Agar Ekonomi Tumbuh Tinggi dan Berkualitas

Tak hanya dipacu agar bertumbuh tinggi, perekonomian juga harus menciptakan dampak berkualitas kepada masyarakat secara riil.

Agar Ekonomi Tumbuh Tinggi dan Berkualitas
Foto oleh Markus Spiske / Unsplash

Cita-cita Presiden Prabowo Subianto mengejar pertumbuhan ekonomi mencapai 8% pada 2029 merupakan target yang ambisius, sekaligus realistis dengan melihat potensi yang Indonesia miliki. Agar tidak sekadar angka, perhatian pada kualitas dan dampak pertumbuhan menjadi penting di tengah gejolak dunia yang tengah mempersiapkan lahirnya tatanan ekonomi baru. Kebijakan berpendekatan holistik dan berbasis teknokrasi menjadi kuncinya.

Pesan tersebut menjadi 'benang merah' dalam diskusi publik "Indonesian Economy in the New Economic Order" yang menjadi bagian Investor Daily Summit 2025 di Assembly Hall Jakarta Convention Center, Rabu (8/10/2025).

Sebagai gelaran keempat sejak 2022, forum tahun ini mengusung tema "New Economic Order" yang merangkum kesadaran bahwa dunia tengah menulis babak baru, dan dengan visi strategis, Indonesia dapat menjadi pelaku utama, bukan sekadar penonton.

Menteri Investasi dan Hilirisasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Rosan Roeslani menegaskan, Indonesia harus mampu menavigasi dunia yang sedang tidak baik-baik saja di tengah kebijakan tarif, kecamuk perang, dan ketegangan yang dinamis. Pasalnya, Asia merupakan pusat denyut nadi masa depan dunia, dan Indonesia memiliki tempat penting di dalamnya.

"Pada 2030, 4,5 miliar atau 60% penduduk bumi berasal dari Asia. Perekonomian Asia tumbuh rata-rata 4,5% setiap tahun. Di kawasan Asia Tenggara,Indonesia dapat menjadi pemimpin alamiah dengan 36% jumlah penduduk dan 40% luas wilayah daratan. Peran kepemimpinan ini harus kita jalankan," ujar Rosan.

Rosan yang juga menjabat CEO Badan Pengelola Investasi (BPI) Danantara itu mengungkapkan strategi ganda Indonesia untuk mencapai pertumbuhan yang menjadi target.

Di satu sisi, Indonesia membuka diri terhadap berbagai inisiatif, mulai dari RCEP, BRICS, OECD, hingga IPEF. Di sisi lain, Indonesia juga memperkuat produktivitas serta kapasitas dan kualitas sumber daya manusia agar tidak bergantung kepada negara/blok tertentu.

Dengan membuka diri lewat berbagai inisiatif, Indonesia siap menarik investasi dengan total nilai USD 814,6 miliar atau Rp13.032,8 triliun hingga 2029. Untuk tahun ini, realisasi investasi yang telah masuk di semester pertama 2025 mencapai Rp942,9 triliun atau 49,5% dari target Rp1.905,6 triliun. Dari jumlah tersebut, sebanyak 1.259.868 lapangan kerja telah terbuka.

Menteri Investasi dan Hilirisasi/Kepala BKPM Rosan Roeslani menyampaikan sambutan membuka Investor Daily Summit 2025 di Jakarta, Rabu (8/10/2025). Foto: SUAR/Ahmad Afandi

Rosan yang sebelumnya pernah menjadi Duta Besar Indonesia untuk Amerika Serikat ini menyatakan sedang menunggu angka realisasi hingga akhir tahun ini, tetapi langkah-langkah pemerintah ke depan sudah dapat dipastikan, mulai dari reformasi kebijakan, hingga mendongkrak mutu sumber daya manusia.

"Kurangi red tape, agar kita bisa mengundang investasi yang berkualitas dan berkelanjutan. Selain itu, penciptaan lapangan kerja juga dibarengi peningkatan kualifikasi talent pool kita dengan pendidikan vokasi yang menjadi sangat penting," tegasnya.

Fokus pemerintah saat ini, menurut Rosan, adalah memaksimalkan konsumsi dalam negeri dan investasi sebagai penopang utama pertumbuhan ekonomi. Di samping itu, Danantara yang dipimpinnya juga akan memberdayakan sektor swasta untuk memastikan kue ekonomi yang besar terdistribusi secara adil dan berkelanjutan.

Komitmen pemerintah memaksimalkan potensi pertumbuhan dalam negeri tersebut mendapatkan sambutan positif dari para ekonom yang juga hadir. Meski demikian, masih ada fakta-fakta dari lapangan yang tetap perlu diperhatikan agar komitmen mencapai target tidak membuai ke arah yang salah.

Mewakili Aliansi Ekonom Indonesia, Talitha Chairunnisa menilai, dengan pondasi yang kuat di tengah gejolak, pertumbuhan stabil dan pemulihan ekonomi Indonesia patut diapresiasi. Dunia pun saat ini menatap Indonesia sebagai kekuatan ekonomi baru dari Selatan Bumi.

Namun, Talitha menegaskan ada potensi besar yang belum terwujud sepenuhnya. Buktinya, dia melansir, pertumbuhan ekonomi di atas 5% tidak linier dengan kenaikan upah riil yang hanya 1,2% per tahun. Lapangan pekerjaan baru tumbuh 80%, tetapi hanya di sektor rumah tangga berupah rendah.

"Dengan tax ratio 10,5 sampai 11% terhadap PDB, kita tidak punya kemewahan salah belanja. Namun, kita melihat 37% APBN 2026 dialokasikan untuk program-program populis. Artinya, Indonesia tidak defisit fiskal, tetapi defisit prioritas," cetusnya.

Berbagi pandangan dengan Talitha, ekonom Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat, Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI) Rizki Nauli Siregar mengungkap bahwa kenaikan upah riil yang tidak sejalan dengan pertumbuhan ekonomi membuat pertumbuhan tidak ikut dirasakan kelas menengah.

"Dibandingkan dengan Asia Timur dan Pasifik saja, produktivitas tenaga kerja kita masih jauh di bawah. Perlambatan pertumbuhan yang cukup besar ini menunjukkan kegentingan, tetapi juga sinyal bahwa kita butuh pertumbuhan yang bisa menciptakan lapangan kerja berpenghasilan tinggi," jelas Rizki.

Upaya memacu produktivitas tersebut, lanjutnya, dapat ditempuh dengan beberapa cara, mulai dari meningkatkan partisipasi Indonesia yang persisten rendah dalam perdagangan manufaktur terintegrasi rantai pasok global selama 30 tahun terakhir.

Selain itu, Indonesia perlu formulasi kebijakan industri yang holistik, penuh perhatian pada distribusi, serta tidak menciptakan bottleneck. Di samping itu, pemerintah perlu mengidentifikasi dan mendukung industri enabler, yaitu industri jasa modern yang mendukung industri lainnya, seperti transportasi dan keuangan.

Wakil Dekan FEB UI Kiki Verico mengungkapkan, turunnya kontribusi manufaktur terhadap PDB Indonesia selama 30 tahun terakhir tidak dapat dilepaskan dari naiknya angka Incremental Capital Output Ratio (ICOR) hingga mencapai angka 6,5. Padahal, 40 tahun lalu, ICOR Indonesia hanya 4,4 sehingga menarik untuk berinvestasi.

"Siapapun yang mau memperbaiki ekonomi harus mulai dari sektor riil, jangan ganggu sektor keuangan. Ciptakan lapangan pekerjaan, titik. Dari mana? Investasi. Dasarnya investasi adalah reformasi aturan agar memenuhi kualitas regulasi yang sesuai standar internasional. Itu yang akan dilihat saat investor masuk," ucapnya bersemangat.

Dengan berjalannya laju disrupsi di seluruh dunia, menurut Kiki, Indonesia membutuhkan investasi hingga Rp11.000 triliun untuk mencapai pertumbuhan yang tinggi, sedangkan selama bertahun-tahun Indonesia hanya mempunyai Rp6.600 triliun. Kebutuhan itu harus segera ditambal.

"Kita doing nothing saja ketinggalan, apalagi kalau doing something tetapi kontraproduktif. Saat ini, ketika pertumbuhan ekonomi dunia turun, return on capital lebih tinggi daripada return on income. Artinya, pekerja semakin tidak terpakai. Kita butuh kebijakan agile untuk menghadapinya, dengan basis teknokrasi yang kuat," tegas Kiki.

Talitha menambahkan, kualitas pertumbuhan ekonomi hanya akan terbukti jika institusi negara yang kuat dapat menjamin setiap rupiah pendapatan negara hasil pertumbuhan ekonomi akan kembali dalam bentuk layanan publik. Dengan kata lain, Indonesia perlu menata ulang hak dan kewajiban antara negara dan rakyat.

"Kita berada di persimpangan, punya potensi yang besar, tetapi juga dihadapkan pada pilihan. Manusianya sudah siap, tetapi harus disambut kebijakan yang tepat dan berbasis bukti. Peran kita adalah terus mendorong pemerintah sampai ke sana. Sekarang waktunya, jangan diundur lagi," tutupnya.

Author

Chris Wibisana
Chris Wibisana

Macroeconomics, Energy, Environment, Finance, Labor and International Reporters