Economy slows down due to geoeconomic conflicts, need to anticipate

World Economic Forum (WEF) research forecasts a global slowdown in the next year.

Table of Contents

Ketegangan perdagangan yang mempercepat fragmentasi geoekonomi menyebabkan perekonomian dunia harus bertransformasi cepat dalam waktu singkat. Perubahan rantai pasok dan rekalibrasi investasi global yang terjadi simultan memicu kekhawatiran perlambatan di kawasan potensial. Diversifikasi pasar dan mekanisme multilateral perlu segera ditindaklanjuti sebagai antisipasi efek terusan yang dapat menghambat kinerja pertumbuhan ekonomi Indonesia.

Situasi tersebut terdeskripsikan jelas dalam laporan terbaru Chief Economists Outlook yang diterbitkan Centre for the New Economy and Society World Economic Forum (WEF) pada Kamis, 25 September 2025 lalu. Laporan sepanjang 34 halaman tersebut menyintesis hasil 35 survei yang dilaksanakan WEF sejak Mei 2023 sampai September 2025, diikuti 72 ekonom kepala dari 20 negara.

WEF memperlihatkan perubahan sikap para responden dalam prediksi ekonomi global sejak Mei 2025. Sebanyak 61% responden menyatakan ekspektasi akan melemah (somewhat weaker), sementara 39% responden menyatakan ekspektasi akan jauh melemah (much weaker). Sebanyak 82% responden menengarai kebijakan tarif resiprokal AS sebagai biang keladi meningkatnya fragmentasi geoekonomi.

Dalam situasi demikian, meski volume perdagangan global meningkat US$300 miliar pada semester pertama 2025, praktik frontloading massal dan perubahan rantai pasok yang semakin mengandalkan eksportir Tiongkok semakin mengalihkan tujuan pasar menjauh dari AS. Dengan kata lain, alih-alih menguntungkan, kebijakan tarif justru memicu berkembangnya magnet ekonomi baru di luar AS.

"Pertumbuhan ekonomi Tiongkok relatif menguat, meski tanda-tanda perlambatan mulai terlihat. Meski PDB bertumbuh 5,2% YoY, pertumbuhan industri melambat dalam persentase yang sama, seperti juga penjualan ritel yang hanya tumbuh 3,4% tahun ini," tulis laporan tersebut.

Tidak hanya Tiongkok, perlambatan ekonomi pun dialami kawasan Asia Timur dan Pasifik secara lebih luas. WEF mengungkap pertumbuhan ekspor Jepang yang jatuh ke persentase 2,6%, terendah dalam empat tahun, antara lain karena penurunan persentase pengiriman ke AS hingga 10% sejak kebijakan tarif mulai diberlakukan.

"Akibat perlambatan ini, 78% responden menilai kebijakan fiskal di kawasan Asia Timur dan Pasifik akan cenderung stabil, sementara 64% responden menyatakan kebijakan moneter tidak akan mengalami perubahan signifikan, diikuti penyesuaian sistem perdagangan global yang berlangsung lambat dan tidak merata," catat WEF.

Dalam beberapa waktu mendatang, risiko sistemik akan dihadapi sektor sumber daya alam dan energi, terutama dalam tarik-menarik antara potensi mineral tanah jarang dan dampak eksplorasi berlebih terhadap perubahan iklim. Disrupsi dalam jangka panjang, antara lain, akan disebabkan risiko lingkungan terhadap aktivitas eksplorasi ini.

Sementara itu, dalam jangka panjang, institusi ekonomi global yang telah mapan, mulai dari WTO hingga PBB, harus mempersiapkan diri untuk restrukturisasi. Tidak hanya mempertahankan pilar-pilar aturan lama, institusi ekonomi global harus mengoordinasikan respons krisis, menetapkan aturan bersama, dan memediasi konflik secara efektif.

Diversifikasi menjadi kunci

Kemungkinan perlambatan ekonomi di wilayah Asia Timur dan Pasifik memicu kekhawatiran lebih luas terhadap efek terusan bagi kinerja perekonomian Indonesia, khususnya di tahun 2026. Langkah-langkah kunci penting dipersiapkan untuk mengantisipasi kemungkinan ini.

Analis Kebijakan Ekonomi Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Ajib Hamdani menilai dalam konteks rantai pasok global, dunia usaha akan menghadapi imbas untuk memperoleh bahan-bahan baku impor. Karenanya, mitigasi kebijakan dalam negeri haruslah bertujuan memproteksi dan mendorong regulasi untuk low cost economy.

"Dari sisi suplai, ekonomi domestik Indonesia bisa memproduksi barang dan jasa yang berdaya saing. Sementara itu, dari sisi permintaan, pemerintah harus fokus dengan kebijakan propenciptaan lapangan kerja guna menopang daya beli masyarakat. Keduanya dilakukan bersamaan untuk pertumbuhan ekonomi yang sustain di atas 5 persen," ujar Ajib saat dihubungi SUAR, Selasa (30/9/2025).

Tidak hanya dunia usaha, pemerintah telah mempersiapkan sejumlah langkah untuk mengantisipasi perlambatan ekonomi. Juru Bicara Kementerian Koordinator Perekonomian Haryo Limanseto menegaskan, APBN difokuskan sebagai shock absorber lewat percepatan realisasi belanja, di samping memastikan sinergi moneter dan likuiditas stabilisasi nilai tukar rupiah.

"Pemerintah melanjutkan reformasi struktural melalui percepatan deregulasi dengan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2025 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko yang berlaku efektif pada 5 Oktober 2025. Aturan ini mengintegrasikan sistem dalam online single submission untuk mendorong kemudahan berusaha," jelas Haryo dalam pernyataan tertulis yang diterima SUAR, Selasa (30/9/2025).

Terhadap dunia usaha, pemerintah menganjurkan diversifikasi pasar ekspor dan pemanfaatan free trade agreement bilateral, regional, maupun multilateral, termasuk memaksimalkan manfaat skema FTA yang baru disepakati seperti ICA-CEPA dan IEU-CEPA.

"Untuk memanfaatkan skema tersebut secara maksimal, dunia usaha diharapkan mulai fokus meningkatkan nilai tambah dengan menggeser fokus ekspor dari komoditas menjadi produk bernilai tambah tinggi," pungkas Haryo.

Ciptakan mekanisme komprehensif

Sekalipun tidak mudah, membaca pergeseran geoekonomi dapat dilihat dengan mengobservasi pola perilaku aktor-aktor yang terlibat sebagai pemain kunci selama beberapa tahun terakhir.

Pengajar geoekonomi Departemen Ilmu Hubungan Internasional Universitas Indonesia (HI UI) Shofwan Al Banna Choiruzzad menggarisbawahi perilaku AS yang menunjukkan kehendak menata ulang ekonomi global dengan mengeluarkan Tiongkok dari sirkuit ekonomi secara ofensif. Kini, AS tidak hanya menyasar produk-produk "Made in China", tetapi juga mengincar "Made With China".

"Hal ini membuat posisi negara-negara berkembang yang ekonominya banyak terhubung dengan Tiongkok menjadi sangat rawan. Padahal, Tiongkok adalah mitra dagang dan investasi utama di banyak negara tersebut. Kalau negara itu tergantung pada perdagangan internasional, kondisi ekonominya dapat memburuk," cetus Shofwan saat dihubungi SUAR, Selasa (30/9/2025).

Kehati-hatian para investor dan manuver-manuver proteksionis guna melindungi perekonomian domestik juga menjadi dampak sampingan akibat ketidakpastian global yang memberikan tekanan pada perekonomian. Dalam situasi ini, menurut Shofwan, diplomasi ekonomi tidak boleh hanya dilihat dalam kacamata ekonomi dan perdagangan saja.

"Perlu antisipasi strategis dengan membangun mekanisme yang lebih komprehensif untuk memperkuat multilateralisme dan membangun arsitektur pengaman untuk menghadirkan kepastian ekonomi di level regional. ASEAN, CP-TPP, dan Uni Eropa perlu membangun mekanisme bersama untuk merespons ketidakpastian yang akan terus dimunculkan Donald Trump," jelasnya.

Percepatan industrialisasi sektor-sektor strategis dan diversifikasi pasar sebagai langkah awalan dunia usaha penting untuk diikuti penataan ulang prioritas fiskal pemerintah. Tujuan utamanya: memperkuat resiliensi masyarakat di tengah gejolak yang semakin fluktuatif.

"Pemerintah perlu memastikan, di tengah situasi global yang tidak pasti, alokasi sumber daya benar-benar tersalurkan secara tepat dan tidak dihamburkan untuk program yang salah," tutup Shofwan.

Author

Chris Wibisana
Chris Wibisana

Macroeconomics, Energy, Environment, Finance, Labor and International Reporters