Di tengah cepatnya perubahan iklim dan upaya mendorong pembiayaan hijau, Indonesia bisa belajar model pembiayaan hijau global ala perusahaan sovereign wealth fund (SWF) asal Singapura Temasek Holding dan SWF asal Norwegia North Fund. Keduanya fokus membiayai proyek pembiayaan hijau demi mencapai emisi nol.
Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan, Indonesia bisa meniru contoh konkret model pembiayaan hijau yang berhasil, seperti Temasek Holding dari Singapura dan North Fund dari Norwegia.
Ia menjelaskan, Temasek memiliki lima aturan kebijakan yang ketat terkait pendanaan, termasuk larangan masuk ke sektor energi fosil dan memastikan setiap entitas yang dibiayai mencapai ambisi net zero 2050. Mereka tidak hanya mendanai hanya ke perbankan saja tetapi juga masuk untuk membuka pembiayaan untuk industri dan aktivitas berbasis proyek.
Untuk memastikan pembiayaan tepat sasaran dan efektif, mereka pun melacak arah pendanaannya.
“Jadi Temasek itu memastikan bahwa setiap individu (sales order internal) yang dibiayai oleh Temasek ada penyertaan modal langsung. Itu mau dia bank, mau dia sekali lagi adalah yang melakukan project base, industri, dan lain-lain, mencapai tidak pada 2050 net zeo emission?" ujar Bhima pada Diskusi publik Menghijaukan Portofolio: Peluang dan Tantangan Perbankan Indonesia di Era Transisi Energi, Jakarta (31/7/2025).

North Fund dari Norwegia juga menjadi inspirasi. Dana institusi ini berasal dari dividen pengelolaan migas, dikenal karena transparansinya yang tinggi. Masyarakat umum dapat mengakses informasi detail mengenai portofolio investasi, daftar proyek, hingga tingkat pengembalian.
Adopsi model pembiayaan hijau yang transparan dan berbasis sains, seperti yang telah sukses diterapkan oleh Temasek dan North Fund, menjadi kunci untuk mendorong ekonomi hijau dan mencapai target nol emisi bersih Indonesia.
Masih dalam diskusi yang sama, Managing Director Energi Shift Institute Putra Adhiguna menggarisbawahi, pergeseran modal secara global menuju energi terbarukan sudah sangat jelas. Meskipun jalan menuju transisi akan bergelombang, arahnya tidak dapat disangkal.
Ia menyoroti bahwa investasi transisi energi global didominasi oleh sektor-sektor yang sudah matang seperti energi terbarukan (surya dan angin) dan kendaraan listrik, sementara diskusi di Indonesia masih banyak berkutat pada "sektor-sektor berkembang" — seperti penangkapan karbon, hidrogen, dan nuklir, yang skalanya jauh lebih kecil secara global.
"Kita perlu mengawal alokasi dana bank-bank kita. Jangan sampai mereka menuangkan uangnya ke transisi energi tapi yang ke kanan [sektor emerging]," ujarnya.
Ia juga menyoroti harga listrik di Indonesia yang masih sangat bergantung pada batubara dibandingkan negara lain yang sudah beralih ke surya atau angin sebagai sumber energi termurah. "Kita itu punya proteksi-proteksi terhadap pasar batubara, kenapa kita itu sangat batubara heavy sekali," tambahnya.
Meskipun Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) terbaru terlihat lebih hijau, Putra menekankan pentingnya melihat realisasi investasi. "Sudah tujuh sampai delapan tahun terakhir, investasi energi baru terbarukan itu flat dan declining di Indonesia," sesalnya.
Ia mendesak para pemangku kepentingan untuk fokus pada rencana jangka pendek, "Dua belas bulan ke depan Bapak mau ngapain?"
Putra juga menyoroti keuntungan besar yang diperoleh sektor batubara di Indonesia namun hanya menyumbang 3,6% dari PDB. Dengan tingkat utang yang rendah, perusahaan-perusahaan batubara ini memiliki banyak uang yang seharusnya dapat dialokasikan untuk diversifikasi atau transisi energi yang lebih baik.
"Kita harus menciptakan sebuah situasi di mana Indonesia mendorong mereka (perusahaan batu bara) juga bertransisi," tegasnya.
Pasar karbon
Pakar dan praktisi karbon Paul Butar Butar menyoroti isu kualitas karbon kredit yang menjadi perhatian global. Ia merujuk pada laporan Guardian yang menuduh adanya "overestimated" dalam klaim penurunan emisi beberapa proyek, yang menyebabkan penurunan signifikan dalam permintaan karbon kredit, terutama untuk proyek-proyek lama.
Pembeli kini mencari "high quality carbon credit" yang dihasilkan dari proses yang sangat terperinci dan mempertimbangkan aspek sosial.

Salah satu inisiatif baik yang berhasil menjawab tuntutan ini adalah penerapan Gold Standard. Standar ini, menurutnya, memastikan bahwa sebuah proyek karbon dibangun dengan melibatkan masyarakat secara penuh dan transparan.
"Kalau ada perusahaan atau ada proyek karbon yang mendapatkan gold standard, itu memastikan bahwa proses untuk mendapatkan proyek karbon itu sudah benar-benar high quality mempertimbangkan aspek masyarakat. Hal ini juga berdampak pada harga karbon kredit yang cenderung premium,” ujarnya.