Cukai Natrium: Peluang Makanan Rendah Garam Dominasi Pasar

Pemerintah menyiapkan kebijakan pengenaan cukai pada Produk Pangan Olahan Bernatrium (P2OB). Wakil Menteri Keuangan Anggito Abimanyu menjelaskan, kebijakan ini menjadi bagian dari langkah memperluas basis penerimaan negara pada 2026.

Cukai Natrium: Peluang Makanan Rendah Garam Dominasi Pasar
Photo by Kris Sevinc / Unsplash
Table of Contents

Pemerintah tengah menyiapkan kebijakan yang bisa jadi akan mengubah arah industri makanan kemasan di Indonesia: pengenaan cukai pada Produk Pangan Olahan Bernatrium (P2OB). Rencana ini dipaparkan dalam rapat kerja Komisi XI DPR, Senin, 14 Juli 2025.

Wakil Menteri Keuangan Anggito Abimanyu menjelaskan, kebijakan ini menjadi bagian dari langkah memperluas basis penerimaan negara pada 2026.

“Output perumusan kebijakan di sisi administrasi, merekomendasi barang-barang ekspansi barang dan cukai,” katanya.

Di satu sisi, ini dianggap sebagai langkah untuk menekan konsumsi garam masyarakat yang masih jauh di atas rekomendasi WHO. Di sisi lain, muncul pertanyaan besar: akankah kebijakan ini jadi beban tambahan bagi industri, terutama UMKM, atau justru menjadi pemicu inovasi dan reformulasi produk rendah garam yang tetap digemari konsumen?

Konsumsi Garam Tinggi dan Beban Kesehatan yang Menggunung

Masalah konsumsi garam berlebih di Indonesia bukan kabar baru. Berdasarkan Riskesdas 2018, rata-rata konsumsi garam penduduk Indonesia mencapai 10,9 gram per hari, lebih dari dua kali lipat anjuran WHO yang hanya 5 gram.

Konsekuensinya nyata: penyakit tidak menular seperti hipertensi dan stroke terus menjadi penyebab kematian dan kecacatan terbesar. Profil Kesehatan Indonesia 2022 mencatat, lebih dari 34% penduduk usia dewasa menderita hipertensi, dengan tren yang masih sulit ditekan.

Ahli gizi dr. Tan Shot Yen menegaskan, sumber terbesar natrium bukan dari garam dapur yang kita tambahkan, melainkan produk ultra-proses seperti saus, kecap, makanan instan, hingga camilan kemasan.

“Yang kita hadapi bukan cuma lidah konsumen yang suka asin, tapi juga industri yang tak selalu transparan soal kandungan garam,” kata dr. Tan.

Di era digital, ia menyoroti tantangan baru: influencer yang justru mempromosikan makanan tinggi garam tanpa edukasi gizi yang memadai.

“Tantangannya adalah literasi konsumen, juga faktor influencer yang malah jadi konsumen dan promotor produk nggak sehat,” ujarnya.

Ia juga mengingatkan bahwa di Indonesia, kebijakan serupa kerap menghadapi hambatan panjang.

“Cukai minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK) saja sudah ditunda bertahun-tahun. Jadi memang yang terpenting tetap edukasi: supaya masyarakat paham dan ikut mendorong perubahan,” tambahnya.

Pemerintah sendiri sudah mewajibkan label kandungan gula, garam, dan lemak melalui PP No. 28 Tahun 2024. Namun, label saja tak cukup. Karena itu, muncul ide pengenaan cukai bernatrium: menjadikan harga produk tinggi garam lebih mahal, mendorong produsen untuk mereformulasi produknya demi tetap kompetitif.

Contoh sukses bisa dilihat di Inggris: sejak 2006, lewat kombinasi target reformulasi sukarela dan tekanan kebijakan, kadar garam dalam produk turun rata-rata 15%. Sementara di Chili, kebijakan label “tinggi garam” berhasil menurunkan konsumsi makanan tinggi garam hingga 24% (BMJ, 2020).

Reformulasi Produk: Beban Biaya atau Investasi Pasar Baru?

Jaya Darmawan dari CELIOS juga menggarisbawahi potensi beban tambahan, terutama bagi UMKM.

“Untuk usaha mikro dan kecil, ini bisa meningkatkan biaya produksi dan administratif,” kata Jaya.

Ia mencontohkan di negara lain, kebijakan serupa dibarengi lab uji kandungan gizi dan label peringatan, yang akhirnya menambah biaya. “Makanya ada baiknya pemerintah memberikan perlindungan, atau menetapkan ambang batas berbasis volume produksi, agar usaha mikro tertentu tidak perlu kena cukai,” tambahnya.

Namun, peluangnya juga nyata. Menurut Market Data Forecast, pasar global makanan rendah natrium diperkirakan tumbuh dari USD 1,37 miliar (2022) menjadi USD 1,76 miliar pada 2028.

Mohammad Faisal, ekonom dari CORE Indonesia, mengingatkan bahwa cukai punya dua sisi.

“Cukai itu bukan hanya untuk tambah penerimaan, tapi untuk mengontrol objek yang menimbulkan eksternalitas negatif,” jelasnya. Kenaikan harga akibat cukai diperkirakan membuat masyarakat lebih selektif. “Tapi apakah ini otomatis menurunkan asupan garam? Belum tentu juga. Kalau suka asin, orang tetap bisa masak sendiri dengan banyak garam,” ujar Faisal.

Di sisi lain, ia menyoroti potensi dampak negatif pada industri, terutama sektor makanan olahan.

“Jangan sampai pengenaan cukai ini justru menekan pertumbuhan industri, tapi tidak benar-benar mengurangi dampak kesehatannya,” ujar Faisal.

Ia juga mengingatkan bahwa fungsi kebijakan fiskal bukan hanya menjaga kesehatan anggaran, tetapi juga kesehatan ekonomi dan daya saing industri. Dalam hal ini, Faisal menekankan pentingnya insentif riset, pendampingan UMKM, dan kampanye edukasi.

“Kalau hanya tarif cukai tanpa insentif, nanti industrinya tertekan, bisa terjadi kontraksi, PHK, dan akhirnya konsumsi masyarakat juga turun. Ini bisa memicu efek downward spiral,” jelas Faisal.

Jaya menambahkan, jika diasumsikan nilai penjualan produk bernatrium mencapai Rp150 triliun, dan sekitar 60% di antaranya tinggi natrium, potensi penerimaan negara dari cukai bisa mencapai Rp900 miliar per tahun.

“Tapi tetap harus dilihat: apakah kebijakan ini praktis, mudah diterapkan, dan tidak memberatkan UMKM,” ujar Jaya.

Karena itu, kedua pakar menyarankan agar kebijakan cukai bernatrium disertai kajian komprehensif dan insentif bagi pelaku usaha, terutama UMKM agar tetap mampu berinovasi menghasilkan produk rendah garam yang tetap digemari konsumen.

Antara tujuan kesehatan dan penerimaan negara

Dari sudut fiskal, cukai bernatrium bagian dari strategi pemerintah menambah penerimaan. Anggito Abimanyu menyebut kebijakan ini masuk dalam lima kegiatan utama pengelolaan penerimaan negara tahun 2026, termasuk pelayanan, pengawasan, dan perumusan kebijakan administratif.

Targetnya: menaikkan rasio pendapatan negara terhadap PDB ke 11,71–12,22%, dan rasio perpajakan ke 10,08–10,45%.

Jaya menilai, diversifikasi sumber penerimaan cukai penting, apalagi selama ini negara terlalu bergantung pada cukai rokok. Karena itu, pemerintah juga mendorong cukai minuman berpemanis (MBDK) dan cukai bernatrium.

Di balik itu semua, kebijakan fiskal idealnya bukan hanya menjaga kesehatan anggaran, tetapi juga kesehatan ekonomi.

“Kalau industrinya tertekan, ada risiko kontraksi, PHK, dan akhirnya konsumsi masyarakat juga turun,” ujarnya.

Industri Pangan Sehat

Pada akhirnya, pengenaan cukai bernatrium akan jadi ujian arah kebijakan negara: hanya jadi beban tambahan, atau jadi pemicu reformulasi produk lebih sehat dan lahirnya pasar baru. Agar berhasil, kebijakan ini tak bisa berdiri sendiri. Perlu insentif riset, pelatihan reformulasi bagi UMKM, kemudahan sertifikasi, dan kampanye edukasi publik.

Seperti disimpulkan oleh dr. Tan, Faisal, dan Jaya, keberhasilan cukai bernatrium akan bergantung pada satu hal: keberanian pemerintah tak hanya mengenakan pajak, tetapi juga menciptakan ekosistem inovasi dan edukasi. Jika tidak, ia hanya akan jadi “harga tambahan” di rak swalayan. Tapi jika dikelola benar, ia bisa membuka jalan ke industri pangan olahan yang lebih sehat, inovatif, dan berkelanjutan.