Kementerian Keuangan menjabarkan sejumlah kiat memaksimalkan tiga jalur penerimaan negara, yakni bea cukai, pajak, dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dalam APBN 2026. Gerak cepat menyisir dan menambal celah yang masih ada, membuka alternatif, hingga digitalisasi akan ditempuh bahu-membahu untuk membiayai senarai program belanja besar sambil menjaga defisit tetap terkendali.
Penjelasan tersebut dikemukakan Direktur Penerimaan dan Perencanaan Strategis Bea dan Cukai Muhammad Aflah Fahrobi, Staf Ahli Bidang PNBP Mochamad Agus Rofiudin, dan Staf Ahli Bidang Kepatuhan Pajak Yon Arsal dalam sesi pemaparan hari kedua Media Gathering "Kupas Tuntas APBN 2026" di Bogor, Jawa Barat, Jumat (10/10/2025).
Berhasil merealisasikan pendapatan bea dan cukai hingga Rp194,9 triliun atau 64,6% target APBN 2025 sebesar Rp301,6 triliun pada bulan Agustus, pemerintah menargetkan penerimaan kepabeanan dan cukai naik 11,4% dalam APBN 2026 dengan nilai target Rp336 triliun. Secara rinci, target bea masuk mencapai Rp49,9 triliun, target bea keluar Rp42,6 triliun, dan target cukai Rp243,5 triliun.
Fahrobi mengakui, untuk mengejar target penerimaan yang bertambah itu, pihaknya menghadapi sejumlah tantangan eksternal maupun internal, mulai dari dinamika perekonomian global yang berdampak langsung terhadap perdagangan internasional hingga keterbatasan sumber daya dan peraturan yang belum harmonis.
"Masih banyaknya praktik underground economy, penjualan rokok ilegal, dan downtrading menjadi tantangan eksternal. Meski demikian, saat ini Indonesia telah menggunakan fasilitas free trade agreement hingga 37,45% nilai impor tahunan untuk mengatasi dampak kebijakan tarif yang saat ini masih dinegosiasikan," cetusnya.
Tak gentar ditantang keadaan, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai telah menyiapkan sejumlah strategi. Dari segi fasilitas, peningkatan ekspektasi layanan kepabeanan di khawasan ekonomi khusus dan peningkatan ekspor UMKM menjadi fokus untuk menarik investasi dan meningkatkan efektivitas.
Dari sisi sumber, Bea Cukai akan mengintensifikasi cukai harga tembakau (CHT) tanpa menaikkan tarif, yakni dengan menyesuaikan harga jual eceran. Langkah ini diambil karena meski pendapatan CHT sangat menentukan besaran penerimaan cukai, masih ada ruang pungutan lain yang dapat menjadi alternatif.
Pada sisi pengawasan, komitmen revitalisasi patroli laut, pelabuhan, perbatasan, dan bandara utama akan menjadi ujung tombak mencegah dan menangani penyelundupan dan kejahatan lintas batas negara, termasuk peredaran narkotika, psikotropika, dan prekursor (NPP).
"Saat ini, kami sedang mempersiapkan juga cukai minuman berpemanis dalam kemasan. Masih dalam kajian bersama, dan akan kita lihat perkembangannya dalam waktu dekat," pungkas Fahrobi.
Lebih tahan guncangan
Selain penerimaan bea cukai, kiat mengoptimalkan PNBP menjadi salah satu penekanan penting dalam pemaparan. Pasalnya, potensi PNBP yang mulai diatur dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2018 terbukti konkret. Pada tahun 2015, PNBP tercatat sebesar Rp255 triliun. Kini, di tahun 2025, target PNBP mencapai Rp477,2 triliun, hampir 2 kali lipat.
"Momentum ini kita manfaatkan untuk mentransformasikan PNBP, meninjau kembali potensinya yang semakin besar. Saat ini, Peraturan Pemerintah PNBP sudah selesai disatukan sebagai omnibus dan sedang dalam proses diturunkan menjadi peraturan menteri keuangan," jelas Staf Ahli Bidang PNBP Mochamad Agus Rofiudin di hadapan wartawan.
Read also:

Sifat PNBP sebagai sebuah pungutan yang terutama berasal dari minyak mentah, gas alam, batubara, mineral, kehutanan, perikanan, panas bumi, dan sawit menjadi tantangan karena besaran penerimaan sangat tergantung volatilitas harga komoditas di pasar global.
Rofiudin mengilustrasikan, setiap 1 Dolar Amerika Serikat yang turun dari harga minyak mentah dunia dapat mengurangi PNBP hingga Rp1,6 triliun. Demikian juga berlaku dengan komoditas lain yang membuat asumsi makro dan target PNBP harus disesuaikan seiring perubahan harga di pasar global.
"Seperti sekarang ini permintaan batubara global turun karena shifting energi hijau dan tuntutan batubara berkualitas tinggi, sedangkan hasil eksplorasi batubara Indonesia rata-rata memiliki kualitas rendah. Tetapi PNBP bisa juga naik tajam seperti saat boom komoditas ketika awal-awal Perang Rusia-Ukraina tahun 2022," ujarnya.
Memfokuskan PNBP pada sektor-sektor yang lebih tahan guncangan menjadi siasat pemerintah mengejar target PNBP tahun depan sebesar Rp459,2 triliun di tengah fluktuasi harga komoditas. Salah satunya adalah PNBP di sektor perikanan yang relatif rendah, terutama karena kapal-kapal bertonase besar yang menjadi objek PNBP masih sedikit.
Selain perikanan, pemerintah akan mengejar penerimaan dari layanan imigrasi premium untuk pembuatan visa eksekutif, lelang tambang bauksit hasil sitaan dan lewat batas IUP, denda lingkungan hidup, serta mengaktifkan automatic blocking system yang memaksimalkan peran piutang PNBP di lapangan.
"Digitalisasi akan mendorong pelayanan yang lebih sederhana, saling terhubung, mudah, dan efisien sehingga pengawasan lebih terintegrasi dan kebijakan penerimaan dapat dirumuskan dengan lebih bijak," pungkas Rofiudin.
Tak perlu "pesta rakyat"
Kinerja penerimaan pajak sebagai sektor penerimaan terbesar tidak lantas berpangku tangan. Pasalnya, meski penerimaan pajak meningkat stabil sejak 2022 dengan PPN dan PPnBM sebagai pendorong utama, target Rp2.357,7 triliun yang bertumbuh 13,52% dalam APBN 2026 tidak semudah membalikkan telapak tangan.
"Tax ratio menjadi masalah harus kita akui tidak canggih-canggih amat, karena selama ini masih 10-an persen. Realisasi tahun ini 10,08% sampai 10,24%. Memang, dalam perbandingan tidak bisa an sich, tetapi juga harus memperhatikan jenis pajak dan apa saja yang masuk di hitungan itu," ungkap Staf Ahli Bidang Kepatuhan Pajak Yon Arsal.
Untuk dapat mencapai titik puncak tax ratio 15% untuk sebuah negara, Indonesia saat ini membutuhkan kenaikan signifikan, dengan upaya yang tidak mudah mengingat ketidakpastian harga komoditas dan pergeseran struktur pajak dari konvensional ke digital belum terakomodasi.
Arsal menekankan, dengan jumlah wajib pajak saat ini mencapai 70 juta atau seperempat penduduk, peningkatan kepatuhan dengan kemudahan akses digital menjadi kuncinya. Dari 150 layanan Direktorat Jenderal Pajak, dia menyatakan 60 layanan telah berbasis digital, dengan tata cara pembayaran SPT e-filing telah mencapai 98%.
"Click is the key. Kita usahakan Wajib Pajak bisa mengakses semua layanan di situs, tetapi call center dan pelayanan pajak di counter juga harus ada. Hanya sekarang counter sudah lebih sedikit, berbeda dengan 5-6 tahun lalu ketika bulan-bulan sekarang ini, kantor pajak sudah seperti mau pesta rakyat. Sekarang sudah lebih sepi," tukas Arsal.
Dengan mendekatnya tanggal pelaporan SPT, Arsal mengumumkan bahwa infrastruktur Coretax sudah siap digunakan secara massal untuk pelaporan SPT e-filing 100 persen di akhir tahun ini. Harapannya, dengan kemudahan itu, penerimaan pajak akan maksimal dan dampak bagi pertumbuhan ekonomi akan terasa.
Transparan, jaga kepercayaan
Berbagai kiat pemerintah untuk mengejar penerimaan negara sekilas tampak sangat agresif dan menutup semua celah. Bagi dunia usaha, kolaborasi antarotoritas menjadi kunci memastikan pembayaran pajak dan bea tidak terasa memberatkan sampai perlu dihindari.
Ketua Komite Analis Kebijakan Ekonomi Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Ajib Hamdani menilai, sinergi positif Direktorat Jenderal Pajak, Wajib Pajak, dan konsultan pajak akan membangun kerelaan pengusaha untuk berkontribusi secara sadar dan bangga terhadap penerimaan negara, alih-alih membuat dunia usaha menghindar.
"Di tengah perekonomian yang tidak pasti, otoritas pajak yang menagih secara represif berpotensi menurunkan kepatuhan serta menimbulkan resistansi Wajib Pajak dalam melaksanakan kewajibannya. Ujung-ujungnya, usaha menambah penerimaan negara bisa mirip berburu di kebun binatang," jelas Ajib saat dihubungi SUAR, Jumat (10/10/2025).
Dia mengingatkan, saat ini, 80% penerimaan negara dari segi pajak terutama berasal dari kegiatan usaha, dengan 28% pajak dihasilkan dari industru pengolahan. Kolaborasi optimal pemerintah dan dunia usaha dengan komunikasi terbuka dan transparan akan menumbuhkan rasa percaya antar pihak yang berkepentingan.
"Pendekatan yang bersifat kolaboratif, persuasif, bijaksana, dan adil akan lebih mendorong peningkatan kepatuhan sukarela," pungkasnya.
Berbagi pandangan dengan Ajib, Direktur Konsultan Pajak DDTC Indonesia Bawono Kristiaji memahami bahwa strategi optimasi penerimaan merupakan keniscayaan, mengingat ketersediaan dana pembangunan hanya mungkin jika instrumen fiskal seperti pajak dapat beroperasi secara maksimal.
"Ada baiknya agenda tersebut diimbangi strategi meningkatkan kepatuhan secara sukrela. Upaya meningkatkan trust, akuntabilitas, transparansi, edukasi pajak, dan meningkatkan kepastian dalam sistem pajak dapat dilakukan untuk mencapai tujuan itu," tukas Bawono di Jakarta, Sabtu (11/10/2025).