Ekspor biodiesel Indonesia ke Eropa memasuki babak baru. Pengumuman Panel Organisasi World Trade Organization (WTO) – yang menyatakan Uni Eropa bertindak inkonsisten terhadap aspek-aspek kunci Perjanjian Subsidi dan Antisubsidi WTO – menandai kemenangan Indonesia dalam sengketa yang berlangsung sejak 2023.
Keputusan yang diumumkan pada Jumat (22/8/2025) ini pun menjadi momentum penting untuk bersiap memasuki pasar Eropa, yang selama ini terkenal sulit ditembus akibat berbagai lapis peraturan dan hambatan non-tarif.
Sengketa Indonesia dan Uni Eropa – yang dikenal sebagai Sengketa DS618 tersebut – berawal dari pengenaan bea imbalan oleh Uni Eropa berdasarkan penilaian bahwa Pemerintah Indonesia menyubsidi produksi biodiesel lewat bea keluar, pungutan ekspor, dan penetapan harga acuan. Akibatnya, produksi biodiesel Indonesia mengalami distorsi harga.
Menurut Menteri Perdagangan Budi Santoso, Panel WTO yang terdiri dari perwakilan asal Afrika Selatan, Meksiko, dan Belgia memiliki beberapa alasan untuk mendukung posisi Indonesia dalam sengketa tersebut.
Pertama, Panel menolak argumen UE yang mengklaim Pemerintah Indonesia mengarahkan pelaku usaha menjual minyak kelapa sawit mentah atau crude palm oil (CPO) kepada produsen biodiesel dengan harga rendah.
Semula, Komisi UE berargumen, subsidi dalam bentuk arahan Pemerintah Indonesia kepada pelaku usaha di sektor minyak kelapa sawit bertujuan menyediakan bahan baku dengan harga yang menguntungkan produsen biodiesel Indonesia. Dengan penetapan Panel WTO, kebijakan bea keluar dan pungutan ekspor CPO oleh Indonesia dinilai bukan merupakan bentuk subsidi.
Kedua, Panel WTO menyatakan bahwa Komisi UE tidak dapat membuktikan ancaman kerugian material yang dialami produsen biodiesel di Eropa akibat ekspor biodiesel Indonesia. Komisi Eropa juga telah mengabaikan faktor-faktor lain yang turut memengaruhi dinamika pasar biodiesel di kawasan tersebut.
"Dengan demikian, Panel WTO menilai bea masuk imbalan yang diberlakukan UE terhadap produk biodiesel Indonesia tidak didasarkan pada bukti yang objektif. Kemenangan ini juga merupakan bukti bahwa WTO masih relevan sebagai forum penyelesaian sengketa perdagangan,” ujar Budi Santoso dalam pernyataan tertulis yang diterima SUAR, Jumat (22/8/2025).
Menindaklanjuti pengumuman hasil WTO tersebut, Indonesia mengharapkan UE menghormati putusan WTO dan menyesuaikan kebijakannya, sehingga Indonesia dapat memulihkan kinerja ekspor produk biodiesel ke Eropa.
Selaku regulator, Kementerian Perdagangan berkomitmen mempergunakan mekanisme yang ada, baik hukum maupun diplomasi, demi memastikan kemenangan ini diimplementasikan secara konkret oleh Uni Eropa.
Momentum positif untuk industri
Wakil Ketua Umum Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia Catra de Thouars menyatakan, pihaknya menyambut baik keputusan Panel WTO sebagai langkah positif dan berita bagus. Keputusan ini akan menjadi salah satu jalan industri biodiesel nasional mendapatkan keadilan dalam perdagangan internasional.
Pasalnya, menurut Catra, selama bertahun-tahun, industri kelapa sawit Indonesia menghadapi berbagai tekanan dalam bentuk isu negatif terkait dampak sosial-lingkungan yang beredar di luar negeri. Di antaranya kampanye hitam yang merusak citra produk turunan sawit, termasuk biodiesel.
“Kami mengucapkan terima kasih kepada Pemerintah Indonesia, pelaku industri, dan pakar hukum yang bekerja sama dalam sidang-sidang WTO. Tanpa kolaborasi yang baik, tidak mudah bagi Indonesia menghadapi Uni Eropa terkait sengketa biodiesel. Putusan ini menjadi nafas baru dan semangat bagi stakeholder karena masih ada tantangan lain seperti EUDR (European Union Deforestation Regulation),” ungkap Catra dalam pernyataan tertulis yang diterima SUAR, Senin (25/08).
Sesudah keputusan ini, pelaku industri biodiesel masih akan fokus menyukseskan produksi biodiesel B40 dan mendukung persiapan B50 pemerintah. ”Tentu, kami senang adanya market baru bagi ekspor biodiesel Indonesia sebagai upaya menopang devisa ekspor Indonesia,” imbuhnya.
Sebagai konsekuensi pencapaian Indonesia yang telah membuka jalan, pelaku industri bersiap merapatkan langkah memasuki pasar Eropa. Mereka punya alasan kuat untuk meningkatkan kapasitas produksi biodiesel untuk keperluan ekspor.
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Eddy Martono menggarisbawahi hal ini, karena sekalipun terbukti tidak melakukan dumping, ada pekerjaan rumah yang menanti pelaku industri untuk ekspor. Yakni, menyesuaikan peluang ekspor dengan keharusan memenuhi ketentuan regulasi dalam negeri.
"Ekspor biodiesel Indonesia ke Eropa memang sangat kecil, karena di sana, produsen Eropa juga sudah memproduksi biodiesel dari used cooking oil dari rapeseed, biji bunga matahari, dan kedelai, di samping CPO," ungkap Eddy saat dihubungi SUAR, Senin (25/08).
Di sisi lain, Eddy mengingatkan, produsen biodiesel Indonesia akan tetap berusaha memenuhi ketentuan kapasitas produksi biodiesel wajib (mandatory biofuel) yang terus meningkat. "Yang diutamakan tetap kebutuhan dalam negeri terlebih dahulu," tuturnya.
Peninjauan ulang tetap dibutuhkan
Terlepas dari pencapaian kinerja diplomasi yang sangat layak untuk disyukuri, momentum ini haruslah dimanfaatkan sebagai kesempatan untuk mengevaluasi ulang tata kelola industri biodiesel nasional.
Kepatuhan industri dalam memenuhi standar minyak sawit berkelanjutan, baik yang ditetapkan Pemerintah Indonesia dalam bentuk Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO), maupun Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) yang berlaku secara internasional, secara khususnya.
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa menilai kelalaian Pemerintah Indonesia memastikan pemenuhan standar berkelanjutan itulah yang menjadi latar belakang dan celah bagi Uni Eropa mempermasalahkan ekspor biodiesel Indonesia.
"Kita tidak bisa pukul rata, tetapi beberapa studi sudah menunjukkan adanya dampak sosial-lingkungan karena produksi CPO Indonesia yang menurut mereka tidak memenuhi standar. Itu yang kemudian juga menjadi latar belakang, meski kasus yang disengketakan sekarang ini berbeda," cetus Fabby saat dihubungi SUAR, Senin (25/8/2025).
Lebih lanjut, Fabby tidak menampik bahwa sejarah produksi biodiesel di Indonesia amat berkaitan dengan motif politik pemerintah selama 15 tahun terakhir, yang bermisi menguatkan ketahanan energi nasional. Perbedaan pendekatan kebijakan antara kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono dan Joko Widodo turut memengaruhi lanskap industri biodiesel nasional.
"Saya pernah mengusulkan agar kita membatasi blending tidak di atas 40%, karena selain tidak sustainable, implikasinya bisa menjebak kita dalam upaya mengembangkan solusi yang lain karena terkunci keharusan menggunakan biodiesel tadi. Menurut saya, rencana pemerintah menaikkan blending ke B50 harus ditinjau ulang," imbuhnya.
Memastikan kepatuhan industri biodiesel terhadap standar berkelanjutan itu, antara lain, dapat ditempuh dengan menjadikan kriteria ISPO sebagai prasyarat minimum bagi produsen.
"Dengan menetapkan regulasi yang jelas, berupa Keppres maupun Inpres, pemerintah Indonesia tentu dapat memitigasi dampak sosial dan lingkungan yang dapat ditimbulkan dari industri turunan sawit," tandas Fabby.