Ekraf Semakin Menawan, Investasi Tembus Rp 90 Triliun

Kementerian Ekraf melaporkan realisasi investasi Januari sampai Juni 2025 mencapai Rp90,12 triliun, naik dari sekitar Rp64 triliun pada periode yang sama tahun lalu.

Ekraf Semakin Menawan, Investasi Tembus Rp 90 Triliun
Pekerja memilah tas berbahan mendong untuk dikirim ke Bali di rumah produksi Pasundan Natural Carft, Rajapolah, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat, Kamis (11/9/2025). ANTARA FOTO/Adeng Bustomi/bar.

Investasi di sektor ekonomi kreatif (ekraf) mencatat lonjakan besar pada semester pertama tahun ini. Kementerian Ekraf melaporkan, realisasi investasi Januari sampai Juni 2025 mencapai Rp 90,12 triliun, naik ketimbang periode yang sama tahun lalu sekitar Rp 64 triliun.

"Peningkatan investasi ini mencerminkan kepercayaan investor terhadap ekosistem ekraf Indonesia yang semakin kompetitif,” ujar Menteri Ekraf Teuku Riefky dalam rapat kerja dengan Komisi VII DPR, Kamis, (4/9/2025).

Singapura menjadi penyumbang investasi asing terbesar dengan nilai hampir Rp 19 triliun. Dari sisi domestik, Provinsi Jakarta mencatat realisasi sekitar Rp 26 triliun, melonjak dari Rp 18 triliun pada 2024. Mengacu tren tersebut, Kementerian Ekraf optimistis target jangka menengah Rp 152 triliun–Rp 183 triliun pada 2029 dapat tercapai.

Selain investasi, pemerintah juga menyiapkan target pertumbuhan lain untuk lima tahun ke depan. Kontribusi PDB ekraf ditargetkan naik dari 5,69% pada 2024 menjadi 6,12% pada 2029. Lapangan kerja yang diserap pun diproyeksikan meningkat dari 26,5 juta pekerja pada 2024 menjadi 27,7 juta pekerja pada 2029.

Ekspor industri kreatif

Kinerja ekspor subsektor turut memperlihatkan hasil positif. Fesyen menjadi kontributor utama dengan nilai lebih dari US$ 7 miliar. Lalu, diikuti kriya yang mencakup mebel dan kerajinan sebesar US$ 5,01 miliar, serta kuliner hampir US$ 800 juta.

Pasar tujuan pun lebih beragam, dengan kenaikan pengiriman ke Swiss, Jepang, dan Uni Emirat Arab antara 5% hingga 19%.

Untuk menjaga momentum, Kementerian Ekraf mengajukan tambahan anggaran Rp 2,24 triliun guna mendanai program baru. Inisiatif tersebut meliputi pemberdayaan desa kreatif, penguatan industri kriya dan kuliner untuk UMKM, serta dukungan terhadap festival lokal. DPR telah memberikan persetujuan prinsip dengan catatan alokasi dana harus benar-benar menyentuh pelaku industri kreatif.

Optimisme serupa juga terlihat pada kinerja ekspor. Berdasarkan data Bea Cukai yang diolah kembali oleh Kementerian Ekraf, ekspor ekraf tercatat US$ 25,1 miliar di tahun 2024, sementara di semester I–2025 telah mencapai US$ 13 miliar dan diproyeksikan konsisten naik hingga mencapai US$ 33 miliar pada 2029.

Dari sisi tenaga kerja, sektor ekraf telah menyerap 26,5 juta tenaga kerja pada 2024. Angka ini diproyeksikan meningkat stabil hingga 27,7 juta tenaga kerja pada 2029.

Ekspor subsektor ekraf pada semester I–2025 didominasi fesyen senilai US4 7,09 miliar, kriya US$ 5,01 miliar, dan kuliner mencapai US$ 767 juta. Diversifikasi pasar juga mulai menguat. Pengiriman ke Swiss, Jepang, dan Uni Emirat Arab meningkat mulai dari 5,7% hingga 19,14%.

Ketua Umum Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia (HIMKI), Abdul Sobur, menyebut data ekspor kriya sejalan dengan kondisi lapangan. Ia mencatat pertumbuhan ekspor mebel dan kerajinan pada semester I–2025 berada di kisaran 7%–8%. “Walaupun ada pertumbuhan, tekanan tetap terasa, terutama dari pasar Amerika Serikat yang menyerap lebih dari separuh ekspor kita,” ujarnya.

Sobur menjelaskan, ekspor ke Eropa masih lemah akibat konflik dan perlambatan pasca-pandemi. Namun peluang baru terlihat di Timur Tengah, India, dan Asia Timur – yang permintaannya terus meningkat.

Menurutnya, pemerintah perlu aktif mendorong produsen mengikuti pameran internasional agar diversifikasi pasar tidak berhenti di atas kertas.

"Pemerintah perlu aktif mendorong produsen mengikuti pameran internasional agar diversifikasi pasar tidak berhenti di atas kertas," kata Sobur.

HIMKI menargetkan ekspor mebel dan kerajinan mencapai US$ 6 miliar pada 2030. Target tersebut dianggap realistis, karena konsumsi furnitur global terus tumbuh seiring dengan meningkatnya kelas menengah di banyak negara. Meski demikian, persaingan dengan produsen besar seperti Tiongkok dan Vietnam masih menjadi kendala serius.

Sobur menekankan pentingnya kebijakan yang lebih mendukung daya saing industri. Ia menyoroti regulasi ekspor yang masih berbelit dan bunga pinjaman yang lebih tinggi dibanding dengan negara pesaing. Menurutnya, kemudahan prosedur dan akses pembiayaan murah akan sangat menentukan kemampuan pelaku mebel dan kerajinan dalam meraih peluang dari derasnya investasi ekraf.

Porsi pembiayaan murah yang tersedia saat ini dinilai masih terbatas dan lebih banyak dinikmati perusahaan besar. UMKM, yang menjadi tulang punggung subsektor kriya, sering kesulitan mendapatkan kredit dengan bunga yang wajar. Tanpa fasilitas tersebut, sulit bagi pelaku kecil dan menengah untuk meningkatkan kapasitas produksi maupun menembus pasar ekspor baru.

Diversifikasi pasar dipandang HIMKI sebagai langkah penting ke depan. Walaupun Amerika Serikat tetap menjadi pasar utama, asosiasi mendorong anggotanya memperluas penetrasi ke Timur Tengah, Jepang, hingga India. Potensi ini semakin terbuka setelah Indonesia bergabung dengan BRICS yang bisa memperluas akses perdagangan.

Sobur juga melihat ada peluang investasi yang berpotensi bergeser dari Vietnam ke Indonesia. Kapasitas Vietnam yang mulai jenuh mendorong investor mencari alternatif di kawasan. Namun, ia mengingatkan bahwa pergeseran ini tidak akan cepat, karena membutuhkan pembangunan fasilitas produksi baru serta tenaga kerja yang siap pakai.

Dengan kondisi itu, HIMKI berharap tambahan anggaran Rp 2,24 triliun di Kementerian Ekraf benar-benar diprioritaskan untuk program yang menyentuh kebutuhan industri. Dukungan seperti fasilitasi pameran, insentif sertifikasi, dan kredit berbunga rendah dinilai akan lebih berdampak dibanding program yang hanya untuk keperluan seremonial.

Yusuf Rendy Manilet, peneliti ekonomi dari Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, menilai realisasi investasi Rp 90,12 triliun pada semester pertama 2025 merupakan sinyal positif bagi perkembangan ekraf. Menurutnya, keputusan investor menanamkan dana dalam kondisi ekonomi yang penuh tantangan menunjukkan ada keyakinan akan imbal hasil jangka panjang.

Keputusan investor menanamkan dana dalam kondisi ekonomi yang penuh tantangan menunjukkan ada keyakinan akan imbal hasil jangka panjang.

“Ini sinyal yang baik, tinggal kita lihat nanti dana tersebut masuk ke subsektor mana saja,” ujarnya.

Ia menyoroti tiga subsektor yang saat ini menonjol. Yakni, fesyen, kriya termasuk mebel, dan kuliner.

Produk-produk ini dinilai punya keunikan dan basis industri yang kuat, sehingga lebih mudah diterima pasar global. Namun ia mengingatkan, subsektor lain juga berpotensi memberi nilai tambah besar, walaupun saat ini belum seoptimal ketiga subsektor utama tersebut.

Terkait pemerataan manfaat investasi, Yusuf mengingatkan perlunya koordinasi lintas kementerian. “Kebijakan ekraf tidak bisa berdiri sendiri, harus dihubungkan dengan kebijakan kementerian UMKM, perdagangan, hingga perindustrian agar pelaku kecil bisa ikut masuk ke rantai ekspor,” katanya.

Tanpa orkestrasi seperti itu, menurut dia, UMKM akan terus kesulitan memenuhi standar maupun memperoleh sertifikasi global.

Menurut Yusuf, keberlanjutan arus investasi akan sangat bergantung pada konsistensi pemerintah dalam mengevaluasi kebijakan. Target yang telah tercapai perlu ditingkatkan, misalnya dengan memperluas akses pasar global. Di sisi lain, komunikasi dengan pelaku usaha menjadi kunci agar kebutuhan mereka benar-benar terakomodasi.

Ia menambahkan, prospek jangka panjang ekraf juga ditopang modal demografis Indonesia. “Dengan populasi muda yang besar dan penggunaan internet yang masif, Indonesia punya modal penting untuk menjaga tren positif ini tetap berlanjut,” ujarnya.

Read more