Indonesia sebagai negara produsen kelapa terbesar di dunia memiliki potensi perdagangan yang besar. Namun, sejak Agustus lalu, komoditas kelapa ini mengalami kelangkaan pasokan dan lonjakan harga domestik. Untuk meredam dampak yang lebih buruk, pemerintah berencana mengambil langkah tegas dengan menghentikan ekspor kelapa utuh.
Kebijakan ini bertujuan untuk membenahi tata niaga dari hulu ke hilir sekaligus memaksa percepatan program hilirisasi komoditas kelapa, agar Indonesia tidak lagi hanya menjadi pengekspor bahan mentah yang rentan terhadap fluktuasi pasokan domestik.
Dorongan ekspor komoditas kelapa utuh telah mencapai puncaknya dalam beberapa tahun terakhir. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tren nilai dan volume ekspor kelapa utuh menunjukkan lonjakan yang signifikan, terutama tahun 2024. Volume ekspor kelapa utuh sempat berada di titik terendah pada periode 2021-2023 yang kurang dari 400 ribu ton. Lonjakan tajam terjadi pada tahun 2024 yang mencapai 624.387 ton dengan peningkatan nilai ekspor hingga Rp 181,59 juta dollar AS.
Kenaikan ini terus berlanjut hingga periode Januari-Agustus 2025, di mana volume ekspor telah menembus angka 491.581,2 ton. Meski volume ini masih di bawah tahun sebelumnya, nilai ekspornya justru melonjak tinggi di angka 214,19 juta dollar AS. Peningkatan hingga 17,9% di tahun 2025 menjadi yang tertinggi dalam lima tahun terakhir.
Kenaikan ekspor yang signifikan ini dibayangi krisis harga dan pasokan di pasar domestik. Kelapa bulat menjadi langka dan harganya meroket, jauh di atas harga normal, di mana kelapa parut di pasaran sempat menembus angka Rp20.000 - Rp25.000 per butir.
Ironisnya, krisis ini terjadi bukan karena penurunan produksi nasional. Data produksi kelapa Indonesia menunjukkan bahwa produksi cenderung stabil di atas 2,8 juta ribu ton per tahun. Di samping karena kelapa mengalami penurunan produktivitas secara bertahap, krisis terjadi karena pengalihan pasokan domestik ke pasar ekspor yang menawarkan harga jauh lebih tinggi. Akibatnya, industri pengolahan lokal, yang seharusnya menjadi kunci untuk hilirisasi, kesulitan mendapatkan bahan baku.
Penghentian ekspor kelapa utuh menjadi solusi jangka pendek yang untuk mengamankan pasokan domestik. Pelarangan ekspor bahan mentah ini ditujukan untuk mengalihkan volume kelapa bulat ke industri pengolahan lokal, yang akan memproduksi produk bernilai tambah seperti kopra, minyak kelapa murni (VCO), atau santan kemasan.
Jika volume ekspor yang tinggi (seperti yang terjadi pada 2025) dialihkan ke industri dalam negeri, kapasitas pabrik lokal dapat beroperasi optimal. Sementara, untuk tujuan ekspor dialihkan ke produk olahan yang bernilai jual lebih tinggi,
Kebijakan menghentikan ekspor ini memberi kesempatan untuk membenahi tata kelola niaga dari hulu ke hilir. Selain itu, diperlukan pula upaya memetakan kebutuhan dan kapasitas penyerapan industri dalam negeri, pemberian insentif khusus bagi produk turunan kelapa, serta pembenahan sistem tanam sehingga diketahui kapasitas produksi untuk memenuhi pasar baik domestik maupun global.
Pengalihan komoditas dari semula untuk ekspor ke hilirisasi yang memberdayakan industri lokal harus memperhitungkan antisipasi meredam risiko anjloknya harga kelapa yang dapat merugikan petani. Sinergi antara kebijakan pelarangan ekspor dan dukungan hilirisasi merupakan kunci untuk mencapai keseimbangan antara kesejahteraan petani dan peningkatan daya saing ekonomi nasional.