Pertumbuhan pasar aset kripto Indonesia yang impresif menghadirkan potensi menjanjikan. Di sisi lain ada risiko keamanan siber yang mengintai. Kolaborasi pentahelix mulai dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) hingga pelaku usaha menjadi syarat agar potensi besar tersebut dapat dimaksimalkan sehingga membawa manfaat lebih dari sekadar perolehan pajak transaksi seperti yang dilakukan selama ini.
Harapan tersebut diungkapkan para panelis diskusi "Masa Depan Keuangan di Era Digital: Inovasi Aset Kripto dan Tantangan Keamanan Transaksi" yang menjadi bagian Festival Ekonomi Keuangan Digital Indonesia x Indonesia Fintech Summit & Expo 2025 (FEKDI x IFSE 2025) yang diselenggarakan Bank Indonesia, bekerja sama dengan Kementerian Koordinator Perekonomian dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) di Jakarta Convention Center, Jumat (31/10/2025).
Deputi Gubernur Bank Indonesia Filianingsih Hendarta menegaskan, dengan fondasi ekosistem ekonomi digital yang semakin matang dan inovasi yang terus dilakukan, kewaspadaan terhadap meningkatnya risiko serangan siber, pencurian data pribadi, dan isu interoperabilitas menjadi tonggak untuk mempertahankan kepercayaan publik terhadap ekonomi keuangan digital yang dirintis selama bertahun-tahun.
"Jangan sampai trust yang sudah terbentuk itu, karena tantangan-tantangan yang tidak bisa kita mitigasi dan selesaikan, baik berupa serangan siber atau masalah interoperabilitas, membuat masyarakat justru jadi enggan menggunakan karena meragukan keamanan produk keuangan digital," ucapnya.
Di atas fondasi keamanan digital yang kuat tersebut, perdagangan aset kripto menjadi salah satu bidang anyar yang memiliki peluang manfaat ekonomi yang besar, tidak hanya dari sisi pendapatan pajak, melainkan juga kebermanfaatan aset kripto yang dapat dieksplorasi lebih jauh, termasuk tokenisasi aset dunia nyata (real world asset/RWA)
Kepala Eksekutif Pengawas Inovasi Teknologi Sektor Keuangan, Aset Keuangan Digital, dan Aset Kripto OJK Hasan Fawzi mengungkapkan, dengan inovasi blockchain, meningkatnya minat investor, dan dinamika kebijakan finansial yang ramah kripto (crypto-friendly), aset kripto telah menyediakan fondasi model bisnis baru, mulai dari decentralized finance (DeFi) hingga rupiah digital.
"Hingga September 2025, OJK mencatat pengguna aset kripto nasional mencapai 18,61 juta konsumen, dengan pertumbuhan month-to-month sebesar 3-5% dan total transaksi aset kripto year-to-date mencapai lebih dari Rp360 triliun. Situasi ini menjadikan Indonesia menempati peringkat ke-7 dari 151 negara dalam Global Crypto Adoption Index," jelas Hasan.
Mempertegas penjelasan Filianingsih, Hasan menyampaikan bahwa ancaman peretasan platform, risiko kegagalan infrastruktur, manipulasi pasar, hingga praktik kriminalitas terselubung menjadi titik-titik lemah yang dapat mengganggu integritas pasar kripto. Tak kepalang tanggung, nilai kerugian akibat serangan siber terhadap aset kripto pada semester pertama 2025 diperkirakan telah mencapai USD 2,3 miliar.
"Penerapan tata kelola yang baik, manajemen risiko, keamanan siber, dan kepatuhan pada aspek antipencucian uang pada akhirnya bukan lagi pilihan, tetapi keharusan. Keberhasilan pengembangan industri bukan hanya ditentukan aturan, tetapi kesiapan kita semua melengkapi puzzle ekosistem keuangan digital, khususnya aset kripto ke depannya," tutup Hasan.
Pilihan baru: tokenisasi
Dalam usaha mengejar kebermanfaatan aset kripto, pajak terhadap perdagangan dinilai tidak menghasilkan jumlah yang sangat signifikan. Untuk itu, Kepala Departemen Pengaturan dan Perizinan IAKD OJK Djoko Kurnijanto mengharapkan agar produk kripto juga dapat meningkatkan likuiditas dan menambah instrumen investasi yang dapat diakses semua lapisan masyarakat. Tokenisasi menjadi pilihan tepat.
"Tokenisasi mendemokratisasi kepemilikan: seseorang yang tadinya tidak bisa membeli aset kripto dalam jumlah besar, sekarang bisa membeli. Kita sedang mengejar kebermanfaatan itu supaya maksimal, dengan menerapkan pentahelix. OJK sebagai regulator mengajak empat pihak lain, yaitu industri, akademisi, media massa, dan asosiasi untuk memaksimalkan manfaat itu," ucapnya.
Djoko menggarisbawahi OJK telah menerbitkan Pedoman Keamanan Siber untuk Aset Keuangan Digital sebagai dokumen acuan untuk perdagangan aset kripto dengan empat butir terpenting: tata kelola keamanan siber, manajemen risiko, penerapan, dan pelindungan data yang harus dipatuhi penyelenggara infrastruktur perdagangan kripto.
CEO Hara Token Firnando Sirait mengonfirmasi penilaian Djoko. Sebagai pelaku industri, dia telah melihat pergeseran preferensi terhadap aset kripto yang semula dianggap suatu spekulasi, kini menjadi instrumen keuangan yang memberikan value creation terhadap ekosistem di sekitarnya, termasuk melalui tokenisasi RWA lewat sumber daya riil.
"Di Hara, kami mencoba tokenisasi komoditas, salah satunya sawit. Anda tahu ekspor sawit kita terhambat regulasi Uni Eropa. Dari sana, kami membuat token yang memuat diligence asal-usul sawit, dengan mempraktikkan multi-validation methodology, agar jangan hanya satu orang yang memverifikasi," cetus Firnando.
Sesudah produk token siap, layanan transaksi lewat aplikasi investasi menjadi gerbang selanjutnya. Head of Business Development Pluang Jonathan Gregorius Tampubolon menyatakan, sebagai aplikasi layanan investasi dengan ragam aset, termasuk token kripto, pihaknya selalu mengedepankan fitur layanan yang memastikan pengguna mampu mengambil keputusan investasi secara bijak.
"Kebijaksanaan itu terwujud dalam: kecukupan informasi yang dapat diakses secara mudah, fitur-fitur advance order, dan layanan web trading. Di luar itu, kami bolak-balik diingatkan untuk tetap patuh pada peraturan perundang-undangan, karena itu adalah faktor paling pertama untuk pelindungan konsumen," tuturnya.
Menimpali penjelasan Jonathan, Firnando mengungkapkan bahwa tata kelola dan kepercayaan pengguna terhadap produk dan layanan investasi aset kripto masih menjadi tantangan. Untuk itu, dia berharap upaya pelaku industri token kripto dan layanan investasi membangun kepercayaan terhadap token RWA secara individual ditingkatkan ke arah regulasi di tingkat nasional.
"Inovasi kripto is a trustless technology. Karena inovasi ini diharapkan dapat memberikan akses untuk meningkatkan kesejahteraan, maka ujungnya bukan profit saja, tetapi keadilan ekonomi, yaitu agar produk investasi bisa diakses semua orang, dan menjadikan ekosistem ini kolaboratif," tandasnya.
Manusia, bukan teknologinya
Usaha keras regulator dan pelaku industri perdagangan aset kripto untuk menjaga kepercayaan investor menyiratkan satu aspek penting, yaitu risiko keamanan siber lebih mengancam manusia pengguna, bukan teknologi infrastruktur yang digunakannya. Untuk itu, kecukupan informasi bagi user sama pentingnya dengan membangun sistem yang mampu menangkal serangan siber.
Ketua Dewan Direksi Communication and Information System Security Research Center (CISSReC) Pratama Dahlian Persadha mengungkapkan sejumlah modus dominan para peretas aset kripto, mulai dari eksploitasi smart contract, memanfaatkan celah-celah kode sesudah blockchain deployment, rekayasa sosial impersonasi dengan deepfake AI, phishing, hingga skema Ponzi digital.
"Faktanya, 80% serangan terhadap teknologi kripto itu serangan kepada manusianya, bukan teknologinya. Para pembuat platform relatif memahami mengamankan sistem dan blockchain didesain cukup kuat, pemakai aset justru menjadi pintu masuk ketidakamanan, mulai dari password bocor, salah klik link sembarangan, dan sebagainya," ujar Pratama.
Jonathan Gregorius Tampubolon dari Pluang mengakui kelalaian pengguna sebagai pintu masuk kejahatan siber. Dari sejumlah kasus yang pernah terjadi, Pluang melakukan evaluasi terhadap titik-titik lemah yang paling sering terjadi, yaitu saat peretas berhasil mengubah pin atau nomor atau saat pemilik aset melakukan pengiriman aset kripto (crypto send).
Menghadapi tantangan itu, pengamanan biometrik seperti face match menjadi salah satu langkah pengembangan, meski upaya ini juga terancam dengan deepfake AI yang dapat mereplikasi suara dan wajah secara autentik. Selain itu, Pluang juga memasang instrumen pengawasan di semua perangkat kantor yang dapat memblokir link yang mencurigakan.
Read also:

Mengatasi hal tersebut, bersama OJK dan BSSN, CISSReC telah menyusun peta jalan perdagangan kripto yang memaksimalkan kebermanfaatan dan menjaga keamanan, seperti memastikan custody untuk RWA, audit smart contract, serta information-sharing di antara penyelenggara infrastruktur perdagangan kripto apabila ada serangan. Hal-hal ini menuntut kolaborasi penuh, di samping saling percaya.
"Tanpa literasi, tanpa kesadaran keamanan, investasi sebesar apapun tidak akan ada gunanya jika orang-orangnya tidak teredukasi untuk melawan musuh-musuh yang memanfaatkan kelemahan psikologis kita. Yakinlah, kolaborasi membuat kita sama-sama kuat, dan tidak akan mengambil rezeki masing-masing," tegasnya.
Melengkapi keterangan Pratama, Djoko Kurnijanto menegaskan bahwa standar pengawasan OJK akan menjadi indikator sejauh mana pelaku industri menjalankan asesmen risiko dan manajemen risiko keamanan siber, di samping memastikan kematangan sistem untuk digunakan berinvestasi secara aman.
"Pengalaman memberi kami pelajaran smart contract perlu selalu diaudit. Maka itu kami kembalikan ke penyelenggara, harus tunjukkan hasil audit independen terhadap smart contract, karena itu 'jantung' aset token. Kami akan melakukan asesmen terhadap hasil audit itu," pungkas Djoko.