuah organisasi. Entah itu untuk memilah Curriculum Vitae calon pegawai, penilaian risiko, hingga perencanaan bisnis. 

Lalu, di balik efisiensi dan objektivitas yang ditawarkan AI, muncul fenomena yang jarang dibahas secara terbuka tentang tanggung jawab moral dalam kepemimpinan berbasis algoritma. Seorang pengambil keputusan bisa saja  lolos dari tanggungjawab, ketika keputusan yang dilakukan oleh kecerdasan buatan menghadapi permasalahan yang merugikan. 

a white toy with a black nose
Photo by julien Tromeur / Unsplash

Ia bisa terlindungi dari konsekuensi langsung atas tindakannya. Ini bisa membuat yang bersangkutan, cenderung mengambil risiko yang lebih tinggi atau mengabaikan pertimbangan etis di  masa depan. 

Dalam kontek filosofis, keputusan kebijakan yang dibuat AI bisa saja kurang punya tanggungjawab moral dalam kehidupan sosial, karena AI memang bukan pikiran manusia yang punya pertimbangan-pertimbangan lain dalam memutuskan sesuatu. Pikiran manusia punya nilai moral, empati hingga feeling yang menjadi potongan seni dalam pengambilan keputusan itu sendiri. 

Sedangkan mesin yang berpikir ini, hanya punya angka-angka untuk menghadirkan output pilihan penyelesaian dari sebuah persoalan yang ingin diurai. Maka, bagaimana seseorang tahu alasan dari keputusan sebuah bank tak memberinya pinjaman uang, bila proposal hutangnya ditolak oleh robot berdasarkan rumus algoritma. 

Di sinilah etika harus tetap ditempatkan dalam sebuah hubungan antar manusia. Deontologi, atau etika kewajiban, menyarankan sebuah pertimbangan kebijakan tidak boleh mengintervensi hak individu. Pertimbangan algoritma tidak etis digunakan, bila memasuki wilayah asasi yang harus dihormati. 

Deontologi, atau etika kewajiban, menyarankan sebuah pertimbangan kebijakan tidak boleh mengintervensi hak individu.

Karenanya, sudah seharusnya sebuah keputusan akhir dari sebuah kebijakan, apalagi yang punya dampak ke komunitas, harus tetap melibatkan pertimbangan manusia di etape terakhirnya, terutama dalam konteks yang berdampak besar secara sosial atau etis.

Meski juga perlu diingat, mesin kecerdasan bukanlah musuh moralitas, tapi alat yang harus digunakan dengan bijak. Kepemimpinan yang bertanggung jawab bukan hanya soal hasil, tapi juga proses dan nilai yang mendasarinya. Di tengah kemajuan teknologi, para pemuka kaumnya, ditantang untuk tidak hanya cerdas secara digital, tapi juga bijak secara etis.

Pernah suatu ketika di satu sosial media seseorang menulis kira-kira redaksionalnya begini: “AI seharusnya bisa mengerjakan pekerjaanku mencuci piring dan menyetrika pakaian-pakaianku, sehingga aku bisa melanjutkan menulis dan membuat karya seni. Bukan malah AI yang menulis dan membuat karya seni, sementara aku yang mencuci piring dan menyetrika pakaian.” Nah…