Sejak era merebaknya startup pada dekade lalu, ada masanya dimana manajemen startup berlomba-lomba mengerek naik valuasi perusahaan mereka. Namun, kini rupanya paradigma mereka dalam mengelola bisnis sudah berubah. Ketika dulu fokus menggenjot valuasi, kini mereka lebih fokus mencatat keuntungan dan menciptakan bisnis berkelanjutan.
Riset Tech in Asia berjudul Vital Signs: THE 2025 TECH IN ASIA CONFERENCE REPORT mencatat perubahan fokus bisnis di kalangan startup Asia Tenggara. Sebanyak 59,2% pendiri perusahaan teknologi kini mengutamakan pertumbuhan dan profitabilitas secara bersamaan, naik dari 34,8% pada 2020.
“The growth at all costs mindset is truly dead”, tulis laporan tersebut, yang menandakan berakhirnya orientasi startup pada pembesaran valuasi.
Dari survei terhadap lebih dari 100 pendiri dan karyawan startup di kawasan, 27,7% perusahaan teknologi menyatakan telah mencapai keuntungan, sementara 23,4% lainnya memperkirakan akan mencapainya dalam satu tahun ke depan.
Riset tersebut juga mencatat penurunan pendanaan di Asia Tenggara menjadi 1,2 miliar dolar AS pada kuartal II 2025, level terendah dalam lima tahun terakhir. Meskipun begitu, hampir 40% pendiri startup masih berencana mencari modal melalui investasi korporasi, hibah, atau angel investor.
Perubahan arah investasi ini terlihat di Indonesia. Kepala Bidang Media & PR Asosiasi Modal Ventura Untuk Startup Indonesia (Amvesindo) Novrizal Pratama mengatakan investor kini tidak lagi menilai perusahaan berdasarkan besarnya valuasi, melainkan pada kemampuan menciptakan keuntungan dan keberlanjutan usaha.
“Sekarang perusahaan yang dinilai bukan yang valuasinya besar, tapi yang sudah cukup bisa sustainable dan punya path menuju profitabilitas,” ujarnya.
Novrizal menyebut tren ini mulai tampak sejak 2023, ketika sejumlah perusahaan dengan fondasi lemah gagal mempertahankan kinerja. Menurutnya, perubahan kondisi global dan kebijakan suku bunga The Fed turut memperketat arus pendanaan. Karena itu, investor kini berhati-hati karena pengumpulan dana dari penyedia likuiditas tidak semudah pada tahun-tahun sebelumnya.
Situasi pendanaan di Indonesia disebut masih tertekan akibat perlambatan ekonomi dan meningkatnya kehati-hatian investor. Novrizal menilai kondisi yang disebutnya sebagai tech winter membuat banyak pendiri startup kesulitan memperoleh modal baru.
Dia juga menyinggung sejumlah kasus hukum di sektor teknologi seperti eFishery, Investree, dan TaniHub yang memperkuat sikap waspada investor.
Read also:

Riset dari Tech In Asia itu juga menunjukkan 34,6% responden menilai kualitas tata kelola perusahaan di Asia Tenggara buruk atau sangat buruk, sementara 50% menilainya rata-rata. Rangkaian kasus di sektor teknologi disebut memperkuat pandangan bahwa perbaikan tata kelola menjadi faktor penting agar ekosistem investasi tetap dipercaya.
Dengan demikian, aspek tata kelola kini menjadi perhatian utama sebelum investor mengucurkan dana. Novrizal menyebut investor menuntut laporan keuangan dan penjualan yang sudah diaudit oleh lembaga kompeten. Dia mengatakan praktik itu merupakan syarat utama dalam proses pendanaan dan merupakan pembelajaran penting bagi investor maupun pendiri startup untuk memperbaiki tata kelola. “Kalau itu absolut, mutlak,” katanya.
Selain pendanaan dari modal ventura, sumber investasi bagi startup di Indonesia kini semakin beragam. Menurut Novrizal, perusahaan besar dan BUMN mulai banyak mencari inovasi lewat kemitraan dengan startup teknologi untuk meningkatkan kinerja bisnis. Dia juga menyebut minat angel investor tetap ada karena menggunakan dana pribadi dan bergerak sesuai selera masing-masing.
Masih dalam riset tersebut menyebutkan, 39,6% pendiri startup di Asia Tenggara menyatakan akan mencari pendanaan pada 2025 dengan mempertimbangkan investasi korporasi, hibah, dan angel investor sebagai alternatif di tengah lesunya iklim modal ventura. Tren ini menunjukkan munculnya strategi baru dalam mempertahankan pertumbuhan bisnis di sektor teknologi.
Menurut Novrizal, Amvesindo menilai perubahan fokus startup menuju profitabilitas memerlukan arah yang jelas agar pertumbuhan tetap seimbang. Novrizal mengatakan, teknologi yang dikembangkan harus tepat guna dan mampu menjawab kebutuhan nyata dari pasar. Dia menambahkan, dukungan regulator juga diperlukan agar startup dapat berinovasi tanpa kehilangan ruang untuk bertumbuh di tengah daya beli masyarakat yang masih terbatas.
Contoh dari Indonesia: Bukalapak dan Blili
Pergeseran fokus ke arah profitabilitas juga terlihat dari kinerja Bukalapak pada kuartal kedua 2025. Sebelumnya pada Juli lalu, PT Bukalapak.com Tbk (BUKA) mencatat kenaikan pendapatan 12% dari Rp 1,5 triliun menjadi Rp 1,6 triliun dibandingkan kuartal sebelumnya. Perusahaan menyebut pertumbuhan ini terutama didorong oleh kinerja positif dari segmen gaming dan investment yang kini menjadi penopang utama pendapatan.
Efisiensi yang dilakukan emiten berkode saham BUKA dalam beberapa kuartal terakhir mulai menunjukkan hasil. EBITDA yang disesuaikan membaik dari minus Rp 20 miliar menjadi minus Rp 14 miliar, sementara laba bersih melonjak 218% secara kuartalan menjadi Rp 355 miliar. Perusahaan juga menekan beban umum dan administrasi, yang turut memperkuat struktur bisnis menuju profitabilitas.
Hingga akhir Juni 2025, Bukalapak mencatat kas dan investasi likuid sebesar Rp 18,5 triliun, memberikan ruang yang kuat untuk ekspansi jangka panjang. Dengan fondasi keuangan yang lebih sehat serta kontribusi dari segmen Gaming, Retail, dan Mitra Bukalapak, perusahaan menyatakan siap melanjutkan pertumbuhan berkelanjutan di paruh kedua tahun ini.
“Transformasi yang kami lakukan mulai menunjukkan hasil yang nyata, dengan struktur bisnis yang semakin ramping, fokus, dan produktif,” ujar Victor Putra Lesmana, Direktur BUKA dalam keterangan resmi.
Tren serupa juga terlihat pada kinerja PT Global Digital Niaga Tbk atau Blibli. Pada paruh pertama 2025, Blibli mencatat pertumbuhan pendapatan bersih sebesar 22% atau setara Rp9,6 triliun. Kinerja positif ini ditopang oleh peningkatan di semua lini bisnis, terutama pada segmen ritel elektronik, gaya hidup, dan perjalanan.
“Kami percaya ini akan menempatkan kami pada posisi yang baik untuk mencapai pertumbuhan berkelanjutan sepanjang sisa tahun ini,” kata Ronald Winardi, Chief Financial Officer Blibli dalam keterangan resmi.
Blibli juga terus melakukan ekspansi bisnis. Hingga akhir Juni 2025, perusahaan telah mengoperasikan 223 toko elektronik, 58 supermarket premium, dan 36 pusat pengalaman rumah dan gaya hidup. Perusahaan menyebut ekspansi ini jadi bagian dari strategi memperkuat jaringan omnichannel sekaligus menjaga pertumbuhan yang konsisten di tengah persaingan pasar yang ketat.
Indonesia pasar potensial
Senada dengan Novrizal, Direktur Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Nailul Huda mengatakan perubahan orientasi startup menuju profitabilitas sudah terjadi sejak masa tech winter pada 2023. Kondisi likuiditas yang semakin ketat bikin investor menuntut pengembalian modal lebih cepat. “Mereka yang tadinya tidak masalah tidak untung dalam 10 tahun, menjadi harus untung dalam sekian tahun,” ujarnya.
Menurut Huda, perubahan ini menandai pergeseran dari pola lama di era 2010 sampai 2017 ketika banyak startup fokus kejar valuasi tanpa mempertimbangkan keberlanjutan bisnis. Kini, menurutnya, faktor penentu kepercayaan investor justru berada pada kemampuan menghasilkan laba atau setidaknya memiliki jalur bisnis yang jelas menuju profit.
Meski tekanan global seperti kebijakan suku bunga The Fed membuat aliran modal ke sektor teknologi semakin ketat, prospek ekonomi digital di Indonesia, bagi Huda, tetap menarik. Menurutnya, Indonesia tetap jadi incaran pemain teknologi global karena memiliki pasar yang potensial. “Pertumbuhan, meskipun tidak eksponensial, masih tetap positif,” ujarnya.