Anticipate New US Tariffs on Pharmaceuticals and Furniture

US President Donald Trump announced that, starting October 1, imports of pharmaceutical products to the US will be subject to a 100% tariff and household products and furniture to 50%.

Anticipate New US Tariffs on Pharmaceuticals and Furniture
Foto: Timelab / Unsplash

Usai memutuskan tarif perdagangan kepada puluhan negara dunia pada Agustus lalu, Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump kembali menetapkan tarif baru impor per produk. Mulai 1 Oktober, impor produk farmasi ke AS akan dikenai tarif 100% dan produk rumah tangga serta furnitur sebesar 50%.

Kebijakan tarif baru yang diumumkan Presiden Donald Trump melalui akun Truth Social pribadinya ini perlu diantisipasi oleh pelaku industri terkait.

“Mulai 1 Oktober, 2025, kami akan mengenakan tarif 100% untuk setiap produk farmasi bermerek atau yang dipatenkan, kecuali jika perusahaan sedang membangun pabrik farmasi di Amerika,” tulis Trump di akun Truth Social miliknya, Kamis (25/9/2025).

Tangkapan layar post Presiden AS Donald Trump di akun Truth Social milik pribadinya.

Selain itu, tarif untuk kabinet dapur dan meja rias kamar mandi juga meningkat sebesar 50%. Adapun furnitur berlapis kain kena tarif 30%.

Trump mengambil langkah ini lantaran banyak produk dari negara lain masuk dalam skala besar ke Amerika Serikat, sementara ia menginginkan masuknya penanaman modal untuk membangun pabrik di AS.

“Kami akan mengenakan tarif 50% untuk semua lemari dapur, meja rias kamar mandi, dan produk terkait, mulai 1 Oktober 2025. Selain itu, kami akan mengenakan tarif 30% untuk furnitur berlapis kain,” lanjut Trump.

Amerika Serikat juga akan mengenakan tarif 25% untuk semua truk berat yang diproduksi di negara lain. Menurut Donald Trump, ini upayanya untuk melindungi produsen truk berat Amerika Serikat dan keamanan nasional.

Dampak tarif

Pengenaan tarif tambahan tersebut tentu berpotensi negatif terhadap kinerja ekspor Indonesia ke Amerika Serikat dalam waktu dekat ini, khususnya di sektor furnitur.

Maka, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta Kamdani menyayangkan eskalasi tarif Amerika Serikat yang masih berlanjut hingga saat ini. Ia menjelaskan, tambahan tarif pada produk furnitur akan menambah tekanan pada industri furnitur Indonesia yang lebih dari 50% ekspornya ditujukan ke Amerika Serikat.

“Padahal, saat ini pun sektor furnitur nasional sudah terkena dampak karena penurunan demand dari AS sejak diperkenalkannya tarif resiprokal. Jadi tambahan tarif ini tentu akan mengganggu kinerja sektor ke depannya,” jelas Shinta.

Pihak Apindo saat ini juga tengah merancang strategi untuk menghadapi tarif baru tersebut, termasuk berkoordinasi dengan pemerintah untuk melihat sejauh mana Indonesia bisa memperoleh pengecualian dari aturan eskalasi tarif yang berlaku.

Selain itu, para pelaku usaha juga akan berkoordinasi dengan pembeli di Amerika Serikat untuk menciptakan solusi dari kebijakan yang ada.

“Kami juga akan melihat sejauh mana opsi-opsi seperti near-shoring atau melakukan perakitan atau finishing di AS atau pasar-pasar terdekat AS dapat menjadi opsi untuk pengenaan tarif yang lebih rendah bagi produk furnitur Indonesia yang diekspor ke AS,” lanjutnya.

Shinta pun menegaskan bahwa pemerintah perlu mencari jalan keluar dari kebijakan tersebut dalam negosiasi bilateral. Sehingga, eksportir Indonesia bisa terus mengekspor produknya ke pasar Amerika Serikat dengan tarif yang pasti dan tidak terus bertambah.

“Dukungan pemerintah dalam hal diplomasi ekonomi dan stimulus-stimulus industri terdampak jauh lebih diperlukan dalam jangka pendek untuk memitigasi efek negatif tarif ini kepada industri nasional,” tutupnya.

Senada dengan Shinta, Ketua Umum Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia (HIMKI) Abdul Sobur melihat kebijakan tarif tambahan tersebut tidak sekadar tantangan berat bagi industri furnitur Indonesia yang berpotensi mengguncang posisi di pasar Amerika Serikat, tetapi juga sebuah panggilan untuk melakukan transformasi secara strategis.

“Kami sedang menggalakkan upaya mitigasi seperti diversifikasi pasar dan pengembangan produk bernilai tambah. Kami juga mendorong dialog aktif dengan pemerintah agar ada diplomasi perdagangan yang kuat demi mendapatkan pengecualian atau penundaan tarif ini,” ucap Abdul.

Pihak HIMKI juga terus mendorong para pelaku usaha untuk meningkatkan efisiensi dan inovasi desain produknya agar tetap kompetitif.

Abdul menjelaskan, Amerika Serikat merupakan pasar ekspor terbesar untuk furnitur Indonesia. Meskipun, secara nominal pangsa pasar Indonesia di sektor furnitur Amerika Serikat relatif kecil, yakni kurang dari 5% untuk berbagai kategori produk furnitur yang terdampak tarif.

Ia juga menyebut penurunan pangsa pasar telah terjadi sejak 2022 lalu akibat persaingan ketat dari Vietnam, Meksiko, dan juga China yang memiliki daya saing biaya dan kualitas lebih baik. Kondisi tersebut berpotensi menurunkan volume ekspor, menyebabkan tekanan besar untuk para pelaku usaha khususnya usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) padat karya yang memiliki margin tipis.

“Artinya, ketergantungan pada AS masih tinggi tapi posisi kita sudah terdesak, dan tarif baru ini bisa memperburuk kondisi tersebut,” jelasnya.

Sejumlah upaya juga telah dilakukan oleh HIMKI setelah adanya kabar peningkatan tarif tersebut, seperti diversifikasi pasar, restrukturisasi produk, hingga penggunaan e-commerce untuk business to business dan business to consumer.

HIMKI selanjutnya akan berupaya untuk mengurangi ketergantungan pada AS dengan memperluas ekspor ke Eropa, Australia, Timur Tengah, India, dan juga Afrika. Selain itu, akan menyiapkan produk dalam bentuk semi knock-down atau flat pack untuk kemudian dirakit di negara-negara yang memiliki perjanjian dagang dengan AS seperti Meksiko untuk menghindari tarif tinggi.

Lebih lanjut, HIMKI melihat penambahan tarif ini merupakan momentum yang pas untuk meningkatkan kualitas dan memperkuat branding produk berkelanjutan dan desain khas Indonesia yang memiliki nilai keunikan.

“Jika strategi transformasi dan diversifikasi berjalan baik, daya saing Indonesia bisa pulih dan naik kelas dari segmen volume ke segmen premium,” katanya.

Indonesia, menurut Abdul, harus bisa memanfaatkan peluang ini untuk mempercepat peralihan industri, mengoptimalisasi kerjasama multilateral dan bilateral, memperkuat ekosistem industri furnitur Indonesia yang berkelanjutan, melakukan diversifikasi pasar ekspor secara agresif.

“Indonesia memiliki potensi untuk tidak hanya bertahan menghadapi tarif proteksionis, tetapi juga menjadi pemain global yang tangguh, berdaya saing tinggi, dan berkelanjutan di industri furnitur dunia,” tutupnya.

Chief Economist Permata Bank Josua Pardede mengatakan, kebijakan tersebut akan memberikan dampak terhadap kenaikan harga di pasar AS pada kelompok barang yang dikenakan tarif baru.

“Ketidakpastian desain kebijakan dan masa transisi yang singkat berisiko menunda investasi dan kontrak dagang baru, sehingga secara makro cenderung bersifat menekan pertumbuhan,” tambahnya.

Kebijakan baru tersebut dikatakan dapat meningkatkan probabilitas aksi balasan dari negara lain atau penyesuaian kebijakan, meskipun sebagian mitra dari Amerika Serikat – seperti Uni Eropa dan Jepang – memilih jalur negosiasi terlebih dahulu.

Dalam jangka pendek, kebijakan tersebut berpotensi besar dapat melemahkan pesanan baru di beberapa bulan mendatang, lantaran para pembeli di Amerika Serikat akan menunda pembelian atau mencari pemasok alternatif lain yang memiliki tarif lebih ringan.

“Untuk obat bermerek, ekspor Indonesia ke AS relatif kecil, sehingga efek langsungnya sangat terbatas. Untuk truk berat, ekspor Indonesia ke AS juga tidak signifikan,” ucap Josua.

Sektor yang paling terdampak akibat kebijakan tersebut merupakan furnitur kayu dan berlapis kain. Para pelaku usaha seperti yang berada di kawasan Jepara, Cirebon, Sukoharjo, dan Pasuruan berpotensi menghadapi penundaan pemesanan, tekanan harga, dan permintaan desain ulang.

“Paparan terbesar ada pada produk berlapis kain dan kabinet dapur kayu. Data perdagangan menunjukkan AS mengimpor lebih dari US$ 60 juta–US$ 70 juta per tahun kabinet kayu dari Indonesia sebelum tarif baru, sehingga pos ini paling sensitif terhadap kenaikan bea masuk 50%,” ungkapnya.

Sementara itu di sektor farmasi, dampak langsungnya terhadap Indonesia dinilai kecil. Namun, perusahaan obat asing dipaksa mempercepat pembangunan pabrik di Amerika Serikat, yang dapat menggeser jalur pasok bahan baku dan kontrak manufaktur, sehingga pabrik farmasi di Indonesia perlu bersiap menghadapi perubahan pemasok dan bahkan standar mutu.

“Truk berat, ekspor Indonesia ke AS untuk kategori ini tidak berarti, sehingga dampak langsung kecil. Di hilir, sebagian pemasok komponen otomotif mungkin terdampak jika merek global menata ulang rantai pasok ke pabrik AS,” sambungnya.

Diperlukan kerjasama yang kuat di Indonesia yang melibatkan para pelaku usaha dan pemerintah dalam mengatasi kebijakan tersebut dan meningkatkan daya saing Indonesia. Pemerintah Indonesia juga telah merancang sejumlah upaya dan berkoordinasi dengan seluruh pihak terkait.

Siapkan mitigasi

Haryo Limanseto, Juru Bicara Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, mengatakan pihaknya sudah menerima informasi terkait kebijakan tersebut yang akan segera berlaku. Upaya mitigasi lebih lanjut juga sedang diupayakan.

“Penerapan kebijakan tarif sektotal baru tersebut akan memberikan pengaruh terhadap produk semua negara termasuk Indonesia. Namun dampaknya sedang dilakukan mitigasi lebih lanjut. Pemerintah saat ini masih melakukan negosiasi intensif dengan pemerintah AS terkait tarif resiprokal. Indonesia mengusulkan tarif lanjutan untuk produk-produk yang tidak diproduksi secara alami di AS,” kata Haryo.