Industri perikanan Indonesia mendapat sinyal positif dari Timur Tengah. Sejumlah enam perusahaan unit pengolahan ikan (UPI) produk olahan Indonesia mendapat izin memasuki pasar negara Arab Saudi.
Persetujuan itu dikeluarkan oleh Saudi Food and Drug Authority (SFDA) pada Selasa (19/08/2025) dan diumumkan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) pada Jumat (22/08/2025).
Adapun keenam UPI produk olahan tersebut adalah PT Pahala Bahari Nusantara, PT Suri Tani Pemuka, PT Muria Bahari Indonesia, PT Sekar Laut, PT Alam Jaya, dan PT Philips Seafood Indonesia. Untuk bahan bakunya, Indonesia diketahui telah memiliki 63 unit perikanan tangkap yang telah mendapat kesempatan mengekspor produk ke Negeri Unta.
Hal ini menjadi kesempatan berharga untuk meningkatkan nilai tambah produk seafood, sekaligus awal pembukaan pangsa pasar alternatif di tengah perang dagang.
"Persetujuan ini menandai keberhasilan Indonesia memperluas akses ekspor produk perikanan ke Arab Saudi, sekaligus memperkuat posisi Indonesia sebagai negara pengekspor pangan yang memenuhi standar keamanan dan mutu internasional," ujar Kepala BPOM Taruna Ikrar dalam keterangan pers yang diterima SUAR, Selasa (26/08/2025).
Ekspor produk seafood Indonesia ke negeri Bani Saud itu tidak sekadar fatamorgana. Buktinya, Mohammed Bawazir for Trading Co Ltd (MBT) menandatangani letter of intent (LoI) senilai US$ 60 juta, atau sekitar Rp 984 miliar pada kurs Rp 16.400 per dollar AS, untuk membeli produk-produk makanan olahan Indonesia, termasuk di antaranya tuna kaleng.
MBT sendiri merupakan salah satu distributor terkemuka di Arab Saudi untuk produk makanan dan minuman (F&B), perawatan tubuh, serta produk herbal. Managing Director MBT, Fawzi Bawazier, menegaskan komitmen MBT untuk terus mendorong penggunaan produk-produk Indonesia di pasar Arab Saudi. Menurutnya, produk F&B Indonesia memiliki potensi yang sangat besar untuk memasuki pasar Arab Saudi.
“Kami sangat terbuka untuk membantu pelaku usaha Indonesia yang ingin berbisnis di Arab Saudi, baik itu perusahaan besar maupun UMKM. Kami berharap, pelaku usaha Indonesia tidak hanya berfokus pada pasar domestik, tapi juga dapat mencurahkan upaya untuk mengeksplorasi pasar Arab Saudi,” ujar Fawzi.
Harapan baru
Bagi pelaku usaha perikanan dan boga bahari, kabar tersebut juga menjadi angin segar setelah adanya isu terkait produk udang asal Indonesia yang disinyalir mengandung senyawa radioaktif.
Sebagaimana kita ketahui, belum lama ini Food and Drug Administration (FDA), Badan Pengawas Obat dan Makanan Amerika Serikat, mengumumkan adanya temuan kandungan Cesium-137 dalam udang beku impor. FDA secara spesifik menyebutkan bahwa temuan ini terdeteksi dari produk udang beku olahan PT Bahari Makmur Sejati yang berlokasi di Indonesia. FDA juga menganjurkan Amerika untuk tidak membeli maupun mengonsumsi produk seafood tersebut.
Maka, mendapat angin segar dari Arab Saudi, Direktur Pemasaran PT CJ Feed and Care Indonesia Haris Muhtadi menyambutnya sebagai momentum bagus bagi produsen olahan produk perikanan maupun eksportir Indonesia untuk kembali melakukan pendekatan ke pangsa Timur Tengah yang sangat potensial.
"Selama ini eksportir kita cenderung nyaman dengan pasar Jepang dan Amerika, belum terlalu fokus pada pasar Timur Tengah. Sama halnya dengan Eropa yang tidak banyak dilirik melirik karena kesulitan sertifikasi yang belum bisa dipenuhi perusahaan pengolahan maupun produsen di Indonesia," jelas Haris saat dihubungi SUAR, Senin (25/08/2025).
Haris menjelaskan, dari segi permintaan, pasar Timur Tengah memang tidak lebih besar dibandingkan dengan pangsa perikanan konvensional seperti Jepang dan Amerika Serikat. Namun, pihaknya siap menyambut baik kabar ini.
Menurut pengusaha yang juga menjabat Ketua Komisi III Pengembangan Usaha Masyarakat Akuakultur Indonesia (MAI), dari segi kapasitas produksi maupun kualitas produk, industri produk olahan perikanan Indonesia sudah lebih dari siap dan sudah sangat berkembang, sehingga memiliki nilai tambah yang tinggi.
"Sebagai contoh, produk olahan udang Indonesia itu sudah sangat maju. Kita tidak lagi mengirim udang head on [udang dengan kepala utuh] atau udang kupas. Udang yang kita kirim sudah siap masak, sudah berbentuk ebi furai beku, kerupuk udang, dan sebagainya. Pasar di sana meminta produk olahan jenis apa pun, pada dasarnya industri perikanan kita sudah sangat bisa memenuhi," ujarnya dengan nada bangga.
Tidak hanya dari segi kapasitas volume ekspor, industri produk olahan perikanan Indonesia juga telah mengantongi sertifikasi sanitari dan fitosanitari dari negara-negara yang terkenal mempunyai standar mutu sangat ketat untuk menerima produk ekspor, seperti Jepang dan Amerika Serikat.
"Untuk memasuki pasar Timur Tengah, mungkin kita butuh melampirkan sertifikasi halal, yang pasti tidak terlalu sulit [didapatkan] karena rata-rata produk perikanan adalah produk halal yang tidak melewati proses penyembelihan dan sebagainya," ungkap Haris.
Mayoritas pelaku ekspor, menurut Haris, kurang telaten untuk berusaha keluar dari zona nyaman dan merambah pangsa pasar yang selama ini dikesampingkan.
Terlepas dari kesiapan kapasitas dan keberhasilan industri produk olahan perikanan Indonesia untuk memasuki pasar Timur Tengah, Haris mengakui terdapat satu tantangan besar. Mayoritas pelaku ekspor, menurutnya, kurang telaten untuk berusaha keluar dari zona nyaman dan merambah pangsa pasar yang selama ini dikesampingkan.
Padahal, lebih dari sekadar urusan diversifikasi, pembukaan segmen pasar baru dapat menjadi mitigasi dan antisipasi.
"Kalau hanya mengandalkan dari existing market, ketika ada apa-apa, kita bisa tergopoh-gopoh. Mari lebih sering mengadakan dan menghadiri pameran, expo seafood, di kawasan itu, dan bisa lebih aktif lagi ke depannya, agar kita tidak lagi ketergantungan pada market Jepang dan Amerika," ungkap Haris.

Menanggapi hal itu, Kepala Badan Pengendalian dan Pengawasan Mutu Hasil Kelautan dan Perikanan KKP Ishartini mengapresiasi antusiasme produsen perikanan untuk memasuki pangsa Timur Tengah. Dari sisi pemerintah, KKP berkomitmen untuk memberikan dukungan dalam bentuk pembinaan kepada unit-unit pengolahan ikan lain untuk mengikuti jejak UPI-UPI yang telah berhasil.
Menepis kekhawatiran tentang permintaan pasar Timur Tengah yang tidak terlalu besar, Ishartini menekankan besarnya potensi permintaan tahunan, khususnya untuk memenuhi kebutuhan konsumsi jemaah haji dan umrah di Arab Saudi.
"Peluangnya bukan main, dan itu sudah dilihat oleh negara kompetitor kita, seperti Vietnam," ujar Ishartini saat dihubungi SUAR, Selasa (26/08).
Sekalipun membanggakan, persetujuan SFDA tersebut bukan merupakan titik akhir. KKP saat ini sedang bekerja keras agar tidak saja produk olahan dari perikanan tangkap yang memperoleh izin ekspor, tapi juga produk olahan dari perikanan budidaya. Salah satu sebabnya, volume permintaan produk olahan dari perikanan budidaya masih di bawah permintaan produk perikanan tangkap.
Tidak berjuang sendiri, Direktorat Jenderal Penguatan Daya Saing di KKP terus berkoordinasi dengan Kementerian Perdagangan dan KBRI Jeddah untuk mempersiapkan jika asosiasi produsen membutuhkan fasilitas pemerintah untuk mempromosikan produk-produk Indonesia di Timur Tengah lewat pameran.
"Kita tetap akan usahakan agar semua produk olahan perikanan Indonesia bisa masuk, karena peluang permintaan besar dari jemaah haji dan umrah, termasuk jemaah haji asal Indonesia. Sehingga, kita bisa memenuhi kebutuhan konsumsi dan ketersediaan pangan mereka dengan olahan ikan dari tanah air," tutupnya.
Standar mutu ekspor
Selain ketelatenan, kemampuan industri skala kecil dan menengah dalam memenuhi standar mutu ekspor yang berbeda dengan kemampuan industri perikanan berskala besar juga menjadi tantangan dalam upaya memperluas pangsa ekspor ke Timur Tengah.
Pengajar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Padjadjaran Rusky Intan menilai, industri perikanan skala kecil dan menengah yang mempunyai potensi memperluas pangsa mereka dan mampu go international masih bergelut untuk mampu memenuhi berbagai standar mutu ini.
"Jangankan untuk ekspor yang sertifikasinya beragam dan cukup mahal untuk memenuhinya (HACCP dan Health Certificate). [Kemampuan industri skala kecil dan menengah] untuk memenuhi standar mutu nasional saja belum semua bisa," ujar Rusky dalam pesan tertulis kepada SUAR, Selasa (26/08).
Lebih lanjut, menurut Rusky, pelaku industri perikanan skala kecil dan menengah masih sangat membutuhkan edukasi teknis untuk mengetahui jenis dan takaran tepat bahan-bahan tambahan pangan yang boleh digunakan dalam mempersiapkan produk yang akan mereka ekspor.
Selain itu, terdapat pula tantangan konsistensi bahan baku dari tingkat kesegaran dan ukuran. Tak lupa, tantangan berupa prasyarat cold supply chain yang mengharuskan produk-produk olahan ikan dikirimkan dalam temperatur rendah secara konstan untuk mencegah kerusakan sampai ke tempat tujuan.
"Sepengetahuan saya, peraturan ekspor itu berubah-ubah dan semakin ketat. Tantangan untuk UPI, terutama yang skala kecil dan menengah adalah memenuhi persyaratan-persyaratan ekspor tersebut, dan untuk itu bukan hanya butuh modal, tetapi juga kapasitas sumber daya manusia," kata Rusky.
"Peraturan ekspor itu berubah-ubah dan semakin ketat. Tantangan untuk UPI, terutama yang skala kecil dan menengah, adalah memenuhi persyaratan-persyaratan ekspor tersebut, dan untuk itu bukan hanya butuh modal, tetapi juga kapasitas sumber daya manusia," kata Rusky.
Berdasarkan data Kemendag, pada periode Januari—Juni 2025, total perdagangan kedua negara mencapai US$ 3,28 miliar. Ekspor Indonesia ke Arab Saudi pada periode tersebut sebesar US$ 1,70 miliar atau meningkat 49,53% dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya yang sebesar US$ 1,14 miliar.
Sementara, impor Indonesia dari Arab Saudi tercatat sebesar US$ 1,58 miliar. Dengan demikian, Indonesia berhasil mencatatkan surplus sebesar US$ 128,00 juta terhadap Arab Saudi.
Pada periode Januari—Juni 2025 tersebut, ekspor makanan olahan Indonesia ke Arab Saudi tercatat sebesar US$ 134 juta, tumbuh 4,03% dibandingkan dengan tahun sebelumnya dan menjadi salah satu pendorong utama peningkatan nilai ekspor.