Efisien dan Antibocor di RAPBN 2026 (3)

Pemerintahan mematok target tinggi dalam rancangan anggaran dan pendapatan di tahun 2026. Pembiayaan belanja yang akan ditopang pajak perlu dirancang matang agar tidak membebani rakyat.

Efisien dan Antibocor di RAPBN 2026 (3)
Presiden Prabowo Subianto menyampaikan pidato kenegaraan dalam rangka Penyampaian Pengantar/Keterangan Pemerintah atas RUU tentang APBN Tahun Anggaran 2026 beserta Nota Keuangannya Jumat (15/8/2025). (ANTARAFOTO/Dhemas Reviyanto)
Table of Contents

Indonesia akan mencapai anggaran berimbang. Itulah satu niatan baru yang digulirkan Presiden Prabowo Subianto, saat pidato kenegaraan penyampaian Rancangan Undang-Undang APBN 2026 beserta Nota Keuangan pada Rapat Paripurna Pembukaan Masa Persidangan I DPR RI Tahun Sidang 2025–2026 di Gedung Nusantara, Jakarta, pada Jumat, 15 Agustus 2025.

Arsitektur APBN 2026 dirancang dengan Belanja Negara sebesar Rp3.786,5 triliun, Pendapatan Negara Rp3.147,7 triliun, dan defisit Rp638,8 triliun atau 2,48% terhadap PDB. Presiden menyatakan, pemerintahannya akan melakukan perombakan terkait alokasi anggaran negara, sehingga bisa lebih efisien dan efektif untuk bisa memakmurkan bangsa. 

Dalam paparannya, Presiden menegaskan akan melakukan penghematan pengeluaran negara, dan mencegah kebocoran anggaran yang selama ini merugikan keuangan negara dengan jumlah yang tidak sedikit. 

“Pemerintah yang saya pimpin berjanji di hadapan majelis ini, kami akan terus melaksanakan efisiensi sehingga defisit ini kita ingin tekankan sekecil mungkin. Dan adalah harapan saya, adalah cita-cita saya untuk suatu saat apakah dalam 2027 atau 2028, saya ingin berdiri di depan majelis ini, di podium ini untuk menyampaikan bahwa kita berhasil punya APBN yang tidak ada defisitnya sama sekali,” tegas Presiden.

Delapan Program Prioritas Pemerintahan Prabowo

  • Ketahanan pangan sebagai fondasi kemandirian bangsa.
  • Ketahanan energi untuk kedaulatan bangsa.
  • Makan Bergizi Gratis (MBG) untuk generasi unggul.
  • Pendidikan bermutu untuk SDM berdaya saing global.
  • Kesehatan berkualitas yang adil dan merata.
  • Penguatan ekonomi rakyat melalui Koperasi Desa Merah Putih (KMDP).
  • Pertahanan semesta untuk menjaga kedaulatan bangsa.
  • Percepatan investasi dan perdagangan global.

Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026 dinilai sebagai rancangan yang ambisius, dengan total belanja negara menembus angka Rp3.786 triliun.

Angka fantastis ini disiapkan untuk mendanai delapan program prioritas, termasuk program makan bergizi gratis, memperkuat pertahanan, hingga akselerasi investasi. 

Presiden Prabowo Subianto menegaskan komitmennya untuk menjaga kesehatan fiskal negara dengan mengelola Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) secara efisien, transparan, dan tepat sasaran. (BPMI Setpres/Muchlis Jr)

Anggaran besar tanpa bocor

Dalam pidato itu, Presiden Prabowo juga meminta dukungan seluruh kekuatan politik untuk menghilangkan kebocoran anggaran. Ia juga menyoroti perlunya optimalisasi pendapatan negara melalui perpajakan yang adil, serta pengelolaan aset dan sumber daya alam secara produktif.

Selain itu, kualitas belanja negara juga harus terus ditingkatkan. Belanja operasional yang tidak efisien akan dipangkas, sementara belanja yang memberi manfaat nyata, menciptakan lapangan kerja, dan memperkuat layanan publik akan menjadi prioritas. “Setiap rupiah harus memberi manfaat yang nyata,” tegas Presiden.

Arsitektur APBN 2026

  • Pendapatan negara Rp3.147,7 triliun;
  • Belanja negara p3.786,5 triliun; dan
  • Defisit APBN 2026 Rp638,8 triliun atau 2,48 persen dari produk domestik bruto (PDB).

Dalam hal ini, Pemerintah akan mengandalkan transformasi digital dan perbaikan tata kelola untuk pemberantasan korupsi, meningkatkan penerimaan negara dan membantu mencegah kebocoran keuangan negara. Juga dilakukan perbaikan tata kelola untuk pemberantasan korupsi, meningkatkan penerimaan negara, sekaligus membantu mencegah kebocoran keuangan negara.

Tak lupa juga diupayakan perbaikan pelayanan melalui transformasi digital dan terus mendorong reformasi birokrasi. Salah satunya memanfaatkan Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik (SPBE) sebagai alat penting untuk mencegah dan memberantas korupsi dengan meningkatkan transparansi, efisiensi, dan akuntabilitas dalam penyelenggaraan pelayanan publik.

Juga ada integrasi dan digitalisasi layanan pada kementerian lembaga dan di pemerintah daerah, salah satunya melalui Sistem Informasi Pemerintahan Daerah (SIPD). Dengan sistem ini, sinkronisasi program pembangunan pusat dan daerah dapat dikontrol langsung melalui satu sistem yang sama.

Sejak awal pemerintahannya, Presiden Prabowo juga sudah menekankan adanya penggunaan anggaran yang efisien. Kepala Negara menginstruksikan jajaran pemerintah di seluruh tingkatan memerangi kebocoran anggaran.

Pengeluaran yang boros dan hal-hal yang tidak langsung mengatasi kesulitan rakyat dan yang tak produktif, dilarang. Presiden Prabowo juga mengajak seluruh unsur agar mengurangi pengeluaran anggaran untuk kegiatan seremoni. "Kurangi kegiatan yang bersifat kajian atau seminar. Sekarang saatnya mengatasi masalah langsung," ujar Presiden di Istana Negara pada Desember tahun lalu.

Pengelolan anggaran yang prudent dan inovatif

Di sektor pembiayaan, Presiden Prabowo menegaskan bahwa APBN akan dikelola secara prudent dan inovatif, menjaga rasio utang pada batas aman, sekaligus memberdayakan peran BPI Danantara Indonesia dan sektor swasta untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. 

Suasana saat Presiden Prabowo Subianto menyampaikan pidato kenegaraan Pengantar/Keterangan Pemerintah atas RUU APBN 2026 beserta Nota Keuangannya di DPR, Jakarta, Jumat (15/8/2025). (ANTARAFOTO/Dhemas Reviyanto)

Dengan pengelolaan fiskal yang sehat, Pemerintah menargetkan pertumbuhan ekonomi 2026 sebesar 5,4% atau lebih, inflasi terkendali di level 2,5%, dan angka pengangguran terbuka turun ke kisaran 4,44%–4,96%. “Angka kemiskinan kita turunkan ke 6,5 persen hingga 7,5 persen, rasio Gini kita turun ke tingkat 0,377 sampai 0,38. Indeks Modal Manusia kita targetkan 0,57,” ujar Presiden.

Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026 dinilai sebagai rancangan yang ambisius, dengan total belanja negara menembus angka Rp3.786 triliun.

Pertumbuhan dibiayai pajak, kepabeanan, dan cukai

Menjelaskan soal arah RAPBN 2026, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menegaskan, kebijakan fiskal ini bersifat ekspansif dan terarah. "RAPBN 2026 disusun untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan," ujarnya. 

Target Tinggi RAPBN 2026

  • Defisit RAPBN 2026 ditargetkan Rp639 triliun (2,48% PDB), lebih rendah dari proyeksi 2025 sebesar Rp662 triliun (2,78% PDB).
  • Pertumbuhan ekonomi 2026 dipatok 5,4%; risiko terbesar bila tidak tercapai adalah penerimaan negara meleset, defisit melebar, dan pemerintah terpaksa memangkas belanja.
  • Asumsi makro: yield SBN 10 tahun 6,9% dan kurs Rp16.500/US$

Pemerintah juga sudah menetapkan, anggaran  terbesar, yakni Rp3.136,5 triliun, akan dialokasikan untuk belanja pemerintah pusat. Di antara agenda yang akan disuntik dana besar adalah ketahanan pangan, energi, pendidikan, kesehatan, pembangunan desa, serta pengembangan koperasi dan UMKM.

Ketua DPR Puan Maharani menerima laporan hasil pembahasan dari Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati pada Rapat Paripurna DPR ke-3 masa Persidangan I Tahun 2025-2026 di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (21/8/2025). (ANTARA FOTO/Asprilla Dwi Adha)

Sedangkan proyeksi pendapatan negara juga melonjak, dipatok sebesar Rp3.147,7 triliun, dengan pendapatan pajak menjadi andalan utama. Meskipun demikian, pemerintah harus mengantisipasi defisit anggaran sebesar Rp638,8 triliun, atau sekitar 2,48% dari PDB, yang akan ditutup melalui pembiayaan utang.

Transfer ke daerah juga mendapat porsi signifikan, sebesar Rp650 triliun, dengan tujuan menyelaraskan kebijakan fiskal nasional dan mendorong kemandirian daerah. RAPBN 2026 ini diharapkan menjadi instrumen vital dalam menjaga stabilitas ekonomi dan mendorong pemerataan pembangunan di Tanah Air, meskipun tantangan global masih membayangi.

Menteri Sri Mulyani menjelaskan, sumber pendapatan negara akan ditargetkan berasal dari penerimaan pajak sebesar Rp2.357,7 triliun, kepabeanan dan cukai Rp343,3 triliun, serta penerimaan negara bukan pajak (PNBP) Rp455,0 triliun.

Terkait target pendapatan negara sebesar Rp3.147,7 triliun atau naik 9,8% pada tahun 2026 Menteri Keuangan Sri Mulyani menjelaskan, sumber pendapatan negara akan ditargetkan berasal dari penerimaan pajak sebesar Rp2.357,7 triliun, kepabeanan dan cukai Rp343,3 triliun, serta penerimaan negara bukan pajak (PNBP) Rp455,0 triliun.

“Target pendapatan negara target cukup besar. Kalau kita lihat, kinerja selama tiga tahun terakhir, itu kenaikannya hanya sekitar 5,6 persen [2023]. Bahkan, tahun ini kemungkinannya hanya 0,5 persen, maka reform di bidang pajak, PNBP, kepabeanan dan cukai menjadi sangat penting,” jelasnya. 

Ia mengungkapkan strategi mencapai target penerimaan pajak akan dilakukan pemerintah melalui optimalisasi sistem perpajakan digital terbaru yaitu Coretax, dan  sinergi pertukaran dari kementerian/lembaga (K/L), juga sistem pungutan digital dalam negeri dan luar negeri. 

Dirjen Pajak Bimo Wijayanto (tengah), Direktur Peraturan Perpajakan I DJP Hestu Yoga Saksama (kanan), dan Staf Ahli Bidang Kepatuhan Pajak Yon Arsal (kiri) memaparkan PMK 50, PMK 51, dan PMK 53 tahun 2025 di Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak, Jakarta, Kamis (31/7/2025).

Selain itu, secara simultan akan  dilakukan penguatan join program dalam hal analisis data, pengawasan, pemeriksaan pajak, intelijen, dan kepatuhan pajak. “Pemerintah juga memberikan insentif daya beli, investasi, dan hilirisasi,” tambah Sri Mulyani.

Sementara itu, strategi mencapai target penerimaan kepabeanan dan cukai, yaitu mengintensifkan bea masuk perdagangan internasional sekaligus bea keluar untuk mendukung hilirisasi produk.

Secara parsial, menerapkan kebijakan cukai hasil tembakau (CHT) serta memperkuat penegakan hukum untuk pemberantasan produk barang kena cukai dan penyelundupan.

“Pada bidang PNBP, kita kan mengoptimalisasi perbaikan tata kelola, inovasi, pengawasan dan penegakan hukum sumber daya alam (SDA). Kemudian penguatan sinergi K/L dan Sistem Informasi Mineral dan Batubara Antar Kementerian/Lembaga (Simbara),” ungkap Sri Mulyani.

Anggaran ketat untuk arah baru pembangunan 

Arah kebijakan Presiden Prabowo Subianto dalam RAPBN 2026 memperlihatkan alokasi anggaran yang terpusat pada program-program prioritas.  Selain sebagai instrumen ekonomi, APBN juga dianggap  sebagai arah baru pembangunan ekonomi Indonesia dengan penekanan pada peran dominan negara.

Namun yang memicu pertanyaan, dengan postur anggaran yang ditetapkan, apakah cukup membiayai program besar dengan anggaran jumbo itu. Dalam pidatonya Presiden menyebut,  ada beberapa fokus utama yang jadi program prioritas yaitu pendidikan, program makan bergizi gratis, serta penguatan koperasi desa. Selain itu juga akan memperkuat sektor pertahanan, kesehatan dan meningkatkan investasi. 

Pengunjung berpose di atas kendaraan tempur TNI yang dipajang pada Pameran Alutsista Korem 074/Warastratama di Benteng Vastenburg Solo, Jawa Tengah, Sabtu (23/8/2025). (ANTARAFOTO/Maulana Surya)

Peneliti Center for Strategic and International Studies (CSIS) Deni Friawan menilai, ada beberapa titik yang perlu diperkuat dari RAPBN 2026, yaitu pada ruang fiskal yang sangat terbatas.

Defisit dipatok 2,48% PDB, sehingga untuk membiayai program-program besar, pemerintah berpotensi menaikkan penerimaan pajak agresif atau mengorbankan belanja lain. 

Ini bisa menimbulkan crowding out terhadap konsumsi dan investasi swasta. Apalagi jika Bank Indonesia atau perbankan dipaksa ikut membiayai lewat kredit maupun pembelian Surat Berharga Negara (SBN).

Tren belanja negara juga semakin tersentralisasi di pemerintah pusat, sementara transfer ke daerah justru menyusut. Akibatnya, belanja modal makin kecil porsinya, sementara belanja barang, subsidi energi, dan pos belanja lain-lain terus membengkak. Padahal, subsidi energi besar, sekitar Rp400 triliun, lebih banyak dinikmati kelompok mampu, sementara dampak subsidi pertanian masih minim.

Di sisi lain, dengan beban utang yang terus naik, hampir Rp9.000 triliun atau 39 persen PDB, dan penerimaan pajak yang sulit naik signifikan karena basis ekonomi informal masih besar, ruang manuver APBN akan makin sempit.

Karena itu, kata Deni, Pemerintah sebaiknya lebih menekankan efisiensi, transparansi, serta mengalihkan subsidi dari barang ke orang yang benar-benar membutuhkan. “Dengan begitu, anggaran negara bisa menopang program prioritas tanpa mengorbankan stabilitas makroekonomi,” jelasnya. 

Tak perlu menumpuk telur di satu keranjang

Sedangkan Riandy Laksono, Head of Economic Department CSIS, melihat RAPBN 2026 melihat arah APBN 2026 masih minim strategi industrialisasi. Belanja besar lebih padat modal, padahal tantangan terbesar ada pada penciptaan lapangan kerja padat karya. Jika tidak ada diversifikasi, ketergantungan pada program Makan Bergizi Gratis (MBG) berisiko menimbulkan mismatch spending

Realisasi MBG sejauh ini juga rendah, baru Rp8 triliun dari target Rp71 triliun. Padahal dana besar itu ditarik dari pos lain seperti infrastruktur dan perjalanan dinas. Akibatnya, belanja pemerintah justru bisa mengerem pertumbuhan.

Karenanya, pemerintah perlu lebih berhati-hati. Jangan pernah menumpuk telor dalam satu keranjang. Tidak hanya menggantungkan APBN pada MBG, melainkan perlu menyalurkan anggaran ke sektor lain yang lebih siap menyerap, agar manfaatnya langsung dirasakan masyarakat.

Siswa PAUD dan TK berdoa sebelum makan bersama di TK Negeri Pembina 8 kompleks Pemakaman Umum Kota Sorong, Papua Barat Daya, Rabu (20/8/2025). (ANTARA FOTO/Olha Mulalinda)

Terakhir, modal politik besar Presiden Prabowo sebaiknya dipakai untuk reformasi struktural yang sulit. Seperti, deregulasi perdagangan, investasi, dan ketenagakerjaan, agar industri padat karya bisa bangkit kembali.

Sebab, masalah utama Indonesia bukan hanya soal makan, tetapi bagaimana menyediakan lapangan kerja yang layak. Sedangkan strategi ekstensifikasi atau perluasan basis pajak akan sulit dilakukan dalam waktu dekat, kecuali ada percepatan industrialisasi atau peningkatan jumlah pekerja formal.

“Pertanyaannya, pada 2026 defisit akan ditutup dari mana? Target penerimaan pajak yang dipatok naik 13% saya rasa tidak realistis, karena secara historis kenaikan kita hanya 5%–6%, kecuali saat terjadi commodity boom seperti di era awal Presiden SBY,” ungkapnya. 

Riandy juga mengingatkan, penerimaan negara sulit naik signifikan tanpa industrialisasi. Sektor padat karya, mulai dari tekstil, alas kaki, otomotif, hingga chip testing, perlu jadi fokus. Supaya itu terjadi, pemerintah harus berani melakukan reformasi regulasi: perdagangan bahan baku dan barang modal harus dipermudah, kebijakan ketenagakerjaan direformasi agar adil bagi pekerja sekaligus menarik investor, dan kepastian hukum diperkuat.

Jika sektor industri tumbuh, pekerja formal bertambah, basis pajak meluas, baru penerimaan bisa meningkat secara berkelanjutan. “Tanpa itu, target kenaikan penerimaan hingga 13% hanya akan jadi angka di atas kertas,” ungkapnya. 

Penulis: Mukhlison, Harits Arrazie, dan Dian Amalia Ariani