While Hiking Sigit Learns Self-Control, While Diving Finds Serenity

Being at one with nature has taught Bluebird Group Deputy CEO Sigit Priawan Djokosoetono many life experiences.

Table of Contents

Suasana alam yang hijau dengan gunung-gunung yang menjulang tinggi, suara kicauan burung yang hinggap di kerimbunan pohon-pohon besar, jelas menawarkan nuansa yang sangat berbeda dengan suasana kerja yang penuh dengan padatnya agenda. Lalu lintas yang memenuhi jalanan di antara gedung-gedung pencakar langit, asap sisa bahan bakar yang memenuhi udara, bisa menambah tekanan dalam kerja sehari-hari.

Hal inilah yang membuat Sigit Priawan Djokosoetono, Wakil Direktur Utama Bluebird Group, memiliki cara sendiri untuk menjaga keseimbangan hidup. 

Dalam wawancara eksklusif bersama SUAR awal pekan ini, Sigit merasakan bahwa alam merupakan tempatnya melepas penat, menguji nyali, serta belajar cara memahami arti mengendalikan diri dalam hidupnya. 

Pria yang merupakan generasi kedua pemilik taksi nomor satu di Indonesia ini mengaku senang naik sepeda gunung karena menantang sekaligus menguras adrenalin dalam tubuh. 

Menurutnya, bersepeda gunung atau mountain bike (MTB) – khususnya downhill mountain biking – bukan hanya menawarkan tantangan fisik, melainkan juga memberikan kesempatan untuk menyatu dengan alam. 

Bagi Sigit, downhill mountain biking bukan hanya menawarkan tantangan fisik, melainkan juga memberikan kesempatan untuk menyatu dengan alam. 

“Dari kecil saya memang suka kegiatan di luar ruangan. Main sepeda, menjelajah alam, itu lebih menyenangkan ketimbang kegiatan di dalam ruangan,” ujarnya membuka perbincangan. 

Sigit Djokosoetono saat menjalani hobi ekstrim Mountain Bike di tahun 2023 silam (Foto: Dok Pribadi)

Dari sekadar gowes di kawasan Puncak awal tahun 2000-an, hobi itu kemudian berkembang menjadi aktivitas yang kerap ditekuninya. Rute-rute sepeda MTB biasanya melintasi jalur-jalur off-road, seperti hutan, pegunungan, dan perbukitan yang menawarkan pemandangan alam yang menakjubkan.

Awalnya, kata dia, ia hanya ikut-ikutan ajakan teman sekolah untuk mencoba MTB. Trek di kebun teh Puncak menjadi arena pertama. “Waktu itu belum banyak yang main, tapi seru. Rutin tiap pekan, kadang ke Lembang, Banten, atau bahkan Jawa Tengah sampai Jawa Timur,” kenangnya.

Bersama teman di komunitas, ia menempuh jarak belasan hingga puluhan kilometer di jalur menanjak dan menurun penuh rintangan. 

“Adrenalin terpacu, sekaligus ada kepuasan menemukan udara segar dan pemandangan baru. Bedanya dengan road bike, kalau sepeda gunung 15 kilometer–20 kilometer saja sudah cukup seharian. Karena banyak obstacle, butuh tenaga dan kontrol diri,” katanya.

“Adrenalin terpacu, sekaligus ada kepuasan menemukan udara segar dan pemandangan baru," ucap Sigit.

Hobi itu sempat membuatnya mengoleksi empat unit sepeda, lengkap dengan spesifikasi untuk downhill hingga sekadar gowes ringan bersama keluarga. Bahkan ia pernah dipercaya memimpin komunitas pesepeda selama hampir empat tahun.

Namun pandemi mengubah segalanya. Aktivitas gowes melambat seiring pembatasan aktivitas. Hobi pria penyuka makanan kaki lima ini kemudian bergeser ke diving (menyelam).

Sigit Djokosoetono saat mendaki Gunung Sumbing, Wonosobo, Jawa Tengah 16 Agustus 2025 lalu (Foto: Dok Pribadi)

Menyelam bersama keluarga

Jika bersepeda gunung identik dengan kecepatan dan tantangan, diving justru kebalikannya. “Diving itu tenang, tidak mengejar aktivitas dengan cepat. Kita justru harus kalem, mengontrol diri dan tidak bisa terburu-buru,” katanya.

Ia senang diving juga karena bisa melihat sisi berbeda dari alam.

Mulai dari Manado, Bali, Wakatobi, Halmahera, Pulau Komodo hingga Raja Ampat pernah ia datangi. Dua destinasi terakhir bahkan ia sebut tak pernah salah untuk dipilih. 

“Kalau sudah masuk ke sana, variasi bawah lautnya luar biasa. Warna, ikan, terumbu karang, semua berbeda dengan tempat lain,” kenang Sigit.

Ada pengalaman lucu yang sempat ia ceritakan kepada tim SUAR saat awal-awal ia ragu mencoba diving. Tadinya, ia mengira diving itu hanya “nyelam-nyelam doang”. 

Namun dorongan seorang kerabat asal Belanda membuatnya mencoba. 

“Dia bilang, Indonesia punya alam bawah laut terbaik, tapi kenapa orang lokal malah jarang menikmatinya? Saya pikir, iya juga. Orang luar negeri jauh-jauh datang, masa kita yang di sini malah tidak pernah menyelam?” ujar dia.

Sejak itu, ia jatuh cinta. Tak sekadar menikmati pemandangan laut, ia juga menyalurkan hobi fotografinya di kedalaman laut mulai dari memotret terumbu karang hingga ikan-ikan yang berwarna warni, yang biasanya hanya dilihatnya di aquarium. 

“Kalau di 10 meter–20 meter, warna laut masih hidup. Itu yang paling indah. Lebih dalam dari itu biasanya warna sudah berkurang,” jelas Sigit, yang suka mengajak istri dan dua anaknya ikutan menyelam, menikmati keindahan alam bawah laut.

Wakil Direktur Bluebird Group, Sigit Djokosoetono ditemui di kantornya, Jakarta, (01/09/2025). (Foto: Ahmad Afandi /SUAR)

Hiking dan pelajaran hidup

Naik gunung menjadi babak baru bagi Sigit yang mengakui bahwa bagian tersulit justru bukan tanjakan panjang, melainkan menerima kesederhanaan hidup di alam. 

“Awalnya saya males camping. Kebayang susahnya kalau ada panggilan alam. Tapi lama-lama terbiasa juga. Semua kembali ke alam, asal jangan kita yang merusak,” katanya.

Gunung Prau, Sindoro, Sumbing, hingga Rinjani pernah ia daki. Ia mengaku, puncak bukan sekadar soal ketinggian, tapi pertarungan dengan diri sendiri. 

“Rasanya puas kalau bisa berdiri di summit, mengalahkan diri sendiri, membuktikan diri masih mampu, meski usia bertambah dan segala keterbatasan,” ujarnya seraya menambahkan mencapai summit juga bisa memberikan rasa kepercayaan diri menjadi lebih baik. 

“Rasanya puas kalau bisa berdiri di summit, mengalahkan diri sendiri, membuktikan diri masih mampu, meski usia bertambah dan segala keterbatasan,” ucap Sigit.
Sigit Djokosoetono saat mencapai summit Gunung Rinjani (Dok.pribadi)

Sama dengan bersepeda gunung, pelajaran yang diambil yaitu bisa mengontrol diri dan berhati-hati dalam tiap rintangan yang ada. 

“Lebih pada kepuasan untuk mencapai melewati tantangan-tantangan yang ada, ya. Kadang-kadang melewati jumping atau jalan terjal gitu kan, ya, drop-dropan yang cukup tinggi gitu. Ya itu melatih skill juga ya motorik dan yang lainnya,” kata dia. 

Selain itu, alam membuatnya juga lebih sering dalam berinteraksi dengan teman-teman yang ada ataupun masyarakat sekitar.

“Olahraga alam itu tidak bisa sendirian. Harus ada teman. Kalau kecelakaan di gunung atau laut, tidak ada sinyal, tidak ada yang menolong. Jadi harus saling jaga,” katanya.

Tak jarang, momen kebersamaan itu berlanjut ke obrolan santai, bahkan urusan kantor. “Kadang rapat pun jadi lebih cair kalau dilakukan sambil jalan di alam. Rasanya plong,” tambahnya.

Risiko menjalani olahraga alam tentu ada. Ia mengatakan pernah mengalami jatuh hingga patah tulang saat bersepeda di Bali. 

Namun baginya, itu bagian dari konsekuensi. “Kalau jatuh kemudian ditanya karena di jalanan ditabrak motor atau jatuh di selokan kan malu, ya. Tapi, kalau di gunung, ya alasannya karena terlalu cepat atau nabrak pohon. Sama-sama sakit, tapi ini jatuh karena hobi lebih keren,” ujarnya sembari tertawa.

Baik bersepeda gunung, menyelam di laut lepas, hingga mendaki gunung memberikan nilai tersendiri bagi Sigit. Sepeda gunung mengajarkan kontrol diri dari setiap perbuatan dan keputusan yang diambil agar tidak celaka ke depannya. Sedangkan hiking melatih kesabaran dan nilai kesederhanaan, sementara diving menghadirkan ketenangan pikiran.

Semua itu dinilainya bermanfaat ketika dia kembali ke kantor dan memimpin perusahaan. Pengambilan keputusan pun, ujar dia, bisa lebih jernih dan melihat segala aspek.

Dan, inilah pandangan Sigit dalam menjalani hidup:

“Hidup itu singkat. Kita harus bisa memberi manfaat, baik untuk diri sendiri maupun orang lain. Itu sebenarnya kenapa saya memilih hobi alam itu ya. Karena dunia Indonesia ini cukup indah dan waktu hidup kita ini singkat, manfaatkan itu untuk orang bisa melihat lah, setidaknya membantu mereka ikut melihat dari apa yang saya lakukan,” ungkapnya.

Ardian Taufik Gesuri dan Ahmad Afandi berkontribusi dalam artikel ini.