Sustainable Business, National Banking Boosts Green Financing

Banks are working to increase the growth of sustainable financing in line with environmental awareness and the ambitious target to achieve net-zero emissions by 2060. Which banks are they?

Sustainable Business, National Banking Boosts Green Financing
Direktur Utama InJourney Maya Watono (tengah) bersama Direktur Operasi ITDC Troy Reza Warokka (kiri) dan Direktur Komersial dan Marketing ITDC Febrina Mediana (kanan) menanam mangrove saat program InJourney Green Mandalika di Lot MG Kawasan The Mandalika, KEK Mandalika, Desa Kuta, Kecamatan Pujut, Praya, Lombok Tengah, NTB, Minggu (14/9/2025). (ANTARA FOTO/Ahmad Subaidi/bar)

Berbagai perbankan terus berupaya meningkatkan pertumbuhan pembiayaan berkelanjutan seiring dengan kesadaran menjaga lingkungan dan target ambisius untuk mencapai emisi nol bersih pada 2060.

Demikian disampaikan oleh Andi Syaiful Wahdi, Enterprise Banking Business Head of Bank Danamon Indonesia, dalam acara Net Zero School, bagian dari rangkaian MUFG Net Zero World (MUFG N0W) 2025.

Forum ini mendorong pemahaman lintas sektor tentang peran pembiayaan hijau bagi ekonomi rendah karbon di Indonesia. Hal ini dilakukan sebagai bagian dari upaya mitigasi perubahan iklim.

Andi menjelaskan bahwa 'Net Zero School' mempertemukan pemerintah, pelaku usaha, dan lembaga keuangan untuk mempercepat transisi hijau. Andi menekankan keberlanjutan bukan hanya soal menjaga lingkungan, tetapi juga memahami dampak bisnis terhadap sosial dan lingkungan.

“Kami yakin kolaborasi dari bermacam sektor itu penting untuk mendorong keberlanjutan ini,” katanya dalam press conference di Jakarta, Senin (13/10/2025).

Bank Danamon juga menargetkan menjadi bank net zero emission pada 2030. Berbagai langkah internal yang dilakukan danamon antara lain:

  • Pengurangan pemakaian kertas, listrik, dan air
  • Pemasangan panel surya
  • Pendingin udara ramah lingkungan di kantor.

"Di sisi pembiayaan, Danamon memperkuat dukungan bagi proyek hijau dan sosial, termasuk UMKM serta energi terbarukan," kata dia.

Melalui kerja sama dengan MUFG, Danamon memperluas portofolio pembiayaan berkelanjutan yang berorientasi hasil, termasuk sustainability-linked financing (SLL).

Andi berharap inisiatif seperti Net Zero School meningkatkan kesadaran publik akan pentingnya pembiayaan hijau.

“Semoga ini bisa mendorong kita semua untuk mewujudkan dunia yang lebih hijau di masa depan,” ujarnya.

Colin Chen, Head of Sustainable Finance Asia Pacific MUFG Bank, menjelaskan bahwa prinsip Environmental, Social, and Governance (ESG) menjadi kerangka penting bagi pelaku usaha dalam menghadapi tantangan ekonomi rendah karbon.

Pendekatan ini menuntut perusahaan untuk menyeimbangkan kepentingan finansial dengan tanggung jawab sosial dan lingkungan. Colin menambahkan pentingnya memahami konsep materialitas ganda, yang melihat keberlanjutan dari dua sisi, yakni bagaimana risiko iklim mempengaruhi kinerja perusahaan dan bagaimana aktivitas bisnis berdampak pada masyarakat serta ekosistem.

Pergeseran cara pandang ini, kata Colin, membuka peluang baru bagi inovasi dan pertumbuhan yang inklusif, seiring meningkatnya permintaan terhadap investasi hijau di kawasan.

Ia menegaskan isu utama keberlanjutan saat ini adalah penurunan emisi gas rumah kaca.

Dia menilai perhatian global kini juga bergeser pada isu alam dan keanekaragaman hayati. Indonesia berada pada posisi strategis karena kekayaan hutan dan statusnya sebagai salah satu pusat biodiversitas terbesar di dunia.

Indonesia, katanya, menghadapi risiko perubahan iklim sekaligus peluang besar dalam transisi menuju ekonomi rendah karbon dengan potensi investasi sekitar USD3,8 miliar.

Peluang itu terbuka di sektor energi terbarukan, jaringan transmisi, dan mobilitas listrik.

Chen juga menyoroti potensi nikel bagi industri baterai serta pengembangan bahan bakar rendah karbon seperti Sustainable Aviation Fuel (SAF). Mulai 2027, pemerintah menargetkan sedikitnya 1% penggunaan bahan bakar pesawat berasal dari SAF untuk mempercepat adopsi energi bersih.

Dia menilai bahwa kerangka dan standar keberlanjutan global masih beragam, tetapi proses harmonisasi terus berjalan. Indonesia telah memiliki fondasi kuat melalui penerapan pembiayaan berkelanjutan, dukungan terhadap obligasi tematik, pelaporan tahunan, manajemen risiko iklim, dan taksonomi hijau. Standar International Sustainability Standards Board (ISSB) juga direncanakan mulai berlaku di Indonesia pada 1 Januari 2027.

“Kesiapan kebijakan dan infrastruktur lebih penting daripada sekadar siapa yang tercepat mencapai net zero,” ujarnya.

Gandolfo menjelaskan pembiayaan berkelanjutan mencakup empat kategori utama, yakni :

  • Pembiayaan hijau,
  • Sosial
  • Pembiayaan berbasis indikator kinerja atau sustainability-linked financing.
  • Pembiayaan transisi yang ditujukan bagi sektor beremisi tinggi seperti semen, baja, pelayaran, aviasi, dan migas untuk membantu langkah bertahap menuju operasi rendah karbon.

Dalam praktiknya, peran bank tidak berhenti pada penyediaan dana. Bagi Gandolfo, bank juga membantu nasabah merancang kerangka pembiayaan dan memetakan aset yang memenuhi kriteria keberlanjutan. Empat langkah utama yang ditekankan adalah menilai kelayakan aset, melakukan evaluasi, mengelola dana secara transparan, dan menyampaikan laporan rutin kepada investor.

Chen menekankan ekosistem keberlanjutan terdiri dari berbagai instrumen yang saling melengkapi untuk mempercepat dekarbonisasi sekaligus memperluas dampak sosial. Setiap instrumen memiliki mekanisme berbeda, namun semuanya diarahkan untuk memobilisasi modal ke proyek yang memberikan pengurangan emisi dan manfaat sosial yang terukur.

Salah satu bentuknya adalah social financing, yang menargetkan kelompok masyarakat rentan seperti pelaku UMKM, masyarakat berpenghasilan rendah, penyandang disabilitas, perempuan, pemuda, atau komunitas marjinal lain.

Untuk sektor beremisi tinggi seperti semen, baja, aviasi, dan migas, Gandolfo menyoroti pentingnya transition finance. Skema ini memungkinkan perusahaan mengambil langkah bertahap menuju operasi yang lebih hijau dengan rencana transisi yang kredibel dan berbasis ilmu pengetahuan.

"Pendanaan dapat diarahkan pada proyek dekarbonisasi seperti teknologi hidrogen, penyimpanan energi, atau penangkapan karbon," kata dia.

Chen juga menyoroti blended finance sebagai bentuk kolaborasi antara pemerintah, swasta, dan lembaga filantropi dalam proyek yang sulit dijalankan secara komersial. Dengan memadukan hibah, jaminan, asuransi, atau bantuan teknis, risiko proyek dapat dikurangi sehingga lebih menarik bagi investor. Skema ini dia perkirakan semakin banyak diterapkan seiring meningkatnya kebutuhan pendanaan transisi energi.

Chen menyebut pembiayaan hijau dan berkelanjutan di Indonesia tumbuh pesat dalam lima tahun terakhir.

Total pembiayaan melalui green dan sustainability loans mencapai sekitar USD3,2 miliar, sementara penerbitan obligasi hijau mencapai USD2,8 miliar.

Chen optimis pasar pembiayaan berkelanjutan akan semakin beragam dengan keterlibatan lebih banyak perusahaan di luar sektor besar.

Director Blended Finance & Transition Finance MUFG, Nicholas Gandolfo, sedang memaparkan presentasi mengenai pembiayaan hijau. (Harrits Arrazie/ SUAR).

Himbara dalam Pembiayaan Hijau

Selain bank MUFG dan Danamon, anggota Himpunan Bank Milik Negara (Himbara) terus memperkuat dukungan terhadap pembiayaan hijau sebagai bagian dari komitmen nasional menuju ekonomi rendah karbon.

Bank Mandiri mencatat portofolio pembiayaan berkelanjutan senilai Rp304,5 triliun hingga Juni 2025, tumbuh 9,6% secara tahunan. Dari jumlah itu, portofolio hijau naik 13,3% menjadi Rp157,5 triliun, menjadikan Mandiri pemimpin pasar pembiayaan hijau dengan pangsa lebih dari 35%, demikian menurut release Bank Mandiri yang diterima SUAR beberapa waktu lalu.

Secara operasional, Bank Mandiri menjadi bank pertama di Indonesia yang menerapkan sistem Digital Carbon Tracking untuk memantau emisi karbon secara real time.

Hingga pertengahan 2025, emisi bank turun 3,9% berkat penerapan 10 kantor hijau, 3 gedung bersertifikasi GBCI, 31 stasiun pengisian kendaraan listrik, 870 panel surya, serta 490 kendaraan listrik dan hybrid. Peningkatan kinerja ESG membuat skor MSCI Mandiri naik dari “BBB” ke “AA” pada 2025.

PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk atau BRI juga menunjukkan pertumbuhan pembiayaan hijau dengan portofolio mencapai Rp89,9 triliun hingga triwulan I 2025, naik 8,18% secara tahunan.

Dana itu mengalir ke sektor energi terbarukan, transportasi hijau, dan pengelolaan sumber daya alam berkelanjutan. Secara total, portofolio pembiayaan berkelanjutan BRI mencapai Rp796 triliun atau 64,16% dari total pembiayaan dan investasi berbasis ESG, demikian menurut press release BRI.

Direktur Human Capital & Compliance BRI, A. Solichin Lutfiyanto, mengatakan peningkatan ini menunjukkan keseriusan BRI menjadi agen perubahan menuju ekonomi hijau.

BRI juga menerbitkan tiga fase Green Bond senilai Rp13,5 triliun dan sustainability-linked loan sebesar USD 1 miliar untuk memperkuat pembiayaan mikro. Dengan mengintegrasikan prinsip ESG di seluruh rantai pembiayaan, BRI berupaya memperluas dukungan bagi UMKM dan masyarakat berpenghasilan rendah serta memperkuat kontribusi terhadap Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs).

Senior Vice President Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI), Trioksa Siahaan, menilai pembiayaan hijau di sektor perbankan nasional masih didominasi penyaluran kredit untuk UMKM, yang sebagian besar tergolong kegiatan usaha berwawasan lingkungan.

Memang beberapa bank besar mulai menyalurkan pembiayaan ke sektor kelapa sawit bersertifikasi dan proyek energi terbarukan, namun kontribusi terbesar tetap datang dari pembiayaan mikro dan menengah. Di sisi lain, bank-bank dinilai sudah siap memperluas portofolio hijau, meski kesiapan sektor usaha menjadi faktor penentu keberhasilan transisi menuju ekonomi rendah karbon.

Trioksa menekankan pentingnya penguatan infrastruktur dan kapasitas SDM di perbankan, serta evaluasi regulasi agar lebih efektif mendorong pembiayaan hijau tanpa menambah beban risiko. Dia melihat peluang besar di sektor-sektor seperti green building dan energi surya untuk rumah tangga.

“Ketika bank aktif dan selektif menyalurkan kredit hijau, pelaku usaha otomatis terdorong berbenah menuju proses bisnis yang mendukung target net zero emission,” ujarnya kepada SUAR.