Menyambut libur Natal dan Tahun Baru (Nataru) 2025, pemerintah kembali menurunkan tarif tiket pesawat sebesar 13-14 persen sebagai bagian dari stimulus ekonomi pemerintah untuk mendorong mobilitas dan pertumbuhan ekonomi.
Diskon tiket tersebut berlaku untuk tiket domestik kelas ekonomi dengan jadwal keberangkatan 22 Desember 2025 hingga 10 Januari 2026.
Para pelaku perjalanan bisa mulai membeli tiket pada 22 Oktober 2025 hingga 10 Januari 2026, demikian menurut press release Kementerian Perhubungan.
Diperkirakan sebanyak 3,6 juta penumpang akan menikmati diskon tiket ini.
Menteri Perhubungan Dudy Purwagandhi mengatakan, kebijakan penurunan harga tiket pesawat merupakan bentuk komitmen pemerintah dalam meringankan beban masyarakat yang ingin merayakan Natal dan tahun baru.
”Langkah ini kami ambil agar konektivitas antardaerah tetap terjaga dan mobilitas masyarakat berjalan lancar dengan tarif yang lebih terjangkau. Kami ingin memastikan seluruh masyarakat dapat menikmati layanan transportasi udara, khususnya pada masa Natal 2025 dan tahun baru 2026,” ujar Dudy di Jakarta dalam press release Selasa (21/10).
Penurunan tarif tiket pesawat ini merupakan hasil dari penyesuaian sejumlah komponen biaya antara lain:
- Pajak Pertambahan Nilai yang ditanggung pemerintah sebesar 6 persen, khusus untuk penerbangan domestik dan ekonomi
- Fuel surcharge (FS) pesawat jet sebesar 2 persen, FS Propeller sebesar 20 persen,
- Pelayanan Jasa Penumpang Pesawat Udara sebesar 50 persen, Pelayanan Jasa Pendaratan, Penempatan, dan Penyimpanan Pesawat Udara sebesar 50 persen, penurunan harga avtur pada 37 bandara, juga layanan advance serta extend dan operating hours yang lebih panjang.
Menantikan diskon
Diskon pesawat ini disambut oleh pelaku perjalanan Timothy Kinmekita Ginting, karyawan swasta di Jakarta. Ia mengaku sangat tertarik membeli tiket murah lantaran ia dan keluarga selalu pergi di akhir tahun.
“Saya sangat tertarik dengan penurunan tarif tiket pesawat akhir tahun ini, karena biasanya di akhir tahun harga naik. Jadi, kalau pemerintah menurunkan tarif, saya pasti sangat tertarik dan senang,” kata dia.
Ia kerap kali melakukan penerbangan domestik ke Bali untuk liburan atau transit untuk melanjutkan penerbangan ke negara lainnya. “Biasanya saya terbang ke Bali untuk transit sebelum lanjut ke Melbourne, Australia. Namun, karena penurunan tiket pesawat domestik akhir tahun, sepertinya saya lumayan tertarik merencanakan liburan ke destinasi dalam negeri, memanfaatkan diskon akhir tahun ini,” kata dia.
Namun Muhammad Rizqy Ramadhan tak merasakan hal sama. Menurut dia, tidak perbedaan harga yang mencolok dalam harga tiket pesawat domestik.
“Karena perbedaannya hanya Rp100.000-Rp300.000, yang bagi saya tidak terlalu besar,” ujarnya.
Ia mengaku dibandingkan dengan tahun 2020-2022, harga tiket akhir tahun ini memang lebih murah, tetapi tidak lebih murah dibandingkan harga di awal 2025.
“Harga tiket pesawat untuk beberapa destinasi juga tetap tidak mengalami penurunan jika dipesan secara mendadak,” kata dia

Berdampak kecil
Menanggapi hal tersebut, Yusuf Rendy Manilet, Ekonom CORE Indonesia menilai potongan tiket pesawat tersebut belum tentu efektif mengerek konsumsi masyarakat.
Kebijakan tersebut, ujarnya lebih terlihat simbolik semata ketimbang memberikan dorongan nyata terhadap daya beli masyarakat.
“Masyarakat kelas menengah bawah justru cenderung menahan konsumsi dan lebih fokus pada kebutuhan pokok. Jadi ketika stimulus diberikan dalam bentuk diskon penerbangan, dampaknya terhadap konsumsi agregat cenderung terbatas karena segmen yang mampu bepergian dengan pesawat adalah kelompok menengah atas yang proporsinya pun relatif kecil. Artinya, efek pengganda (multiplier effect) terhadap ekonomi nasional pun tidak akan terlalu besar,” kata Yusuf kepada SUAR.
Apalagi, kata dia, data Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) Bank Indonesia menunjukkan sinyal moderat. Pada September 2025, IKK tercatat di kisaran 115,0 poin, turun dari 117,2 poin pada Agustus.
Meski masih berada di atas ambang optimistis, penurunan tersebut menandakan kehati-hatian rumah tangga terhadap kondisi ekonomi. Bahkan, subindeks ketersediaan lapangan kerja hanya berada di 92 poin, di bawah level optimis.
“Ini menandakan bahwa ekspektasi ekonomi ke depan melemah, sehingga kecenderungan untuk menahan konsumsi tetap tinggi. Dalam situasi seperti ini, stimulus berbasis diskon untuk kebutuhan non-primer seperti perjalanan udara sulit menjadi pemicu pengeluaran besar-besaran di tingkat nasional,” kata dia.
Dari sisi fiskal, kebijakan ini lebih bersifat simbolik untuk menjaga sentimen optimisme dan aktivitas konsumsi akhir tahun ketimbang sebagai solusi struktural terhadap lemahnya daya beli.
“Apalagi, segmen penikmat diskon tiket pesawat cenderung terbatas pada kelompok yang sudah memiliki rencana perjalanan atau kemampuan finansial yang relatif mapan. Dengan kata lain, kebijakan ini berisiko hanya menggeser waktu konsumsi kelompok tertentu, bukan menciptakan konsumsi baru dari masyarakat luas,” ujarnya.
Ia mendorong stimulus diarahkan ke sektor dengan efek sebar (spillover effect) yang lebih luas, seperti konsumsi rumah tangga dasar atau transportasi publik yang digunakan oleh kelompok berpendapatan menengah ke bawah. “Di situ efek pengganda fiskalnya jauh lebih terasa.”