Pemerintah dan swasta berkolaborasi mendongkrak keterampilan calon pekerja migran. Masalah pembiayaan diselesaikan dengan inisiatif pemberian kredit lewat koperasi dan perbankan.
Tia Novianti masih terlihat kelelahan saat ditemui pada Selasa sore, 1 Juli 2025 lalu. Perempuan berusia 24 tahun ini baru kelar berlatih menggendong pasien di tengah tanah lapang yang terik terpapar sinar matahari. Sebelumnya, ia juga sempat berlatih etika berjalan, sembari membawa nampan yang berbeban piring dan gelas.
Kegiatan ini ia ulang saban hari, hingga mahir demi meraih tujuan lolos menjadi Pekerja Migran Indonesia (PMI) ke Taiwan sebagai pengasuh atau cargiver. Sudah 10 bulan, ia menempa diri di Lembaga Pelatihan Kerja (LPK) Sentosakarya Aditama yang berlokasi di Kota Bekasi, Jawa Barat.
Berangkat dari kampung halamannya di Cirebon, Tia bertekad menambah kompetensi agar bisa bekerja di luar negeri. Pelatihan dimulai sejak 8 pagi, dengan belajar bahasa Mandarin hingga siang hari. Pada sore-nya, instruktur melatih kompetensi teknis seperti cara memandikan orang lanjut usia, menyedot dahak, mengalirkan makanan dari selang, belajar berhitung hingga angkat beban.
Bagi Tia, rangkaian pelatihan selama di LPK menjadi hal baru. Sebab pengalamannya sebagai Asisten Rumah Tangga atau ART selama enam tahun di Jakarta Barat berbeda ruang lingkup kerjanya dengan caregiver—yang membutuhkan kemampuan lanjutan—bukan sekadar kerja-kerja domestik semacam memasak dan bersih-bersih rumah.
Kesabaran Tia berlatih pun menuai hasil. Bulan Juli ini ia menunggu tiket keberangkatan ke Taiwan. Agensi di sana cocok dengan profil dan kompetensi Tia yang disodorkan Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia (P3MI). Adapun Tia berangkat difasilitasi perusahaan penyalur yang terintegrasi dengan LPK Tia bernaung.
Merujuk keterangan Kantor Dagang dan Ekonomi Indonesia Taipei, kisaran gaji caregiver mulai dari NT$ 29.000 atau sekira Rp 16 juta. “Jadi saya ingin ke luar negeri agar bisa bayar utang orang tua. Bisa perbaiki rumah, beli sawah dan tanah. (Dan) biar bisa rasakan hidup enak,” kata Tia kepada Suar.
Setelah berlatih dan mendapatkan ilmu, Tia juga melengkapi persyaratan dengan sertifikat caregiver dari Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP). Direktur Operasional PT Sentosakarya Aditama, Febri Eko, menjelaskan, seluruh calon PMI mesti lulus uji kompetensi BNSP.
Terampil Butuh Biaya
Selain itu, instruktur yang melatih calon pekerja migran Indonesia (CPMI) juga mesti dibekali sertifikat BNSP. “Kami tidak bisa inisiatif sendiri. Semua pelatihan, pembekalan, pemberdayaan merujuk ke BNSP,” ujar Eko.
Meski begitu, kata Eko, pihaknya juga tidak bisa mengandalkan standar sesuai sertifikasi BNSP. Lembaga pelatihan ini berinisiatif kerja sama dengan salah satu rumah sakit di Bekasi untuk pelatihan, agar nantinya klien mereka puas. Tapi, semua pelatihan itu tak murah. Sedikitnya hingga Juli ini, ada 60 CPMI yang berlatih di LPK.
Selama pelatihan ada biaya yang dikeluarkan pengelola dan dari kantong CPMI. “Kalau kasarnya per bulan bisa sampai 50 juta, (untuk) tempat tinggal, makan dan belum operasional,” jelas Eko.

Sementara dari sisi CPMI, biaya yang dikeluarkan sedikitnya Rp15 juta. Itu pun berlaku untuk selama menunggu panggilan kerja. Semakin lama panggilan kerja, maka berdampak pada beban operasional dan pelatihan yang melebih durasi normal 6-8 bulan.
Karena itu, agar meringankan, menurut Eko, pemerintah hadir memberikan bantuan. “Kalau ingin membuat ekosistem untuk zero cost, ya pemerintah harus hadir, artinya PMI tidak dibebankan sama sekali,” katanya.
Saat ini, permintaan PMI sektor perawat juga cukup banyak seperti caregiver, jumlahnya bisa tembus ratusan orang per tahun. Ini baru dari satu pusat pelatihan seperti LPK Sentosa. Biasanya negara penempatan ke Taiwan dan Hong Kong. Ini selaras dengan data Kementerian Perlindungan Pekerja Migran Indonesia, yang mengekspos dominasi PMI di dua negara tersebut, dengan spesifikasi pekerjaan di sektor perawatan.
Sektor pekerjaan perawatan macam caregiver kini menjadi salah satu yang didorong untuk ditingkatkan penempatannya, semi potensi remitansi dan memperkuat daya tawar PMI. Dalam spesifikasi pekerja merujuk International Labour Organization (ILO), caregiver masuk kategori pekerjaan berketerampilan menengah.
Hasil kajian Indonesia Business Council (IBC), pekerjaan caregiver termasuk satu di antara empat pekerjaan yang menjadi keunggulan kompetitif PMI, selain sektor pengelasan, hortikultura, dan perhotelan.
Masih dalam kajian IBC, alokasi PMI sektor perawatan diarahkan untuk penempatan di Jerman dan Jepang, seiring kebutuhan pengasuh di dua negara itu yang tembus hampir 270.000 pekerja pada 2024. Sedangkan, penyebaran PMI berstatus caregiver hanya 59.000 orang.
Selain itu, negara pesaing seperti Filipina yang memasok pekerja migran di sektor perawatan cenderung kebanyakan penempatan di Hongkong dan Vietnam, alih-alih Eropa hanya 8 persen dari total pekerja migrannya.
Keterlibatan Pemerintah Daerah
Kebutuhan tenaga asing untuk berbagai sektor pekerjaan di beberapa negara tujuan penempatan, sebenarnya juga merata, tak hanya perawat. Purwanti Utami, Kepala Bidang Penempatan dan Perluasan Kesempatan Kerja, Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Provinsi Jawa Timur mengaku, dirinya setiap hari bertemu dengan perusahaan penyalur tenaga kerja migran P3MI, mereka minta disiapkan tenaga kerja terampil seperti tukang last, tukang cat, tenaga kelistrikan hingga tukang pipa untuk ditempatkan di beberapa negara Asia, seperti Korea Selatan, Jepang, dan Taiwan.
Negara-negara ini sedang buka lowongan kerja besar-besaran. “Mereka kan lagi banyak membangun industri perkapalan,” kata Ami, panggilan akrab Purwanti. Kebutuhannya sekitar 100 orang sebelum akhir tahun ini. Sehingga perlu disiapkan cepat.

Banyaknya permintaan tenaga kerja migran kompeten asal Jawa Timur memang wajar, Karena Jawa Timur provinsi yang paling banyak tenaga migrannya. Pada tahun 2024 tercatat ada 79 ribu lebih PMI yang bekerja di luar negeri asal provinsi di bagian Timur pulau Jawa ini.
Saat ini, ada lima negara yang jumlah PMI dari Jawa Timur-nya yang paling banyak, Yaitu Hong Kong, Taiwan, Korea Selatan, Jepang, dan Malaysia. Dan dari perkiraan Pemprov Jatim, dalam 5 tahun ke depan secara bertahap, permintaan PMI sektor formal akan bertambah dan Disnakertrans Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jawa Timur ingin ada PMI yang lebih banyak duduk di jabatan formal.
“Masalahnya, apakah dari sisi skill tenaga kerja kita mampu memenuhi peluang itu,” ungkap Ami yang juga menjabat sebagai PLT Kepala UPT Pelayanan Perlindungan Tenaga Kerja, Disnakertrans Jawa Timur.
Dalam 5 tahun ke depan secara bertahap, permintaan PMI sektor formal akan bertambah.
Untuk memoles PMI agar memiliki kompetensi, di Jawa Timur sudah ada 16 Balai Latihan Kerja (BLK) sebagai pusat pelatihan calon PMI. Belum lagi sekolah-sekolah kejuruan yang memang salah satu lulusannya, diarahkan untuk memenuhi permintaan tenaga kerja ke negeri lain.

Selain itu, Disnakertrans Jawa Timur juga banyak bermitra dengan perguruan-perguruan tinggi yang banyak mencetak tenaga-tenaga yang memiliki keterampilan, seperti politeknik. Sehingga jika tidak bisa dipenuhi dari BLK atau SMK bisa dari perguruan tinggi. Kerja sama ini juga dimaksudkan untuk melakukan edukasi ke sektor pendidikan, yang kadang tidak mengetahui prosedur resmi pengiriman PMI ke luar negeri.
Hendra Kusuma Sumantri, Kepala Bidang Penempatan Perluasan Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi Jawa barat sependapat bila pengiriman tenaga kerja ke luar negeri bisa menjadi salah satu solusi untuk mengurangi pengangguran di dalam negeri.
Menurutnya selama dua tahun belakangan ini, dari tahun 2023 dan 2024, lowongan pekerjaan di Indonesia itu kisarannya antara 200 ribu lowongan kerja sampai 300 ribu lowongan kerja. Untuk Jawa Barat, jumlahnya sekitar separuhnya, atau sekitar 100 ribu lowongan hingga 150 ribu lowongan. Sehingga persaingan sangat ketat.
Namun jika dibandingkan dengan lowongan kerja di luar negeri, mengikuti data Kementerian P2MI maka ada sekitar 900 ribu lowongan hingga 1,2 juta lowongan pekerjaan di luar negeri. “Ini yang seharusnya kita ambil kesempatan itu,” ungkap Hendra.
Meski memang perlu ada penyiapan. Misalnya sejak dari tingkat sekolah, dinas pendidikan sudah harus menyesuaikan kebutuhan karakter dari permintaan pekerjaan yang ada. ”Perlu pairing antara pasar kerja dengan sumber angkatan kerja,” kata Hendra.
Harmonisasi Kebijakan Pusat-Daerah
Selain itu, untuk bisa mendongkrak pengiriman tenaga kerja yang memiliki keahlian, salah satu hambatannya adalah calon pekerja migran itu sendiri. Yang kadang secara komitmen tidak disiapkan dengan baik.
Sedangkan hambatan formalnya lebih dalam konteks aturan-aturan pemerintah, kemudian juga terkait tugas pokok fungsi yang ada di masing-masing leveling pemerintah. Sebab perlu ada sinkronisasi antara kebijakan di pusat yang konsisten dengan apa yang dilakukan oleh pihak pemerintah daerah.

Hendra menceritakan, pernah suatu saat pemerintah pusat mendorong adanya pengiriman tenaga kerja migran ke sebuah negara. Di saat pemerintah daerah sudah melakukan pelatihan, tiba-tiba Pemerintah pusat tidak melanjutkan program tersebut, sehingga banyak calon PMI yang gagal berangkat. ”Kita juga jadi rugi karena sudah keluar anggaran untuk pelatihan-pelatihan,” kata Hendra.
Jawa Barat sendiri sudah sejak lama membuat kebijakan terkait pengirima tenaga kerja migran ini. Saat itu di zaman Gubernur Ahmad Heryawan, ada istilah Jabar Mengembara, sebuah kebijakan mendorong tenaga kerja di Jawa Barat pergi keluar negeri.
Tujuan jangka pendeknya adalah mengurangi pengangguran, meningkatkan kesejahteraan pekerja, jangka panjangnya diharapkan mereka bisa jadi pengusaha yang bisa menyerap tenaga kerja.
Saat itu sekitar tahun 2019, pengembara asal Jawa Barat terbanyak ada di Sydney, Australia. Jumlahnya kurang lebih mencapai 5.000 orang. Kebijakan ini juga terus dilanjutkan gubernur setelahnya.
Terakhir Provinsi Jawa Barat juga telah membuat peraturan daerah terkait PMI ini yang diturunkan dari Undang-undang nomor 18 tahun 2017. “Bahkan kita buat perda sebelum ada peraturan Pemerintah, Perda nomor 2 tahun 202,” kata Hendra, ini sekaligus menegaskan komitmen Pemerintah Provinsi Jawa Barat mengelola pekerja migran.
Pemprov Jawa Barat juga bekerja sama dengan Kementerian P2MI atau sekarang Kementerian P2MI dalam melakukan advokasi dan perlindungan pekerja migran. Untuk memudahkan koordinasi, Pemrov juga membangun Layanan Satu Atap Pekerja Migran Jawa Barat (LTSA PMI) pada tahun 2022 sebagai pusat pelatihan hingga penyelesaian perkara bagi PMI bermasalah.

Kolaborasi juga dilakukan dengan pihak-pihak dari luar negeri seperti dengan GIZ atau Deutsche Gesellschaft für Internationale Zusammenarbeit (GIZ), sebuah lembaga kerjasama internasional dari Jerman. Pemrov Jabar dan GIZ menginisiasi Kerjasama melalui program namanya Zentren für Migration und Entwicklung (ZME) atau, Migration and Diaspora Program. “Di situ kita mempersiapkan banyak hal, perangkat-perangkat, berkaitan dengan silabus, pelatihan untuk peningkatan kapasitas pekerja migran di Jawa Barat,” kata Hendra.

Apa yang sudah dilakukan Pemrov Jawa Barat ini menurut Hendra cakupannya memang untuk peningkatan kapasitas pekerja migran. Namun untuk masalah pengiriman dan penempatan, memang harus bicara ekosistem yang lebih besar, yaitu koordinasi dengan pemerintah pusat. Karena bagaimanapun keputusan untuk itu menjadi kewenangan pemerintah pusat.
Mengurangi Kendala Sebelum Keberangkatan
Bicara soal pelatihan, Direktur Jenderal Pemberdayaan Kementerian Pelindungan Pekerja Migran Indonesia/Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (KemenP2MI/BP2MI), Dr. Muh Fachri menuturkan, salah satu yang kini dikuatkan direktoratnya adalah terlibat kerja-kerja pengembangan kompetensi bahasa CPMI. Melalui kebijakan pembentukan Desa Migran Emas, sejumlah kampung bahasa dibangun.
Kebijakan ini diselaraskan dengan karakteristik daerah pemasok PMI. Semisal Indramayu yang cukup banyak mengirim tenaga kerja migran ke Arab Saudi. “Kami kerjasama dengan lembaga pesantren dan seterusnya itu, untuk Kampung Arab misalnya,” kata Fahri.
Masih dalam pra-pemberangkatan, direktorat yang dipimpin Fahri berfungsi mendampingi CPMI untuk akses modal melalui KUR. Kemen P2MI memfasilitasi CPMI kepada perbankan nasional dan daerah. Namun, belum jelas apa yang menjadi aksi konkret fasilitasi KUR dari kementerian. Ini sejalan dengan sulitnya para CPMI mengakses KUR seperti yang dibilang pengusaha P3MI.
Adapun dana biasanya digunakan untuk biaya pelatihan di LPK dan biaya hidup selama menunggu antrian keberangkatan di P3MI. Alokasi dana juga dipakai mengurus biaya cek kesehatan, administratif hingga ongkos dari daerah asal. Acap pula, digunakan untuk menambal beban keberangkatan.
Menukil laman Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, realisasi KUR untuk penempatan PMI sejak periode 2015 - 12 Maret 2024 sebesar Rp2,32 triliun. Dana triliunan mengalir kepada 150.561 debitur, yang dibebankan bunga 6 persen. Jumlah pencairan KUR untuk ratusan ribu debitur yang berstatus CPMI itu sangat sedikit jika dibanding total PMI. Per 2024 saja, total PMI tembus 297.434 orang atau hampir dua kali lipat dari total CPMI selama delapan tahun lebih sejak 2015.
Walhasil, Kemen P2MI mulai bersiasat menggunakan dana desa dari badan usaha milik desa atau Bumdes untuk membantu CPMI. Praktik macam ini mulai berlangsung di Ponorogo, Jawa Timur. Menurut Fahri, skema Bumdes bisa cepat cair karena modal kepercayaan dari kepala desa kepada warganya.
Tidak seperti bank yang harus detail melihat profil keuangan calon debitur. Apalagi, mayoritas perangkat desa di sana mantan PMI sehingga tahu betul lika-liku menjadi PMI. “Sekarang saya lagi minta teman-teman di NTB (Nusa Tenggara Barat) replikasi praktik baik yang ada di Ponorogo. Ini baru 2 tahun lalu dan ini menjadi inovasi plus legacy ke depannya,” ucap dia.

Beberapa satuan kerja milik pemerintah dan pemerintah daerah sebenarnya juga sudah melakukan fungsi peningkatan kapasitas calon pekerja migran ini. Pusat Pelatihan Kerja Daerah (PPKD) Jakarta Barat, misalnya, sedang mengadakan pelatihan khusus pekerja migran tujuan Jepang sebagai caregiver.
Jepang dipilih karena sedang menghadapi masalah aging population dan kekurangan tenaga kerja muda. “Di seluruh PPKD Jakarta, kami yang pertama kali melakukan program ini,” kata Agus Susanto, Kepala Satuan Pelaksana Pelatihan dan Uji Kompetensi PPKD Jakarta Barat.
PPKD Jakarta Barat, kata Agus, bekerja sama dengan pemerintah dan pihak swasta Jepang dalam menyelenggarakan program ini. Sejauh ini, ada 10 calon pekerja migran yang ikut pelatihan. Mereka belajar bahasa Jepang secara intensif, sekaligus keterampilan yang relevan untuk jadi caregiver. “Kami akan pastikan mereka dapat pekerjaan lebih dahulu, baru setelah itu diberangkatkan.” kata Agus.
Pemetaan negara tujuan jadi penting sebelum memberangkatkan pekerja migran. Agus menuturkan, PPKD Jakarta Barat melakukan riset terlebih dahulu sebelum menentukan negara tujuan dan menyusun program pelatihan. “Enggak boleh asal-asalan. Kita cari dulu negaranya, kebutuhannya apa, lalu kita tetapkan pelatihannya,” kata Agus.
Banyak yang Berlatih, Beragam Tantangan
Balai Besar Pelatihan Vokasi dan Produktivitas (BBPVP) Bekasi, Balai Latihan Kerja yang berada langsung di bawah Kementerian Ketenagakerjaan, menemui berbagai tantangan dalam meningkatkan keterampilan siswa calon pekerja migran ini.
Wira, instruktur untuk kejuruan pariwisata mengatakan siswa dengan latar belakang beragam jadi salah satu tantangan tersendiri. “Saya pernah mengajar usia 18 dan 47 tahun di saat bersamaan. Silakan dibayangkan sendiri tantangannya seperti apa,” katanya.
Wira juga tak jarang menemukan siswa yang datang bukan dengan niat melatih skill untuk mendapatkan pekerjaan. Beberapa kali dia melatih siswa yang terang-terangan mengakui hanya sekadar mengisi waktu luang.
Wira melatih 8 siswa per kelas, mengikuti rekomendasi lembaga buruh dunia ILO. Komposisi pelatihan 30%:70%, “Perbandingannya, 30 persen teori, 70 persen praktik,” katanya. Tantangan lain muncul ketika memasuki sesi praktik. Banyak alat yang digunakan di BBVP Bekasi sudah berusia tua. Meskipun secara performa alat-alat itu masih bisa digunakan, Wira mengatakan perlunya peremajaan alat.
“Grinder yang kita pakai di sini sudah dari 2018. Itu bisa awet karena kita paksakan awet, kita bongkar dan rawat sendiri. Secara kelayakan sebetulnya sudah nggak layak. Tapi ‘kan kita dibatasi oleh APBN, ada efisiensi, enggak boleh pengadaan.”

Selain peremajaan alat, peningkatan kualitas siswa dapat dilakukan dengan memperbanyak ruang-ruang pelatihan. Yani, kepala kejuruan pengelasan, dan Wira berpendapat demikian. Dengan semakin banyaknya pelatihan yang bisa diakses, semakin banyak potensi untuk menghasilkan tenaga kerja yang memiliki keterampilan.
Meskipun bekerja sama dengan berbagai perusahaan di dalam dan luar negeri, BBVP Bekasi tidak bertugas menempatkan tenaga kerja. Laksmi, dari Kios Siap Kerja BBVP Bekasi, mengatakan tugas BBVP hanya untuk merekrut siswa. “Untuk pilihan tempat kerja, itu tergantung dari siswa mau kerja di mana.” katanya.
Direktur Utama PT Assalam Karya Manunggal, Sulaiman Sultoni, mulai melirik peluang persebaran PMI ke negara Eropa. Sejak 2019 atau sebelum masa pandemi Covid-19, perusahaan Sulaiman mengirim PMI berstatus staf hotel, operator pabrik, mekanik hingga sopir. Untuk pekerjaan yang termasuk berketerampilan rendah ini, biasanya dikirim ke kawasan Eropa Timur macam Polandia, Romandia, Hungaria dan Slovakia.
Jenjang pendidikan yang disasar adalah Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). Sebelum berangkat, CPMI dilatih bahasa Inggris di LPK yang juga dimiliki Assalam Karya Manunggal. Soal kemampuan teknis, misal staff perhotelan, Sulaiman mengirim para CPMI ke rekanan hotel maupun hotel miliknya. Sulaiman mengklaim seluruh pengajar bahasa dan instruktur yang mengajar tenaga kerja sudah tersertifikasi.
Beralih ke sektor perawatan, Jerman dan Belanda menjadi negara utama penempatan PMI dari Assalam Karya. Kata Sulaiman, perawat yang bekerja di rumah sakit atau panti jompo di sana bisa diganjar gaji hingga Rp45 juta per bulan. Dengan gaji jauh lebih tinggi dibanding di Indonesia, sasaran PMI berasal lulusan D3 dan sarjana S1. Kompetensi utama yang kudu dimiliki adalah bahasa. Soal kemampuan teknis, pihak P3MI melobi pemberi kerja di dua negara tersebut untuk mengikuti sertifikasi atau ijazah kampus asal pekerja.
Namun pelatihan bahasa dipikir betul Sulaiman tidak mudah bagi CPMI. Soalnya, LPK miliknya belum mampu memfasilitasi. Semisal bahasa Jerman, pihaknya mesti mengalihkan pelatihan ke konsultan kerja Jerman yang ada di Bandung. Di sana, ada pelatihan bahasa selama 7-9 bulan dengan target sertifikasi B-2.
Jika merujuk harga pelatihan dari lembaga Goethe, biaya pelatihan bahasa plus ujian sertifikasi tembus Rp 30 juta. Nilai itu belum ditambah untuk biaya hidup selama pelatihan bagi CPMI yang berasal dari luar daerah. Belum lagi biaya keberangkatan yang berbiaya sedikitnya puluhan juta rupiah.
Bila merujuk Undang-undang Nomor 18 tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia, CPMI hanya tidak dikenakan biaya penempatan, tapi tidak mengatur soal biaya pelatihan atau biaya lain dalam menyiapkan keberangkatan.
Dan berdasar Keputusan Kepala BP2MI Nomor 325/2024 tentang Biaya Penempatan Migran Indonesia yang Ditempatkan oleh P3MI kepada Pemberi Kerja Berbadan hukum di Jerman, CPMI pun dikenakan biaya hampir Rp50 juta. Besaran dana itu mulai dari biaya transportasi dalam negeri, cek kesehatan hingga biaya jasa perusahaan sebesar EUR 2.273 atau setara Rp 43 juta. “Gratis (biaya bagi CPMI) tidak ada, omong kosong!” kata Sulaiman.
Melihat kebijakan yang belum berpihak penuh pada CPMI, Sulaiman melobi perusahaan atau pemberi kerja di Jerman dan Belanda untuk menanggung sebagian besar biaya penempatan. Hasil membujuk pihak ‘asing’ berbuah subsidi sejumlah biaya. Bahkan ongkos pelatihan pun ditanggung. “Untuk perawat ini saya minta khusus, akhirnya Belanda lah pertama kali setuju membiayai sampai tiket dan sekolahnya,” tutur dia. Sedangkan, Jerman bersedia menanggung seluruh biaya penempatan, dengan catatan pekerja menanggung biaya pelatihan bahasa.

Masih soal tantangan biaya, sebenarnya pemerintah memiliki kebijakan kredit usaha rakyat untuk dimanfaatkan CPMI sebagai modal. Pada Juli ini, Kementerian Perekonomian menyatakan batas KUR yang bisa dipinjam demi proses pemberangkatan, termasuk pelatihan mencapai Rp100 juta. Tetapi, implementasi KUR bagi pekerja migran yang bergulir sejak 2015 ini tak semulus bayangannya. Sulaiman bilang banyak mendengar cerita CPMI yang ditolak pengajuan KUR-nya lantaran hasil BI-checking.
Lagi-lagi, dia berinisiatif untuk mengajukan diri sebagai penjamin bagi CPMI yang tak lolos skrining profil keuangan bank. Dari pengalamannya, CPMI yang dia bantu administratifnya hanya bisa melalui skema mikro, dengan bunga bank lebih tinggi. “Kalau nanti enggak bayar, saya yang nanggung,” kata dia.
Sebenarnya pemerintah memiliki kebijakan kredit usaha rakyat untuk dimanfaatkan CPMI sebagai modal.
Sulaiman menyebutkan, saat ini sudah cukup banyak pekerja migran berstatus ART yang selama ini rentan dieksploitasi tanpa kontrak kerja jelas dan upah minimum. Sehingga perlu peralihan status pekerja domestik menjadi caregiver dan memperbanyak perluasan pekerjaan perawat, terlebih di kawasan Eropa, mesti dilakoni. “Poles saja (kemampuannya). Karena ini tugas negara kita jadikan orang ini pandai,” ucapnya.
Sedangkan di Jepang, penyerapan PMI sektor keperawatan masih didominasi status magang, alih-alih pekerja penuh waktu. Dari penelusuran sebanyak 300 LPK yang terdaftar di Kementerian Ketenagakerjaan, mayoritas menawarkan pekerjaan magang. Status kerja ini berdampak pada terbatasnya durasi kerja dan besaran upah. Padahal pekerjaan yang ditawarkan termasuk caregiver, dan Jepang secara penempatan selalu masuk lima negara teratas tujuan PMI.
Berangkat Pakai Pinjaman Swasta
Rose Lina, pengelola di LPK Indonusa Gemilang menyebut, pekerja magang biasanya diganjar upah setengah dari pekerja yang memiliki visa Specified Skilled Worker. Ambil contoh, gaji seorang perawat lansia atau caregiver di negeri sakura mulai Rp 15 juta sehingga gaji magang hanya Rp7,5 juta atau hanya sedikit lebih besar dari UMR Jakarta. Itu pun masih bersifat kotor belum ditanggung biaya hidup.
Sama seperti bekerja di Eropa, tantangan bekerja di Jepang juga soal biaya. Calon pekerja migran mesti merogoh kocek sampai Rp10 juta untuk pelatihan bahasa selama 6 bulan. Ditambah, biaya keberangkatan sedikitnya Rp 35 juta. Kata Rose, banyak CPMI yang sudah lolos sertifikasi bahasa, tapi gagal berangkat karena keterbatasan dana.
Sejauh ini, LPK yang berlokasi di Bekasi itu menawarkan dana pinjaman bagi CPMI. Rose bilang upaya calon pekerja memperoleh akses KUR selalu terhambat agunan. Walhasil, mereka lebih banyak memilih skema pinjaman swasta. Kini, sedikitnya ada 10 jebolan LPK Indonusa Gemilang yang berhasil diberangkatkan ke Jepang dari P3MI di Jakarta. “Kami menyediakan dana talangan untuk pemberangkatan. Nanti potong gaji Itu di bulan kedua sampai lunas,” ujar Rose.
Inisiatif lain LPK untuk menggenjot kuantitas adalah dengan memperbaiki kualitas pelatihan bahasa CPMI. Keterlibatan swasta seperti Japan Foundation Jakarta berperan penting. Sejumlah medium ajar seperti buku dan infrastruktur media pembelajaran dipasok lembaga nirlaba milik pemerintah Jepang itu. Keterlibatan yang sama diharap datang dari pemerintah sendiri. “Harusnya ada subsidi ya, karena kami juga membuka lapangan kerja,” harap Rose.
Rohman Wibowo, Harits Arrazie dan Mukhlison