Mediating the Aspirations of Workers and Businesses in the Manpower Law Revision Plan

The working committee meeting on the Manpower Bill of Commission IX of the House of Representatives on Tuesday (23/9/2025) opened the opportunity to revise the Law on Manpower. What are the aspirations of laborers and employers?

Mediating the Aspirations of Workers and Businesses in the Manpower Law Revision Plan
Foto oleh Amina Atar / Unsplash
Table of Contents

Rapat panitia kerja RUU Ketenagakerjaan Komisi IX DPR, Selasa (23/9/2025), membuka peluang revisi Undang-Undang terkait Ketenagakerjaan. Bagaimana aspirasi kalangan buruh dan pengusaha?

Kesejahteraan dan perlindungan tenaga kerja kembali menjadi pembahasan usai Komisi IX DPR RI menggelar rapat kerja dengan 22 serikat pekerja di Jakarta, Selasa lalu. Agenda rapat tersebut adalah menjaring aspirasi pekerja untuk persiapan perubahan ketiga atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Karenanya, regulasi perlindungan ketenagakerjaan bukan hanya mencerminkan terpenuhinya kesejahteraan pekerja, melainkan juga kepentingan dunia usaha.

Namun, lebih dari sekadar mengakomodasi kepentingan dua pihak, transparansi dan akuntabilitas proses legislasi tetap harus memperhitungkan kesehatan iklim bisnis. Upaya pemenuhan regulasi ketenagakerjaan tidak mengurangi daya saing bisnis di tengah sengitnya persaingan global.

Perumusan undang-undang ketenagakerjaan baru tersebut merupakan tindak lanjut keputusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan 21 norma dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja inkonstitusional, dan memerintahkan Presiden dan DPR membentuk undang-undang ketenagakerjaan baru selambat-lambatnya dua tahun sejak putusan ditetapkan pada 31 Oktober 2024.

Sejumlah agenda yang dibahas dalam rapat kerja tersebut mencakup penghitungan upah minimum berbasis kebutuhan hidup layak (KHL) yang mencakup sandang, pangan, papan, rekreasi, dan jaminan sosial hari tua. Kenaikan upah bukan hanya berdasarkan perhitungan inflasi dan pertumbuhan ekonomi.

Selain itu, serikat pekerja juga menyuarakan penetapan upah minimum sektoral; pengangkatan pegawai kontrak jangka pendek menjadi pegawai dengan perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT) secara otomatis setelah dua tahun bekerja; perlindungan pekerja rentan; serta pengawasan ketenagakerjaan.

Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal menyatakan, kebutuhan membentuk undang-undang ketenagakerjaan baru tidak hanya didasari perintah MK, melainkan juga mengikuti reformasi hukum perburuhan (labour law reform) yang saat ini sedang berlangsung di seluruh dunia. Meski demikian, Iqbal tidak menampik bahwa KSPI menolak hadir dalam rapat kemarin.

"Kami menolak karena banyak sekali serikat yang diundang, apa yang mau didengar? Seharusnya, serikat yang memiliki konsep dan mempersiapkan gagasan saja yang datang dan diundang ke DPR, sehingga diskusinya lebih tajam," jelas Iqbal dalam konferensi pers Partai Buruh di Jakarta, Rabu (24/9/2025).

Sebagai gantinya, KSPI telah mengirimkan surat untuk memohon audiensi dengan DPR pada hari Selasa, 30 September 2025 yang akan datang. Iqbal menyatakan, audiensi tersebut akan dilaksanakan bersamaan dengan aksi buruh besar-besaran di seluruh Indonesia menyuarakan percepatan pengesahan undang-undang ketenagakerjaan yang baru.

"Upah minimum harus ada perbedaan sektoral antar industri karena bobot added value antara industri tekstil, otomotif, dan pertambangan berbeda. Selain itu, seturut revisi Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021, kami menuntut penghapusan pekerja alih daya (outsourcing)," tegasnya.

Tidak hanya menuntut, KSPI juga mengajak pekerja untuk mendukung perubahan kebijakan fiskal yang dicanangkan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa, mulai dari penolakan tax amnesty hingga reformasi ambang bawah pendapatan tidak kena pajak (PTKP) dari Rp 4.500.000 menjadi Rp 7.500.000 per bulan.

"Kalau batas PTKP naik, buruh jadi bisa punya simpanan. Dari simpanan itu, kami bisa belanja karena daya beli naik. Akibatnya, konsumsi rumah tangga naik, ekonomi tumbuh, lapangan kerja terbuka, dan tidak ada PHK. Itu logika sederhana, dan Menteri Purbaya sudah menerimanya," pungkas Iqbal.

Suara legislatif

Wakil Ketua Komisi IX DPR RI Nihayatul Wafiroh menegaskan pentingnya aspek perlindungan dalam revisi undang-undang terkait ketenagakerjaan. Hal itu mengingat bahwa DPR pernah mengesahkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia. Sehingga, tidak hanya pekerja migran, pekerja di dalam negeri juga harus mendapatkan aspek perlindungan yang diatur dalam revisi UU tersebut.

“Kalau nanti hasil review ini ternyata lebih dari 80% yang diubah, tentu akan menjadi undang-undang baru. Saya sepakat jika namanya menjadi Undang-Undang Perlindungan dan Kesejahteraan Pekerja, karena kata 'perlindungan' ini tepat dan harus terus kita perjuangkan,” ujar Nihayatul dalam rapat Panja RUU Ketenagakerjaan Komisi IX DPR RI dengan organisasi pekerja/buruh di Indonesia Selasa.

Ia juga menyoroti pentingnya penegakan hukum, khususnya terkait pendaftaran pekerja dalam program BPJS Ketenagakerjaan. Menurutnya, banyak perusahaan yang tidak mendaftarkan seluruh pegawainya, sehingga pekerja kehilangan hak perlindungan.

Selain itu, Nihayatul menekankan pentingnya perlindungan bagi pekerja muda di sektor baru seperti startup. Meski tidak berada di bawah payung perusahaan formal, para pekerja tersebut tetap berorganisasi dan melakukan advokasi.

Ia juga mendukung penguatan aturan mengenai sistem pengupahan. Menurutnya, aturan tersebut harus dituangkan dalam undang-undang agar memiliki kepastian hukum yang lebih kuat. “Saya sepakat kalau sistem pengupahan diletakkan di undang-undang, agar payung hukumnya lebih kuat dan tidak mudah berubah-ubah,” tambahnya.

Lebih jauh, Nihayatul menekankan bahwa revisi undang-undang ini harus mengakomodasi seluruh pekerja, bukan hanya mereka yang berada di perusahaan formal. Ia menegaskan, pembahasan di Komisi IX dilakukan secara terbuka dan inklusif.

Regulasi harus mencakup

Dunia usaha menyambut reformasi undang-undang ketenagakerjaan sebagai momentum penting bagi Indonesia untuk membangun kembali industrinya. Syaratnya, regulasi yang dibentuk juga harus mencakup kepentingan dunia usaha mendapatkan iklim sehat dan kompetitif.

Wakil Ketua Bidang Ketenagakerjaan Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Subchan Gatot berharap undang-undang ketenagakerjaan baru dapat memenuhi kebutuhan dunia usaha terkait penyederhanaan aturan yang menarik bagi investasi, sehingga pengusaha dapat membuka lapangan pekerjaan dan memberikan kepastian hukum.

Menurut Subchan, upah minimum yang menjadi masalah utama ketenagakerjaan setiap tahun harus diselesaikan dengan tercapainya kesepakatan prinsipiel antara pemerintah, pekerja, dan pengusaha.

"Harus diingat, putusan MK yang mengamanatkan KHL sebagai dasar upah minimum tidak membatalkan Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2023 tentang Pengupahan, sehingga konsistensi perlu dijaga agar lebih mudah dikomunikasikan," ujar Subchan saat dihubungi SUAR, Rabu (24/9).

Subchan mengakui bahwa pekerja saat ini sudah cukup mengetahui dan memahami iklim bisnis yang sedang tidak baik-baik saja.

"Formula pengupahan harus dapat menjawab persoalan disparitas upah antardaerah, dengan tetap menyediakan ruang dialog dalam penetapannya kemudian," jelasnya.

Berbagi pandangan dengan Subchan, Ketua Bidang Ketenagakerjaan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Bob Azam menilai, kebutuhan utama dunia usaha dalam peraturan ketenagakerjaan tetaplah konsistensi peraturan yang menjamin bisnis tetap kompetitif.

"Tidak seperti sekarang Peraturan Pemerintah tentang Pengupahan berganti 4 kali dalam 10 tahun dan undang-undang omnibus law Cipta Kerja diganti setelah dua tahun diundangkan. Kalau seperti ini, bagaimana investor tertarik dengan iklim investasi di Indonesia?" tanya Bob saat dihubungi SUAR, Rabu (24/9/2025)

Untuk mencapai konsistensi itu, para pembuat aturan diharapkan tidak hanya mengakomodasi kepentingan semua pihak di dalam negeri, melainkan juga melakukan perbandingan secara proporsional dan terukur dengan peraturan ketenagakerjaan dari negara lain, dengan tetap mempertimbangkan konteks Indonesia di dalam perumusannya.

"Coba lihat undang-undang ketenagakerjaan di seluruh Asia Tenggara, ada tidak yang se-rigid Indonesia? Mereka lebih fleksibel dan kompetitif, sehingga investasi mudah masuk dan pekerjaan tersedia. Perlindungan terbaik bagi buruh dan pencari kerja adalah menyediakan pekerjaan yang layak bagi mereka," pungkas Bob.

Tetap politis

Upaya legislator dalam menjaring aspirasi dalam proses perumusan undang-undang ketenagakerjaan baru, selain mempertahankan keterwakilan dan keberimbangan kepentingan, juga harus memperhatikan aspek-aspek penting yang menentukan keberhasilan implementasi undang-undang ini.

Pengajar ekonomi ketenagakerjaan, Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (FEB UI), Padang Wicaksono, mengingatkan pentingnya undang-undang ketenagakerjaan baru memuat kewajiban perusahaan untuk melakukan Wajib Lapor Ketenagakerjaan Perusahaan (WLKP) ke Kementerian Ketenagakerjaan setiap tahun.

"Tujuannya untuk mendorong kepatuhan perusahaan dalam melakukan perencanaan, pembinaan, dan pengembangan ketenagakerjaan," tukas Padang kepada SUAR, Rabu (24/9/2025).

Di samping butir implementasi tersebut, Guru Besar Hukum Ketenagakerjaan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Ari Hernawan mengingatkan bahwa bagaimanapun, hukum adalah produk politik yang tidak akan netral atau steril dari pergulatan politik.

"Politik hukum ketenagakerjaan Indonesia masih ingin menciptakan buruh yang murah secara ekonomis dan patuh secara politis. Kebijakan ketenagakerjaan diarahkan pada keamanan lapangan kerja, bukan keamanan kerja," ujar Ari di Yogyakarta, Kamis (28/8/2025).

Dengan mengingat filosofi hukum tersebut, pelaksanaan dan penegakan hukum perlu dicermati sebagai unsur esensial dalam hubungan kerja. Untuk menjadi regulasi yang efektif, semua pihak terlibat harus memahami semangat, tujuan, filosofi, indikator pencapaian, dampak bagi pekerja dan pengusaha, serta penetapan sanksi dan efektivitas kinerja lembaga yang terkait di dalamnya.

"Jangan tergesa-gesa, karena hasilnya adalah kedangkalan-kedangkalan yang justru tidak mempertemukan kepentingan pekerja dan pengusaha dalam satu rumusan," pungkas Ari.

Author

Chris Wibisana
Chris Wibisana

Macroeconomics, Energy, Environment, Finance, Labor and International Reporters