Target tinggi pertumbuhan ekonomi 8% yang ditetapkan Pemerintahan Presiden Prabowo, bagi Menteri Investasi dan Hilirisasi yang juga Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Rosan Perkasa Roeslani, bukanlah sesuatu yang mustahil untuk diwujudkan. Ia optimistis target tersebut bisa dicapai, melalui peningkatan investasi.

Menurutnya, investasi menjadi faktor penting setelah konsumsi domestik dalam mendorong pertumbuhan ekonomi nasional. Saat ini, konsumsi domestik menyumbang sekitar 54% terhadap pertumbuhan ekonomi, sementara investasi sekitar 27%-28%.
Pemerintah pun ingin meningkatkan proporsi investasi agar kontribusinya semakin besar terhadap pertumbuhan ekonomi nasional, menggeser konsumsi rumah tangga. Berdasarkan perhitungan Kementerian PPN/Bappenas, Indonesia memerlukan total investasi sebesar Rp13.032 triliun untuk mencapai pertumbuhan ekonomi 8 persen.
Beberapa tahun belakangan, Pemerintah sudah mulai mendorong masuknya aliran dana dari luar negeri melalui investasi. Meski pun juga tidak tertutup kemungkinan terlibatnya penanaman modal dalam negeri.
Berbagai strategi pun diambil untuk mendongkrak investasi. Dari pemberian insentif untuk tarif dan perpajakan, penyederhanaan perizinan, hingga pembuatan kawasan ekonomi khusus untuk menampung penempatan modal itu menjadi alat ekonomi, hingga menggelar program hilirisasi sumber daya mineral
Dan pada akhirnya, usaha menggenjot investasi itu memperlihatkan hasil yang signifikan di tahun pertama pemerintahan Presiden Prabowo Subianto. Realisasi investasi Indonesia periode Januari-September 2025 mencapai Rp1.434,3 triliun, tumbuh 13,7% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya, dan setara dengan 75,3% dari target tahunan.

Capaian ini mencakup penyerapan 1.956.346 tenaga kerja dan didukung oleh kebijakan hilirisasi serta pemerataan investasi di luar Jawa, dengan Singapura menjadi negara asal Penanaman Modal Asing (PMA) terbesar.
Namun, Rosan mengaku, tak hanya target angka yang kini dikejar, pemerintah juga perlu mendorong investasi yang berkualitas dan berkelanjutan. Salah satu yang menjadi andalan pemerintah adalah bagaimana investasi hilirisasi di sektor mineral. “Itu yang menjadi investasi paling penting," ujarnya saat bicara di dalam forum bertajuk 1 Tahun Prabowo–Gibran: Optimism on 8$ Economic Growth di JS Luwansa Hotel & Convention Center, Jakarta, Kamis, 16 Oktober 2025.
Menuju Investasi berkualitas
Merealisasikan investasi berkualitas memang butuh waktu, meskipun itu kini juga sudah mulai terjadi. Ini ditunjukkan dari capaian investasi hingga September 2025 yang kini lebih besar dirasakan di luar Pulau Jawa, menyentuh Rp741,8 triliun atau 51,7 persen. Adapun 48,3 persen sisanya ada di Pulau Jawa dengan realisasi Rp692,5 triliun.
Sementara itu, kontribusi PMA mencapai Rp644,6 triliun atau 44,9 persen. Nilai itu masih kalah dari penanaman modal dalam negeri (PMDN) sebesar Rp789,7 triliun atau 55,1 persen dari total capaian investasi. Singapura masih menjadi negara dengan realisasi investasi terbesar di Indonesia dengan nilai investasi US$12,6 miliar. Kemudian ada Hong Kong yang mengucurkan US$7,3 miliar, China US$5,4 miliar, Malaysia US$2,7 miliar, dan Jepang senilai US$2,3 miliar.
Kemudian lima besar subsektor realisasi investasi hingga September 2025. Dimana yang paling besar datang dari industri logam dasar, barang logam, bukan mesin, dan peralatannya senilai Rp196,4 triliun atau 13,7 persen. Kedua, subsektor transportasi, gudang, dan telekomunikasi senilai Rp163,3 triliun atau 11,4 persen.
Kemudian ketiga, subsektor pertambangan sebesar Rp158,1 triliun alias 11 persen, dan Keempat, jasa lainnya yang menyerap Rp130 triliun atau 9,1 persen. Kelima, subsektor perumahan, kawasan industri, perkantoran senilai Rp105,2 triliun alias 7,3 persen.
Rosan Roeslani menyebutkan kenaikan yang signifikan ditunjukkan oleh investasi penghiliran yang meningkat sebesar 5 persen dari sebelumnya hanya berada di level 25-26 persen. “Kontribusi secara levelnya meningkat, dan ini membuktikan bahwa kebijakan hilirisasi yang diterapkan berjalan,” kata Rosan.
Ia menyebutkan kontribusi penghiliran terbesar terjadi pada sektor mineral dengan total investasi mencapai Rp 97,8 triliun. Komoditas nikel menjadi yang paling dominan dalam aspek ini dengan nilai investasi sebesar Rp42 triliun. Kemudian disusul oleh komoditas lain, seperti tembaga, dengan nilai investasi Rp21,2 triliun.
Ia juga menjabarkan komoditas sektor perkebunan dan kehutanan yang turut berdampak pada realisasi investasi di kuartal III tahun ini. Sektor perkebunan, seperti kelapa sawit, memberi nilai di angka Rp 21 triliun, kayu log Rp 11,7 triliun, serta karet Rp 1,6 triliun. Rosan optimistis capaian realisasi tersebut dapat menciptakan multiplier effect dan menguatkan daya saing Indonesia dalam industri global.
Bila dibandingkan per kuartal, capaian investasi pada kuartal III 2025 terpantau tinggi daripada kuartal I dan II 2025. Dua kuartal sebelumnya hanya mencatat realisasi investasi masing-masing sebesar Rp465,2 triliun dan Rp477,7 triliun. Sedangkan untuk capaian sepanjang Januari hingga September tercatat dengan total Rp1.434,3 triliun.
Rosan menyebutkan peningkatan realisasi investasi pada kuartal III ini merupakan bentuk kerja keras pemerintah dalam mendulang penghiliran untuk menciptakan dampak positif terhadap pembukaan lapangan kerja. “Dan yang paling penting, bagaimana investasi yang masuk adalah investasi yang berkelanjutan dan berkesinambungan sehingga memberi dampak,” tuturnya.
Tanam modal perusahaan multinasional
Pencapaian tinggi investasi ini juga berkat masuknya banyak perusahaan raksasa yang menanamkan modalnya di Indonesia bekerjasama dengan perusahaan Indonesia. Salah satunya perusahaan baterai asal China, Contemporary Amperex Technology Co. Limited (CATL), yang mengandeng PT Aneka Tambang (Antam) sedang memfinalisasi rencana investasi senilai US$1,9 miliar untuk pembangunan smelter nikel terintegrasi di kawasan industri Feni Haltim (FHT), Halmahera Timur, Maluku Utara.
Proyek berteknologi high pressure acid leach (HPAL) dan rotary kiln electric furnace (RKEF) ini menjadi bagian penting dalam ekosistem baterai kendaraan listrik nasional.

Direktur Keuangan dan Manajemen Risiko Antam, Arianto S. Rudjito, mengatakan, perseroan bersama konsorsium Ningbo Contemporary Brunp Lygend Co Ltd. (CBL) tengah melakukan finalisasi final investment decision (FID).
“Investasi awal untuk proyek HPAL akan dilakukan akhir 2025 atau awal 2026. Konstruksi dijadwalkan rampung 2028 dan dilanjutkan commissioning pada tahun yang sama,” ujarnya dalam public expose pertengahan September lalu.
Proyek HPAL ditargetkan menghasilkan 55.000 ton mixed hydroxide precipitate (MHP) per tahun dengan porsi kepemilikan Antam 30%. Sementara itu, smelter RKEF berkapasitas 88.000 ton nickel pig iron (NPI) per tahun ditargetkan beroperasi pada 2027 dengan investasi US$1,4 miliar, di mana Antam menguasai 40% saham melalui PT Feni Haltim.
Kedua proyek ini merupakan bagian dari investasi terintegrasi konsorsium CBL dan Indonesia Battery Corporation (IBC) dengan nilai total sekitar US$6 miliar. Dalam struktur kerja sama, Antam dan CBL menggandeng PT Sumber Daya Arindo (SDA) di sisi hulu, sementara IBC memegang porsi saham minoritas di sektor pengolahan bahan baku, perakitan sel baterai, dan daur ulang.
Disisi lain, ekosistem investasi juga semakin kuat setelah pemerintah membentuk perusahaan investasi yang mengelola dana dividen BUMN, Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara) pada Februari lalu dan mengalokasikan dana investasi awal US$20 miliar untuk 20 proyek strategis.

Mulai Oktober lalu BPI Danantara mulai menggelontorkan dana investasi sebesar US$10 miliar atau setara Rp165,92 triliun. CIO BP Danantara Pandu Sjahrir menyebut, dari total dana tersebut, 80% akan dialokasikan untuk investasi di dalam negeri dan sisanya untuk investasi luar negeri.BPI Danantara mendapat mandat adalah untuk mengelola aset-aset negara secara profesional dan transparan, sekaligus mendukung transformasi ekonomi Indonesia dan memperkuat daya saingnya.
Sebelumnya, Danantara telah berinvestasi pada proyek desa haji di Arab Saudi, usaha energi hulu dengan Pertamina, dan pembangkit listrik tenaga sampah di Indonesia, dengan beberapa proyek lainnya yang akan mulai beroperasi pada akhir tahun ini. Danantara juga bekerja untuk meningkatkan likuiditas di pasar saham Jakarta yang mana rata-rata perdagangan harian mencapai sekitar US$1 miliar.
Angka tersebut jauh di belakang India yang mencapai US$10 miliar hingga US$11 miliar. "Kami membutuhkan pasar publik yang sangat kuat agar pasar swasta dapat masuk karena pasar publik adalah tempat di mana Anda mendaur ulang modal tersebut," kata Pandu.Selain itu, Danantara juga berencana untuk fokus pada ketahanan energi, ketahanan pangan, energi terbarukan, jasa keuangan, kesehatan, real estate dan infrastruktur digital dalam dua tahun ke depan.
Menurut Pandu, Indonesia merupakan salah satu tempat terbaik di dunia bagi para investor, dengan pertumbuhan yang kuat, inflasi yang rendah, dan populasi yang masih muda. "Salah satu dari sedikit tempat yang tidak hanya menawarkan imbal hasil yang tinggi, tetapi juga keamanan yang tinggi," ujarnya.
Yang lebih membuat optimis, sektor manufaktur adalah salah satu yang berkembang pesat dari sisi investasi mau pun kinerja produksinya. Meski itu baru satu produk, nikel yang diolah. “Nikel itu sudah 75 pabrik, 63 yang sudah jalan, 12 dalam proses. Tembaga cuma empat. Bauksit tiga. Timah juga tiga atau empat,” kata Meidy Katrin Lengkey, Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI)
Total yang terdaftar dalam Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia untuk Industri Pembuatan Logam Dasar Bukan Besi (KBLI) 24202 mencapai 173 perusahaan, ungkap Meidy.
Meidy, nikel memang menjadi primadona dalam industri pengolahan di Indonesia menyalip mineral lain. Hal ini karena teknologi yang dipakai untuk mengolah nikel lebih murah dibanding bauksit, timah, atau tembaga . “Demand-nya juga tinggi, ” ungkapnya. Dengan kata lain, nikel ibarat jalur tol yang sudah rapi, sementara mineral lain masih jalan kerikil yang belum tentu ada penerangannya.

Namun di balik geliat pembangunan smelter khususnya smelter nikel, Meidy justru menyoroti sesuatu yang lebih mendesak terkait ketidakkonsistenan regulasi. Ia mencontohkan perubahan aturan tentang Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKB). “Dulu tiga tahun, tiba-tiba jadi satu tahun. Kita sudah fight tiga tahun itu. Perubahan seperti ini bikin polemik besar buat pengusaha,” jelasnya.
Masalah berikutnya muncul lebih rumit. Pemerintah mengeluarkan aturan pembatasan investasi baru di nikel, sesuatu yang sebenarnya APNI dukung. “Sudah cukup untuk nikel,” ujar Meidy, tetapi redaksi aturannya justru membuat industri gelisah. “Baru dirilis dan rancu. Pabrik yang lagi bangun bisa terancam enggak dapat izin kalau masih produksi NPI, feronikel, nickel matte, sampai MHP. Jadi harus langsung bangun end product.” Katanya.
Menurutnya, seharusnya pemerintah juga malakukan mitigasi sebelum memutuskan. “Lihat balancing bahan baku, potensi market, harga global. Sekarang harga lagi turun, sementara beban biaya naik,” katanya.
Disisi lain, Meydi juga mengingatkan jika tak hanya nikel saja yang menjadi kekuatan ekspor mineral Indonesia. “Timah kita itu nomor dua dunia. Pikirkan dong timah,” ujarnya.
Ia menyebut empat mineral utama Indonesia, nikel, timah, tembaga, bauksit, namun hilirisasi hanya benar-benar jadi di satu komoditas, nikel. Menurutnya, jika pemerintah ingin hilirisasi berkelanjutan, maka investasi tidak boleh berhenti di tahap intermediate. “Belajar dari nikel, jangan cuma undang investasi buat intermediate. Harus sampai end product. Sampai recycling. Sampai market-nya ada di Indonesia. End-to-end,” tegasnya.
Dan untuk bisa membuat pngelolaan sumberdaya mineral dalam negeri menjadi konsisten, Meidy menyarakna agar pembuat kebijakan konsistensi. “Kita cuma minta konsisten. Jangan berubah-ubah aturan, itu saja.” Menurutnya, perubahan aturan seharusnya mempertimbangkan kondisi global. “Kalau market dunia lagi turun terus pengusaha dibebani biaya tambahan, ya enggak fair. Kalau pengusaha berhenti produksi, ekonomi mau jalan dari mana?” tanyanya.
Potensi besar daerah perlu dukungan
Perusahaan asing seperti dari Eropa juga mengakui potensi cuan yang menjanjikan di Indonesia. Gerry Julian, Wakil Kepala Energy Working Group Eurocham Indonesia menegaskan, pihaknya sangat tertarik dengan salah satu provinsi yaitu Jawa Tengah untuk direkomendasikan ke para investor dari Benua Biru.
Pada acara Central Java Investment Business Forum, Selasa 4 November 2025 lalu Gerry Julian mengatakan bahwa Jawa Tengah memiliki potensi yang sangat besar untuk dijadikan sebagai lokasi investasi. Eurocham sendiri merupakan joint venture dari asosiasi kamar dagang seluruh negara-negara Eropa. Tugas lembaga memang di bidang advokasi dan promosi investasi negara-negara Eropa di Indonesia
Dalam kesimpulannya, Eurocham menilai Jawa Tengah yang perannya sebagai pusat produksi listrik terbesar di Indonesia, menjadikannya sangat potensial untuk melakukan investasi di kawasan ini dalam sektor energi baru terbarukan.

Termasuk juga dari sektor pangan, hingga manufaktur. Dan pastinya dari sisi energi seperti yang kita ketahui sekarang Jawa Tengah merupakan pusat produksi listrik terbesar di Indonesia, di mana banyak pembangkit listrik tenaga uap yang berada di Jawa Tengah, dan tentunya ke depannya perkembangan masa kita melihat sudah terjadi transisi energi di dunia,” jelasnya.
Namun, potensi yang besar di Jawa Tengah tersebut belum diikuti dengan investasi yang terkait dengan renewable energy. Maka dari itu, bidang tersebut dinilai sangat potensial dan menjanjikan dengan seluruh potensi yang ditawarkan oleh Jawa Tengah.
“Indonesia sendiri sekarang masih sangat sedikit, terkait dengan renewable energy di mana potensi-potensi yang ada di Indonesia terutama di Jawa Tengah itu sangat besar tetapi investasi masih sangat sedikit. Kita memang melihat sangat tinggi potensi dari energi terbarukan di Jawa Tengah ini,” ucapnya.
Perlu perbaikan agar sempurna
Peneliti senior INDEF, Tauhid Ahmad membuat catatan terkait membaiknya investasi Indonesia. Ia mengingatkan perbaikan ini apakah juga diiringi perbaikan kualitas investasi, atau apakah itu sekadar peningkatan angka belaka. “Yang harus dicatat, penanaman modal asing (PMA) justru relatif turun,” kata Tauhid.

Menurutnya, penurunan arus investasi asing ini seharusnya menjadi alarm bagi pemerintah. “Idealnya dua-duanya naik. Kalau investor luar berkembang, itu sinyal bagus untuk perekonomian. Tapi sekarang, meskipun investasi naik secara total, PMA malah menurun,” jelasnya.
Tauhid juga mencatat, secara keseluruhan arus modal masuk (capital inflow) Indonesia masih negatif. Banyak investor di sektor keuangan global belum menunjukkan kepercayaan penuh untuk kembali. Meski ada perbaikan di indeks keyakinan konsumen dan kepercayaan terhadap pemerintah, sektor riil masih belum kuat. “Laju kredit hanya tumbuh 7%, bahkan kredit UMKM cuma 2%–3%. Artinya, aktivitas ekonomi belum pulih sepenuhnya,” jelasnya.
salah satu akar persoalan turunnya minat investor asing adalah ketidakpastian hukum
Menurut Tauhid, salah satu akar persoalan turunnya minat investor asing adalah ketidakpastian hukum. Ia menilai, regulasi investasi di Indonesia masih terlalu rumit dan sering berubah. “Konsistensi hukum kita masih kurang. Terlalu banyak aturan lintas sektor yang tumpang tindih, dan itu menambah cost of law bagi investor,” katanya.
Sistem perizinan terpadu atau Online Single Submission (OSS) pun dianggapnya belum efektif. Karena didalamnya banyak jendela. Seharusnya, kata Tauhid, investor cukup menyerahkan dokumen, dan pemerintah yang mengurus lintas kementerian. “Faktanya, masih banyak izin yang harus diurus satu-satu. Apalagi untuk sektor pertambangan, minyak, dan gas. Belum lagi kalau ada masalah lahan, sering kali belum clean and clear,” tambahnya.
Mengenai arah pemenuhan investasi berkualitas, Deputi Bidang Promosi Penanaman Modal Kementerian Investasi dan Hilirisasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal Nurul Ichwan, menjelaskan investasi berkualitas bukan hanya yang membawa modal besar atau teknologi tinggi, tapi juga memberikan dampak nyata bagi masyarakat, terutama dalam penciptaan lapangan kerja dan peningkatan kesejahteraan di sekitar proyek.

Karena itu pemerintah mendorong konsep investasi inklusif agar investasi yang masuk juga bisa berdampak luas. Misalnya, setiap perusahaan besar baik PMA maupun PMDN yang ingin mendapat fasilitas pembebasan bea masuk untuk barang modal dan bahan baku, wajib berkolaborasi dengan UMKM lokal.
Mereka tidak boleh membawa atau membuat sendiri UMKM-nya. “Semua kolaborasi ini transparan lewat sistem OSS, sehingga pelaku usaha di daerah bisa langsung melihat dan mengajukan diri sebagai mitra,” katanya.
Dan agar ketentuan ini efektif, setiap investor juga wajib melaporkan kegiatan penanaman modalnya secara berkala melalui Laporan Kegiatan Penanaman Modal, setiap tiga bulan bagi proyek yang masih berjalan dan setiap enam bulan bagi proyek yang sudah komersial.
Selain itu, ada unit Deputi Pengendalian Pelaksanaan Penanaman Modal yang bekerja sama dengan Deputi Pengembangan Iklim Investasi untuk memastikan kemitraan dengan UMKM benar-benar terlaksana di lapangan.
Nurul Ichwan juga sepakat bila mayoritas investasi di Indonesia berasal dari negara-negara maju seperti Jepang, Korea, dan Eropa negara dengan aging population. Karena jumlah tenaga kerja mereka menurun, mereka mengandalkan efisiensi dan teknologi untuk menjaga produktivitas. “Ketika berinvestasi di Indonesia pun, pendekatan berbasis teknologi ini tetap mereka bawa,” ujarnya.

Sehingga wajar jika proporsi tenaga kerja per triliun investasi terlihat menurun. Namun bukan berarti pemerintah abai terhadap penyerapannya. Pemerintah tetap mencari sektor-sektor yang bisa membuka lapangan kerja lebih banyak, tapi juga harus realistis, tidak mungkin memaksa investor meninggalkan teknologi.
“Maka yang kita lakukan adalah menyesuaikan SDM Indonesia agar siap mengoperasikan teknologi itu, lewat pelatihan, vokasi, dan program transfer pengetahuan,” jelas Nurul.
Mukhlison, Gema Dzikri, and Dian Amalia